Selasa, 07 Juli 2015

RINDU FANA

Ah, entah sudah berapa lama aku tidak merapalkan kata sakti itu. Sebuah kata yang selalu saja menjadi akar masalah kegalauan para manusia yang dimabuk cinta. Tapi, aku tidak sedang dimabuk cinta. Aku sudah lama tidak menjamah ranah cinta. Ini bukan rindu jenis yang seperti itu.
.
.
Yang kurindukan tak bisa kusentuh. Bahkan untuk sekedar mendengar suaranya pun aku tak bisa. Dia hanya mampu menjadi objek kerinduanku yang abstrak.
Entah, mendadak aku mengingatnya. Ada rasa sesak di dada. Mataku berkaca-kaca. Sendu. Ini buruk. Aku benci keadaan seperti ini.
.
.
Tak ada yang bisa menjadi obat dari kerinduan ini. Aku hanya bisa mencari pengalih pikiran. Menyibukkan diri agar tidak terjebak dalam kehampaan. Kehampaan, rasa sepi hanya akan membawaku semakin dalam tenggelam dalam rindu fana ini. Aku tidak mau. Ini bukanlah suatu perasaan menyenangkan yang nyaman untuk disimpan.
.
.
Aku merindukanmu, Dan. Ingin sekali bibir ini menyuarakannya. Sayangnya, tak pernah ada suara yang keluar dari bibirku untuk menyuarakan kalimat ajaib itu. Dan, satu kata yang kugunakan untuk menamainya. Menandai kespesialan dirinya. Hanya aku yang memanggilnya begitu. Ah, Dan... apa kamu baik di sana?

.
.
.
.
Semarang, 7 Juli 2015

Sabtu, 20 Desember 2014

DINA YANG CERIA

Senyum dan tawa manisnya tak lagi ada di kelas kami. Langkah lincahnya pun tak lagi meliar mengisi kesunyian di kelas kami. Ya, dia telah pergi. Meninggalkan berbagai macam pertanyaan dalam benak teman-teman sekelasnya. Dia pergi tanpa mengucap kata perpisahan.
Gadis cilik berjilbab panjang berdarah Kalimantan, Dina Salsabila. Dalam benakku masih tercetak jelas bagaimana goresan wajah ayunya, pipi tembem, tubuh mungil, mata yang selalu berbinar, dan mulut tipisnya yang tak pernah berhenti bertanya. Bagaimana aku bisa melupakannya dalam sekejap, pertemuan pertama dengannya di dalam kelas saja sudah membuatku terperanjat terpesona. Dia gadis yang mengagumkan.
Rasa ingin tahu yang dimiliki Dina membuatnya sering bertanya. Dia tidak pernah takut atau malu dalam mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Itulah yang membuatku terkesan. Apa yang ia bicarakan tidak pernah sembarangan dan kosong. Ucapannya punya makna.
Sebagian sifatnya sama seperti anak yang lain. Dina gadis cilik yang manja dan selalu mencoba menarik perhatian. Yang kusuka, Dina melakukan itu dengan cara yang khas. Dengan kemampuan, kecerdasan, dan prestasi yang ia miliki.
Kehadiran Dina di kelasku menyita banyak perhatian guru dan teman-temannya. Sebagian temannya senang dengan kehadiran Dina. Dia gadis yang baik dan penyayang. Namun, ada beberapa teman yang membencinya. Suatu ketika, Dina pernah bercerita kepadaku. Dia sedih karena beberapa dari temannya membencinya. Dia bilang, teman di kelasnya tidak bisa akur dan rukun. Beberapa malah membentuk kelompok-kelompok sendiri. Dina tidak marah karena sudah dijahili dan dibenci. Dia hanya menyayangkan kenapa temannya bersikap seperti itu kepadanya? Apakah dia pernah berbuat jahat kepada mereka.

Hari ini aku membacakan cerita itu di kelas. Anak-anak kelas V mendengarkan dengan baik. Aku juga menceritakan tentang curahan hati Dina beberapa waktu lalu sewaktu gadis cilik itu bermain di depan rumah. Aku menceritakan tentang kaos kaki Dina yang hilang. Tentang Dina yang bingung hari Senin harus memakai kaos kaki apa, karena yang ia punya hanya kaos kaki hitam.
Beberapa ada yang tersentuh dan merasa bersalah setelah mendengar ceritaku itu. Usai pelajaran, Naomi (anak yang pernah berbuat jahil pada Dina) mengatakan kalau dia merindukan Dina. Menyayangkan kehadiran Dina yang sudah tidak ada lagi di kelas. Ya, penyesalah selalu datang diakhir dan kita menyadari seseorang itu sangat berharga setelah kehilangan sosoknya.

Dina, semoga kau bahagia di kampung halamanmu sana….


Seruyan Raya, 19 Desember 2014

Senin, 01 Juli 2013

LOVE YOUNGER *END

Dhimas menggila. Ya, mungkin seperti itu pandangan orang-orang di lingkungan kerjanya. Menggila bukan dalam arti yang sebenarnya. CEO Bimantara grup itu menyibukkan diri dengan pekerjaan dan tidak kenal toleransi. Sangat berbeda dari Dhimas yang biasanya. Sekretarisnya sudah belasan kali ia marahi karena kesalahan sepele yang terjadi. Untung saja wanita yang sudah lima tahun ini bekerja dengannya itu sudah cukup mengenal baik Dhimas. Jadi, meski dia menjadi salah satu objek pelampiasan kemerahan Dhimas, dia tidak akan mengundurkan diri keesokan harinya.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu terihat seperti seorang sekretaris yang baru bekerja! Tulis ulang surat perjanjian ini, ganti isinya dengan yang lebih layak untuk kubaca!” bentak Dhimas seraya mengulurkan sebuah map pada Gina – sekretarisnya.

“Ma-maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” Takut-takut Gina menerima map itu dan melangkah keluar ruangan.

“Apa yang terjadi?” Mendadak Alan muncul menggantikan sosok Gina yang sudah menghilang dari balik pintu kantor Dhimas. “Kamu terlihat kacau hari ini, man!” tambah Alan, mengambil tempat duduk di depan Dhimas.

“Harusnya aku yang bertanya apa yang terjadi denganmu?” balas Dhimas ketus. Ia memelototkan mata pada Alan. “Apa kamu tidak punya kerjaan lain selain mengguruiku, huh?”

Alan terkesiap. Oh, ini seperti bukan dia, pikirnya. “Well, aku tidak mengguruimu. Aku sedang mencoba menenangkanmu agar tidak lebih kacau. Apa kau tidak kasihan dengan seluruh karyawan yang tiba-tiba harus mendapat berlian mentah dari mulutmu itu!”

“Bukan urusanmu! Mereka karyawanku. Oh, dan kamu juga,” balas Dhimas sarkastis.

“Apa yang mengusikmu, kawan?” Alan masih bertahan.

Dhimas memutar matanya gusar. Apa yang mengusiknya? Pertanyaan itu mengganggunya. Ia tahu pasti apa yang sudah mengusiknya tapi sulit untuk mengakui. Sangat sulit. Dhimas memejamkan mata, terdiam.

“Siapa?” tuntut Alan, tidak kenal menyerah.

Dhimas menggelengkan kepala dengan mata terpejam, mengikari hatinya. Sulit mengatakan apa yang ia rasakan sekarang.

“Apa Nela berulah lagi?”

Dhimas membuka mata cepat. “Tidak.”

Alan mengernyit. “Lalu, apa masalahnya?”

Hanya sebuah tatapan kosong Dhimas yang menjawab. Alan coba menyelami kedalaman hati dan pikiran sahabatnya dari pancaran mata tersebut. Ada kebimbangan, terluka, dan cinta yang sulit. “Kamu jatuh cinta padanya?” Satu tebakan menusuk tepat pada sasarannya.
@-@

Nela mematut dirinya di cermin setinggi tubuhnya. Penampilannya sudah bagus, ia rasa. Cukup memakai dress abu-abu selutut tanpa lengan yang dipadankan cardigan putih. Tidak buruk untuk menghabiskan malam bersama Armand. Mungkin ia hanya akan diajak jalan-jalan,

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, menampilkan sebuah pesan masuk. Nela membacanya. Lalu bergegas turun. Armand sudah menunggu di depan gerbang.

Nela berjalan pelan saat melintasi ruang tengah. Takut-takut kalau Dhimas memergokinya. Ia tidak berani meminta izin pada Dhimas perihal kepergiannya malam ini. Pasti Dhimas tidak akan memberi izin dengan mudah. Perasaan lega menghinggapi begitu mengetahui ruangan tengah dan ruang tamu kosong. Pasti Dhimas dan oma Eva belum pulang, pikir Eva. Tidak mau melewatkan kesempatan emas, Nela menambah laju langkahnya. Sedikit berlari menghampiri mobil Armand yang terparkir di depan gerbang.

“Sudah lama, Kak?” ucap Nela saat mendapati Armand duduk di atas kap depan mobilnya.

Armand memasang senyum manis yang bisa membuat para wanita terpesona. “Tidak juga, baru lima menit,” balasnya. “Ayo, kita jalan.” Dia segera membukakan pintu depan mobilnya pada Nela.

“Terima kasih,” ujar Nela senang seraya masuk ke dalam mobil Armand. Ia jarang menerima perlakuan manis seperti ini dari seorang pria.

Armand menutup pintu lalu berjalan memutar di depan mobilnya menuju pintu lain. Masuk ke bagian jok dengan setir mobil di depannya dan mulai menyalakan mesin. Mobil yang dikendarainya melaju tanpa keraguan, melintasi jalanan kota Singapura.

Dua puluh menit kemudian, mobil Armand berhenti di pelataran parkir sebuah club malam di deretan Boat Quay. Dari ujung satu ke ujung yang lain hanya deretan club, bar dan restoran yang menghiasi sepanjang jalan Bat Quay. Alunan music keras terdengar. Nela mengernyit bingung. Tidak menyangka Armand akan membawanya ke tempat seperti itu. “Apa kita akan ke sana?” tanya Nela sembari menunjuk bangunan dengan lampu bertuliskan Omega Club. Di depannya terdapat duo orang pria, berjaga sambil memeriksa setiap orang yang masuk.

“Iya. Memangnya kenapa?” balas Armand santai.

“Tapi aku belum pernah ke tempat seperti itu.” Wajah Nela sedikit memucat.

Armand meletakkan tangan kanannya pada tangan Nela, mencoba menenangkan. “Tenang saja, kamu bersamaku. Tempat itu tidak seburuk seperti dalam pikiranmu.”

Nela merasakan sesuatu yang tidak enak. Tapi ia menepis semua itu. Armand pria yang baik, pasti dia akan baik-baik saja bersamanya. Nela mengusir rasa takutnya.

“Ayo, kita turun.” Armand mendahului keluar dari mobil. Nela menyusulnya. Mereka jalan bersama memasuki Omega club.

Hentakan musik keras menyambut Nela dan Armand. Puluhan orang berjejal di tengah ruangan. Meliukkan tubuh, mengikuti alunan musik yang dimainkan DJ. Armand menarik Nela menembus kerumunan. Mereka sampai di sebuah meja yang sudah ditempati oleh tiga pria seumuran Armand dan dua wanita.
Orang-orang itu langsung berdiri menyambut kehadiran Armand. Nela pikir mungkin mereka teman Armand.

“Kamu terlambat!” ujar salah seorang pria dengan setelah kemeja kotak-kotak lengan pendek.

“Sorry, aku harus menjemput seseorang dulu,” saut Armand. “Oh, ya… ini kenalkan temanku, Nela,” lanjutnya memperkenalkan Nela.

Satu per satu dari ketiga pria itu menyalami Nela. Sedangkan dua orang wanita tampak tidak tertarik dan hanya duduk memandangi penyambutan kehadiran Armand.  Setelah acara perkenalan singkat itu, Armand menarik Nela untuk duduk.

“Hanya teman, Bro?” tanya pria berkaca mata yang duduk di samping Armand.

“Tentu saja,” jawab Armand sambil tersenyum misterius.

Temannya mengerutkan kening. Merasa ada yang disembunyikan oleh Armand. Mereka cukup tahu bagaimana sikap Armand yang sebenarnya. Mana mungkin pria itu membiarkan gadis cantik menganggur begitu saja. Rasanya mustahil. “Aku tidak percaya.”

Armand tergelak. “Terserah.” Lalu beralih pada Nela. “Kau mau minum apa?”

“Orange jus,” jawab Nela polos. Kontan saja membuat teman-teman Armand tertawa.

Armand menahan tawa seraya bangkit berdiri. “Akan aku ambilkan minum,” pamitnya.

Nela menggeser tubuhnya. Risih akibat salah seorang teman Armand mendekatinya. Dia tidak terbiasa berdekatan dengan seorang pria yang baru dikenalnya seperti itu. Terlebih bau alcohol menyerbak dari tubuh pria itu.

“Kamu kenal Armand dimana?”

Nela menoleh, memandang pria dengan potongan rambut spike kecoklatan. Terlihat jelas warna coklat yang mencolok dari rambut pria itu meski pencahayaan dalam club tidak terlalu bagus. Bukan warna rambut aslinya, pikir Nela.

“Heh, malah bengong!” Pria berambut coklat menegur karena Nela tak kunjung menjawab.

“Eh, di jalan. Tidak sengaja.” Nela mengalihkan pandangan ke arah lain. Dua orang pria lain tengah sibuk dengan pasangannya. Tingkah kedua pasangan itu membuat Nela ingin muntah. Ia bergindik jijik. Jelas-jelas bukan pemandangan yang bagus untuk gadis remaja seusianya.

“Kamu mau dansa?” Pria berambut coklat mengulurkan tangan, meminta Nela berdansa dengannya.

Nela jelas bingung. Dia tidak terbiasa. Alih-alih merasa tidak nyaman, ia melihat Armand muncul membawa dua gelas minuman. Nela menghela napas lega.

“Sorry, lama.” Armand kembali duduk di samping Nela.

“Bagaimana?” Pria berambut coklat masih mendesak Nela. Gadis itu menoleh pada Armand. Pancaran matanya memohon bantuan.

“Nela mau di sini sama aku. Kamu cari gadis lain saja, Ko,” sahut Armand. Pria yang dipanggil ‘Ko’ pun mengalah, meninggalkan mejanya dengan tangan hampa.

“Minumlah, untuk menenangkan.” Armand menyodorkan minuman yang tadi dibawanya. “Kamu merasa tidak nyaman di sini?”

Nela menenggak minuman itu tanpa tahu apa isinya. Tenggorokannya terlalu kering. Dia membutuhkan sesuatu untuk membasahinya. Rasa manis bercampur pahit dan sesuatu terasa lain. Ini baru pertama kalinya ia merasakannya. Pikirannya terasa ringan. Segala tekanan yang membebani otaknya seolah melayang bagai kapas yang tertiup angin.

Armand tersenyum puas saat melihat Nela menghabiskan minuman yang dibawanya. Ternyata lebih mudah dari yang kira.

Nela merasa pusing. Apa dia mabuk? Hhh. Nela tersenyum sinis menyadari kenyataan baru tentang dirinya. Mabuk oleh minuman yang terlihat seperti jus lemon itu? Menggelikan, batinnya. Gadis itu berada di antara batas kesadaran dan ketidaksadaran.

“Apa yang kamu rasakan, Nela?” Armand menyela pikiran Nela.

“Ini sungguh menyenangkan,” balas Nela terkekeh.

“Well, aku senang mendengarnya.” Armand bangkit berdiri. “Bagaimana kalau kita menikmati pesta perpisahan kita sebentar.” Tangannya terulur, meminta Nela untuk menyambutnya. Dan begitu mudahnya, Nela meletakkan tangan kanannya di atas tangan Armand yang terulur. Membiarkan Armand menariknya ke tengah ruangan, membaru bersama puluhan orang yang sedang asyik bergerak mengikuti iringan musik.

Tidak butuh waktu lama. Hanya dalam hitungan detik, Nela sudah larut dalam iringan musik beritme cepat. Menggila. Armand mengambil keuntungan atas itu. Menempelkan tubuh Nela untuk lebih dekat dengannya. Malam ini Armand akan terpuaskan. Memikirkan itu membuatnya menyunggingkan senyuman setiap saat.
*#*

Dia melihatnya. Tadinya ia mengira matanya pasti salah. Tapi setelah memastikan siapa yang bersama dengan focus utama pandangannya, dia menjadi yakin bahwa yang dilihatnya benar. Pandangannya berubah menjadi membara. Darah naik dengan cepat keubun-ubun. Rahangnya mengeras. Tangannya mendadak terkepal. Semakin lama melihat kedekatan kedua orang itu membuatnya semakin terbanjiri oleh hawa panas amarah. Dia sudah tidak dapat menahannya lagi. Dengan gerak cepat, dia berdiri dari kursi di depan meja bar.

“Kau mau kemana, Dhim?”

Pertanyaan teman yang menemaninya minum dia abaikan begitu saja. Seolah tak mendengar. Langkahnya semakin cepat menghampiri dua orang yang sejak tadi ia amati. Dan Bruk! Seseorang jatuh tersungkur. Pekikan histeris keluar dari beberapa pengunjung wanita.

“Jangan mencoba menyentuhnya!” Ini bukan sekedar peringatan biasa.

Pria yang jatuh itu menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Hanya dengan sebuah bogem mentah sudah membuat bibirnya terluka. Sial! Geramnya dalam hati. Merasa tidak terima, ia bangkit. Tangannya terkepal dan melayang cepat kearah pria yang sudah muncul tiba-tiba mengganggu kesenangannya. Naas, bukan kepuasan yang ia dapat. Tangannya malah sakit karena dicengkeram keras. Bugh! Sekali lagi bogem mentah mendarat mengenai mukanya. Ia jatuh kembali dengan cukup keras.

“Ayo kita pulang!” Sukses menyalurkan kemarahannya, pria yang terbanjiri amarah tadi menyeret gadis pasangan dari pria yang sudah dipukulnya. Gadis itu tengah kehilangan sebagian kesadarannya. Kepalanya pusing bukan main. Ia membiarkan pria  penuh amarah itu menyeretnya.
#*#

Bruk! Tubuh Nela terhempas di atas kasur dengan cukup kerasnya. Ia meringis kesakitan di tengah ketidaksadarannya.

“Apa kamu sudah gila?” bentak seseorang padanya. Samar-samar Nela dapat melihat seseorang memelototinya tajam.

“Memangnya kenapa? Apa yang kulakukan?” Nela menjawab asal. Suaranya tidak mau kalah.

“Kamu…!” Pria itu menunjuknya. “Sial!” Entah setan dari mana yang merasukinya. Dhimas mencengkeram kedua bahu Nela erat. Ia di atas dan Nela di bawahnya. Tatapan keduanya bertautan. “Kamu tahu sudah membuat hidupku susah? Kamu tahu sudah membuat hidupku tidak tenang?” Dhimas mendekatkan kepalanya pada Nela. HIdung mereka saling bersentuhan. Dapat merasakan hembusan napas dari lawan masing-masing. “Kamu mengganggu hidupku! Menjauhlah dariku!” bentak Dhimas keras.

Hanya kalimat singkat tapi cukup menusuk di hati Nela. Kesadarannya pulih seketika. Bukan pernyataan seperti itu yang diinginkannya selama ini. Bukan. Bukan seperti ini.

Dhimas menegakkan tubuhnya. Dengan amarah yang masih menggebu ia memilih segera keluar dari kamar Nela. Brak! Ia membanting pintu di belakangnya keras. Apa yang sudah kukatakan? Mendadak ia menyesali ucapannya sendiri. Ia mengacak-acak rambutnya frustasi. Kenapa jadi seperti ini?
##*

Nela menyeret koper miliknya perlahan. Menuruni anak tangga dengan berat. Bukan karena barang bawaannya, tapi terlebih karena perasaannya sendiri. Rasa sesak masih menghinggapinya. Membuat Nela harus berusaha sekeras mungkin menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak ingin menambah bengkak kelopak matanya. Menangis semalaman sudah menguras habis air matanya.

Ini memang terlalu pagi untuk pergi. Nela sudah membulatkan tekad. Pergi dalam diam. Hanya selembar note ucapan perpisahan yang ia tinggalkan. Dengan langkah gontai ia menyeret koper keluar dari kediaman Bimantara yang mewah. Pak Amith – satpam keturunan India yang mendapat jatah shift malam – tampak kebingungan melihat Nela.

“Sir, can you open the gate for me?” pinta Nela. Pak Amith mengangguk dan bergegas menekan tombol open pada meja kerja di posnya. Secara otomatis pintu pagar yang membentengi kediaman Bimantara terbuka.

“Do you need a taxi?” Pak Amith menghampiri Nela. Gadis itu menggeleng.

“No, thanks you.” Nela kembali melangkah, melewati pintu gerbang yang terbuka. Sejenak ia terhenti, memandang kearah rumah yang sudah beberapa minggu ini ditinggalinya. Selamat tinggal, Om, tuturnya dalam hati. Lalu kembali melangkah pergi sejauh yang ia bisa.
#*#

Pagi kembali hadir dalam hidup Dhimas. Mencoba bersikap biasa adalah hal pertama yang dilakukannya. Cukup sulit memang karena perasaan bersalah dan amarah masih berkecamuk dan enggan sirna dari dirinya. Tapi Dhimas mencoba menampilkan tampilan datar.

Pukul tujuh tepat ia sudah rapi denga jas hitam, kemeja biru, dan celana panjang hitam. Rambutnya dibiarkan sedikit acak-acakan. Dibuat rapi pun percuma, kebiasaan mengacak-acak rambut ketika gelisah akan membuat rambutnya acak-acakan. Dhimas turun ke meja makan. Sedikit kecewa melihat meja makan dalam keadaan kosong tanpa penghuni. Mamanya memang tidak ada karena sedang menginap di rumah Kiran. Lalu kemana Nela? Tidak biasanya gadis mungil itu tidak ada pada jam sarapan seperti sekarang ini. Dhimas bertanya-tanya dalam hati. Ia akan menunggu sejenak. Mungkin saja Nela bangun kesiangan, pikirnya. Atau dia begitu marah? Atau terlalu sedih sampai tidak mau keluar?

Jarum jam seolah bergerak lambat dalam pandangan Dhimas. Menunggu acap kali membuat waktu seolah berputar lambat. Dhimas mulai resah dengan pikiran-pikiran negative yang bercokol dalam benaknya. Ia sudah tidak tahan menunggu selama lima belas menit.

“Bi, tolong panggil Nela untuk segera sarapan,” perintah Dhimas pada salah satu pembantunya. Wanita berumur empat puluhan yang sejak tadi menyibukkan diri membereskan dapur itu mengangguk lalu beranjak ke kamar Nela.

Tok tok tok. Pintu kamar Nela diketuk beberapa kali. “Non, sudah ditunggu sama tuan untuk sarapan.” Setengah berteriak wanita empat puluhan itu memanggil Nela dari luar kamar. Namun, tak ada jawaban apapun. “Non Nela… bangun, Non. Sudah ditunggu tuan!” Ia mengulang, memanggil Nela. Masih tidak kunjung mendapat balasan. Akhirnya pembantu rumah tangga itu memutuskan kembali ke meja makan memberikan laporan pada tuan besarnya.

“Maaf, Tuan. Non Nela sudah saya panggil tapi tidak menjawab.”

Mendengar itu kontan saja Dhimas menurunkan koran yang sedang ia baca, memandang wajah takut-takut pembantunya. “Ya, sudah biar Saya yang panggil,” ucapnya datar. Pembantu rumah tangganya itu menghela napas lega. Tadinya ia sempat takut kalau akan dimarahi, ternyata dugaannya salah.

Tok tok tok. Dhimas mengetuk pintu itu pelan. “Nela, keluarlah. Kamu tidak mau sarapan?” ucapnya kemudian. Satu detik… dua detik… tiga detik… sampai hampir satu menit berlalu tidak ada balasan dari sang pemilik kamar. “Nela! Kamu mendengarkan aku atau tidak? Ayo, Keluar!” Nada suara Dhimas naik satu oktaf. Hasilnya pun sama, tidak ada jawaban apapun. Dhimas mulai kesal. Dengan geram ditariknya handel pintu di depannya itu. Ceklek. “Nela….” Luapan amarahnya lenyap seketika menyadari tidak ada siapapun di kamar itu. Kosong. Gadis yang biasa ia lihat selalu memasang senyum untuknya tidak ada. Cemas, Dhimas bergerak cepat. Ia berlari ke kamar mandi, memeriksanya. Nihil yang ia dapat. Kemana gadis itu? Gelisah Dhimas mengacak-acak rambutnya. Lagi-;agi gadis itu membuatnya frustasi. Dhimas beranjak menghampiri lemari pakaian Nela. Semoga tidak seperti yang ia pikirkan, harapnya dalam hati.

Ceklek. Sayangnya, dugaannya benar. Lemari pakaian Nela telah kosong. Koper dan barang-barang gadis itu sudah tidak ada seperti pemiliknya. Dhimas bergegas, setengah berlari keluar rumah. Ia masuk dalam Panjero silvernya. Tujuannya hanya satu, mencari gadis itu.
@_@

Day after day
Time pass away
And I just can't get you out my mind
Nobody knows
I hide it inside
I keep on searching
But I can't find
The courage to show
To letting you know
I never felt so much love before
And once again
I'm thinking about
Taking the easy way out

But if I let you go
I will never know
What's my life would be
Holding you close to me
Will I ever see
You smiling back at me
How will I know
If I let you go

Dhimas tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Sudah setengah hari lebih ia berkeliling menelusuri kota Singapura, tapi apa yang ia dia cari tidak juga ditemukannya. Merlion Park, East Coast Park, Singapore Flyer, Esplanade, Singapore Zoo, Singapore Science Center, dan Chinese Garden sudah ia datangi. Hasilnya sama saja. Bahkan tempat perbelanjaan seperti Orcand Road pun sama. Kemana gadis itu pergi?

“Kamu sudah menelpon rumahnya? Barang kali dia sudah kembali ke Indonesia?” tanya Alan dari balik stir mobil Dhimas. Setelah diberitahu Dhimas, Alan bergerak cepat dengan membantu Dhimas mencari. Alan cukup tahu seperti apa kapasitas Dhimas jika sedang bingung dan cemas. Dia menggantikan Dhimas menyetir mobil.

“Aku sudah mengeceknya, kata ibunya dia belum pulang,” jawab Dhimas tanpa memandang Alan di sampingnya. Matanya berputar-putar, memandangi daerah yang mereka lewati.

“Apa ada tempat yang sering ia kunjungi?” tanya Alan kembali.

“Semuanya sudah kita kunjungi tadi. Tapi tidak ada.” Dhimas mengacak-acak rambutnya gusar.

“Hmm… kira-kira kemana ya kira-kira orang suka melarikan diri?” Alan tampak berpikir. “Bagaimana dengan rumah sakit?”

Dhimas sama sekali tidak ingin mendengar nama tempat itu disebut. Ia terlalu takut terjadi sesuatu pada Nela. Dhimas menggeleng sebagai jawaban tidak.

“Kita tidak bisa menyingkirkan kemungkinan terburuknya, man! Kita coba saja mencari ke rumah sakit,” saran Alan.

Dhimas seperti tidak punya pilihan lain. Pasrah dan berharap dugaan Alan salah. Ia pun mengangguk setuju.

Night after night
I hear myself say
What can't this feeling just fade away
There's no one like you
Can speak to my heart
It's just a shame we worlds apart
I'm too shy to ask
I'm too proud to lose
But sooneer or later
I've got to choose
And once again
I'm thinking about
taking the easy way out

But if I let you go
I will never know
What's my life would be
Holding you close to me
Will I ever see
You smiling back at me
How will I know
If I let you go

Memendam perasaan tanpa bisa mengungkapkannya secara jujur dan gamblang saja sudah membuat Dhimas sulit. Apalagi sekarang dia harus mengalami kehilangan orang yang ia sayangi. Tidak pernah sekali pun Dhimas membayangkannya.

Ia menghempaskan diri di atas singgasana kerjanya. Puluhan rumah sakit yang didatanginya tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Siang sudah berganti dengan malam dan Nela belum diketemukan.

Kalau saja Dhimas bisa memutar waktu, ia akan memperbaiki semua kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Nela. Ia tidak akan membentaknya, mengabaikannya, atau memarahinya. Ia akan bersikap lebih baik. Tapi pada kenyataannya, waktu tidak bisa berputar balik.

“Kamu tenang saja, Nela pasti baik-baik saja.” Untuk kesekian kalinya Alan memberikan ucapan menenangkan pada Dhimas. Disentuhnya bahu sahabatnya itu.

“Aku…”

“Kurasa kamu terlalu berlebihan mencemaskannya.”

Dhimas hanya tertunduk tanpa berkomentar. Andai saja Alan tahu kalau hatinya lebih kacau dari apa yang terlihat di luar.

“Astaga! Kamu menyukainya? Kamu mulai cinta sama dia?” pekik Alan tidak percaya. Akhirnya terbaca sudah apa yang tersirat dari hati Dhimas. “Sulit dipecaya,” gumam Alan.

“Entahlah.” Dhimas pasrah dengan pemikiran sahabatnya.

Alan mengangkat bahu. Menyerah. “Lebih baik kamu pulang, siapa tahu dia sudah kembali.” Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Alan meninggalkan Dhimas dalam ruangannya.
@-@

Gadis itu belum beranjak dari tempatnya. Memandang langit luas, gelap tanpa hiasan bintang atau rembulan. Sudah cukup lama dia berdiam diri di tempat itu. Satu-satunya tempat yang ia sukai. Di sini dia bisa melihat seluruh pemandangan kota Singapura sekaligus hamparan langit yang membentang di atasnya. Meski hanya berupa bangunan-bangunan tinggi menjulang dan lalu lintas perkotaan yang terlihat kecil, gadis itu sudah cukup terhibur.

Dia merogoh ponsel dalam saku celananya. Sudah cukup lama dia mengisolasi diri dari orang-orang yang mengenalnya. Saatnya memeriksa apa yang ada di ponselnya. Mengejutkan. Puluhan sms berikut panggilan tak terjawab yang jumlahnya tidak kalah banyak. Dia membuka daftar panggilan tak terjawab. Tertera sebuah nama. Dhimas. 30 misscall dan itu hanya dari Dhimas seorang. Dia menghembuskan napas. Entah untuk rasa keterkejutan atau sekedar menenangkan hati. Dibukanya kembali daftar sms masuk di ponselnya. Lagi-lagi bersumber dari satu orang yang sama. Dhimas.

8:10, 8 Des
Kamu dimana?

9:20, 8 Des
Maafkan aku, apa kamu berniat pergi tanpa pamit?

10:10, 8 Des
Nela, katakan dimana kamu sekarang?

12:03, 8 Des
Kamu mau membuatku GILA, HAH!

12:30, 8 Des
Maafkan aku, semalam aku tidak bermaksud kasar padamu. Aku hanya… marah? Pulanglah, Nela. Aku mohon.

13:11, 8 Des
Aku mencarimu kemana-mana, apa kamu sudah di Indo? Balas smsku, please!

13:40, 8 Des
Terima kasih sudah membuatku hampir gila.

13:52, 8 Des
Aku tidak berharap menemukanmu di rumah sakit. Aku mohon hubungi aku segera. Aku cemas dan hampir gila.

14:11, 8 Des
Aku cemas

14:20, 8 Des
Maaf, sudah membuatmu terluka dan marah

15:10, 8 Des
Jangan menghukumku seperti ini, aku benar-benar cemas

16:50, 8 Des
Haruskah aku menyusulmu sekarang?

17:10, 8 Des
Aku sudah mengelilingi Singapura seharian ini. Besok pagi aku akan langsung terbang ke Indo

17:59, 8 Des
Oke, aku akan menuruti apapun maumu, please kembali!

18:10, 8 Des
Aku menyerah. Tidak tahu harus bagaimana lagi? Aku berharap kamu ada di dekatku saat ini. Jangan pergi….

19:20, 8 Des
Sulit untuk mengakui ini. Aku tahu terlalu banyak perbedaan di antara kita. Entah sejak kapan kamu menjadi suatu kebutuhan pokok dalam hidupku. Aku menyesal sudah membentakmu. Aku hanya marah dan sulit mengendalikan diri. Katakan sesuatu…balas smsku atau hubungi aku.

19:40, 8 Des
Aku membutuhkanmu

20:10, 8 Des
Kembalilah

20:55, 8 Des
Tanpa kehadiranmu, aku tersiksa. Sungguh!

21:12, 8 Des
Aku tidak tahu lagi. Kamu sukses membuatku frustasi

21:34, 8 Des
Maafkan aku, Nela. Harus bagaimana lagi aku memohon…

Nela tidak tahu harus bersorak kegirangan atau bersedih. Perasaannya berkecamuk sekarang ini. Dia tidak marah sepenuhnya. Nela memutuskan pergi karena dia merasa kecewa pada dirinya sendiri. Dia sudah terlalu banyak merepotkan, bahkan mengganggu Dhimas. Dan sekarang dia malah membuat pria itu cemas dan tersiksa.

Bing bing. Satu sms kembali masuk.

21:57, 8 Des
Aku… aku suka padamu

Mata Nela membulat. Apa itu benar? Berkali-kali mengerjap, sulit mempercayai pandangannya sendiri. Apa yang tertera di layar ponselnya benar? Atau dia sedang bermimpi?

Nela bergegas bangkit. Menyambar kopernya dan menyeretnya cepat. Setengah berlari ia menuruni anak tangga darurat yang menghubungkan atap Bimantara tower dengan lantai 20. Lampu di lantai teratas gedung kantor tempat Dhimas berada sudah dipadamkan seluruhnya. Nela tidak peduli pada gelap. Ia terus berlari menyusuri lorong. Jika dugaannya benar, pria itu pasti masih berada di ruangannya saat ini. Dan tepat. Satu ruangan tampak terang bederang. Itu ruangan Dhimas.

Brak! Nela membuka paksa. Napasnya tersengal tidak beraturan. “Ooo…Om Dhimas!” pekiknya terbata.

Dhimas mengangkat kepalanya. Suara itu… apa dia tidak salah dengar? Dia merasa sangat mengenal suara yang baru saja menyuarakan namanya. Seorang gadis dengan napas tersengal habis berlari sedang berdiri di depan pintu kantornya yang terbuka. Gadis itu…

“Om, apa itu benar?” Gadis itu melangkah mendekati Dhimas yang masih berdiam diri di kursinya. “Apa yang disms Om itu benar?”

Dhimas terpaku tak bisa menjawab. Perasaannya campur aduk. Terkejut, tidak percaya, dan senang. Perlahan ia bangkit berdiri, merengsek ke depan meja kerjanya. Semakin lama gadis itu semakin dekat. Hingga akhirnya jarak mereka hanya beberapa senti.

“Apa itu benar, Om? Om… Om suka padaku?” Nela menengadah, memandang raut wajah Dhimas dalam-dalam. Menunggu sebuah jawaban dari pria itu.  “Om…”

Tubuhnya tiba-tiba tertarik ke depan. Kepalanya terhempas  membentur dada bidang pria di hadapannya. Kedua lengan kekar melingkari tubuhnya erat. Tanpa kata-kata. Dhimas hanya memeluk Nela sangat erat seakan tidak ingin melepasnya lagi. Dan dari itu Nela sudah bisa menarik kesimpulan untuk jawaban pertanyaannya.
@-@

“Kamu tunggu di sini. Aku akan mengambil mobil dulu.”

Nela mengangguk dengan senyum lebar terkembang. Dhimas membalasnya dengan senyum yang tidak kalah lebarnya. Kemudia ia beranjak menuju pelataran parkir di samping lobi kantornya. Sementara itu Nela menyeret kopernya berdiri di depan gedung Bimantara group. Tetes-tetes air turun perlahan memberi kesejukan pada tanah yang kering. Nela mendongakan kepala. Memandang ke atas, membiarkan wajahnya basah oleh gerimis. Tidak selamanya hujan identik dengan suasana sedih. Kali ini hujan bagi Nela adalah sesuatu yang menyenangkan.

Tanpa sadar gadis itu bergerak berputar. Menari-nari di bawah rintik hujan. Meluapkan rasa bahagianya. Hidupnya lengkap sudah. Cinta yang ia harapkan membalas tak terkira. Tidak ada yang kurang lagi.

Terlalu bahagia membuat Nela tidak menyadari sesuatu yang berbahaya dengan mengancamnya. Dhimas mengeluarkan Panjero silvernya dari basement. Dari kejauhan ia bisa melihat gadis mungil yang seharian ini ia cari sedang menari-nari di bawah guyuran rintik hujan.

Sebuah mobil melaju cepat dari arah tak terduga. Sasarannya sudah pasti. Kaki sang pemilik mobil itu memperdalam gasnya. Kecepatan pun bertambah. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan emas ini. Dia akan membalas semua penghinaan yang ia dapatkan kemarin. Mereka harus mendapatkan hal yang setimpal karena sudah membuatnya babak belur.

Mendadak Dhimas merasakan seuatu yang tidak mengenakkan. Pandangannya menelusuri sekitar. Dari arah kanan jalan masuk kantornya, sebuah mobil hitam melaju cepat. Pandangannya pun beralih pada Nela. Merasakan tanda bahaya mengancam keselamatan gadis itu, Dhimas menghentikan laju mobilnya. Sebagai tindakan impulsive ia keluar untuk memperingatkan Nela. “Nela AWAS!”

Sayang, Nela kurang cepat tanggap. Brak! Ketika kesadaran gadis itu kembali, tubuhnya sudah melayang lalu terhempas keras ke atas aspal. Mobil yang menabraknya melewati dia begitu saja. Tanpa rasa bersalah.

“NELA!”

Tidak butuh waktu lama, Dhimas menghampiri Nela. Meraih tubuh bersimbah darah itu dalam pelukannya. “Bertahanlah!” bisiknya.

Nela menatap lemah. Tangan kanannya terulur menyentuh wajah Dhimas. Senyum terulas di wajah mungilnya. Tidak ada ekspresi kesakitan. “Terima kasih, Om.” Hanya itu yang diperdengarkan oleh Nela. Satu kalimat terakhir sebelum kesadaran gadis itu lenyap.



EPILOG

Dia berdiri di atas atap gedung lantai dua puluh. Membiarkan angin malam membelai sekujur tubuhnya. Dingin ia abaikan. Ia hanya ingin menikmati moment ini sendiri. Kilasan kenangan di tempat itu berputar-putar dalam benaknya. Membaur bersama penyesalan dan rasa bersalah. Sesak. Dadanya sangat sesak. Andai dia bisa menangis. Sayangnya air matanya sulit turun. Telah kering akibat kesedihan yang berlarut-larut. 

Di hadapannya terpancar kerlap-kerlip lampu kota. Indah tapi terasa hampa di dalam pandangab kosongnya. Andai waktu dapat berputar kembali dan ia bisa memperbaikinya, ia akan membiarkan keindahan ini dinikmati bersama gadis yang dicintainya itu. 

"Maafkan aku, Nel." Ucapan penuh sesal itu entag sudah berapa kali keluar dari mulutnya. 

"Om nggak bersalah." 

Sebuah suara mengalihkan segala hal dalm dunianya. Dia menoleh ke samping. Mendapati seorang gadis tersenyum manis, mendekat dan melingkarkan lengan padanya. "Jangan menghukum dirimu sendiri seperti ini," bisik sang gadis. 

"Tapi aku memang bersalah.. kalau saja aku..." 

"Aku sudah bahagia, cukup mendengar penyataan akan kejujuran perasaan Om itu. Itu sudah cukup." Sang gadis memotong. Untaikan kata-katanya membuat pria yang dipanggil dengan sebutan Om terkesiap. "Aku bisa tidak tenang kalau Om terus seperti ini. Berjanjilah untuk tidak menyalahkan dirimu sendiri." 

"Tapi..." Semua ksedihan yang dipendam si Om siap tumpah. 

"Inilah takdir kita, Om." Gadis itu tersenyum lembut. Rangkulan tagannya merenggang. Kakinya melangkah mundur, menjauh. 

"Kamu mau kemana?" Rasanya enggan membiarkan gadis itu pergi lagi. Tidak, dia tidak akan sanggup menerimanya. 

"Aku harus pergi. Berjanjilah Om, jangan menyiksa dirimu sendiri seperti ini. Itu membuatku tidak tenang." 

Mau tak mau sang Om mengangguk. Dia tidak bisa menolak permintaan terakhir itu. Hanya kebahagiaan gadis itu yang diinginkannya. 

"Selamat tinggal, Om." 

Sosok itu memudar bersama desahan angin malam. Menyisakan kelegaan kecil untuk pria yang dicintainya. 

"Selamat tinggal, Nela." 

“Tidak… jangan pergi…”

“Sayang, bangun… Sayang…”

“Jangan aku mohon…”

“Sayang, bangun… kamu mimpi buruk.”

Hhhhh. Aku membuka mata cepat. Mimpi, benar tadi hanya mimpi.

“Sayang, kamu baik-baik saja?”

Suara itu, sosok itu… Aku menariknya dalam pelukanku. Erat seolah takut kalau sekali saja aku lengah maka dia akan lenyap dari sisiku. Aku tidak ingin mengulang peristiwa buruk enam bulan lalu itu. Bahkan tidak untuk mimpi barusan.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” Sosok dalam pelukanku bertanya cemas. Aku makin mengeratkan pelukanku, menenggelamkan diri dalam aroma tubuhnya. “Kamu mimpi buruk?” tebaknya.

Aku mengangguk pelan tanpa mengurai pelukanku. “Aku takut… sangat takut…” bisikku.

“Kenapa? Kamu mimpi apa?”

“Aku takut kehilangan kamu.” Akhirnya kuurai pelukanku, menatapnya dalam-dalam. Mata hitam pekatnya, bibir merah mungilnya, hidung mancung itu, rambutnya yang tergerai sampai punggung. Semua hal yang ada dalam dirinya itu yang aku suka. Tapi bukan karena fisik, derajat, usia atau kepolosannya yang membuat aku begitu menginginkannya. Semua itu karena kegigihannya, ketulusan yang tidak pernah menyerah dalam mencintaiku. Dia mencintaiku meski perbedaan di antara aku dan dia terlalu jauh. Dia menginginkanku sama seperti aku menginginkannya sekarang ini.

“Aku tidak akan kemana-mana.” Dia menghambur memelukku. Menyandarkan kepalanya di atas dada bidang telanjang. “Aku akan selalu bersamamu.”

“Tapi tadi….” Aku masih terlalu takut.

“Ssttt.” Sebuah terlunjuk menempel di atas bibirku. Menghentikan kata-kata yang akan keluar. “Semua itu sudah berlalu. Aku baik-baik saja. Tadi h-anya mimpi buruk. Aku ada di sini sekarang dan tidak akan pergi lagi.” Mata dan mata saling menautkan pandangan penuh cinta. Aku mengulas senyum. Ketakutanku telah menguap. Satu kecupan kudaratkan di atas dahi wanita yang memelukku.

“Ya, kamu tidak akan kemana-mana lagi. Kamu milikku,” bisikku penuh keyakinan. Aku pun tidak akan pernah membiarkanmu pergi lagi, janjiku dalam hati.

“Kak, bangun! Orang-orang sudah menunggu sarapan di bawah. Mau sampai kapan kalian di dalam?” Mendadak sebuah teriakan menghancurkan suara dramatis yang terjalin.

Sial! Aku mengumpat dalam hati. Sementara itu wanita yang memelukku terkekeh pelan. “Apanya yang lucu?” runtukku seraya mengurai pelukanku. Kutatap dia tajam

“Tante… em maksudku Kiran.” Dia tampak belum terbiasa dengan panggilan baru untuk adikku. Ya, tidak mudah memang. Posisinya sudah berubah sekarang dengan menjadi milikku.

“Pengganggu!” desisku.

“Kak Dhimas, ayo bangun!” Teriakan itu kembali mengudara. Apa mau anak itu sebenarnya? Tidak bisa melihat orang bahagia sebentar saja!

“Apa yang kamu lakukan di situ, Sayang?” Muncul suara lain dari balik pintu kamarku. Suara berat seorang pria. Ah, bisa kupastikan itu adik iparku. Apa dia mau turut bergabung dengan istrinya, menggangguku?

“Membangunkan Kak Dhimas.” Jawaban polos meluncur lancar.

Aku yang mendengarkan berdecak kesal. Paling-paling juga sengaja. Aku cukup tahu seperti apa keresean adikku itu.

“Issh, kamu itu. Biarkan saja mereka. Seperti tidak pernah menjadi pengantin baru saja.”

Bagus, adik ipar yang baik. Aku tersenyum gembira.

“Ta..tapi…”

“Sudah, jangan ganggu mereka!”

“Tapi, Mas…”

“Atau kamu iri sama mereka?”

“Eh?”

“Bilang dong kalau kamu juga pengen.”

“Eh, apa-apaan ini? Turunkan aku! Mama… Kakak… tolong!”

“Ishh, berisik!” Brak.

Kegaduhan yang sempat mengganggu akhirnya menghilang. Aku tersenyum sendiri. Tanpa harus melihatnya, aku sudah langsung tahu apa yang terjadi di luar sana. Tiba-tiba terjadi bergerakan di atas tempat tidurku. “Kamu mau kemana?” Dengan gerak cepat kutahan lengannya. Mau mencoba-coba lari dariku ya?

“Aku mau mandi. Kita sudah ditunggu untuk sarapan,” tuturnya sambil memutar mata.

Ck, apa yang dia pikirkan? Kutarik saja dia kembali. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terhempas kembali di atas tempat tidur. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, kukurung dia dengan kedua lenganku. Aku berada di atasnya. “Nanti saja. Mama bisa marah kalau kita keluar cepat.” Aku menyeringai kepadanya.

“Eh?” Wajah remajanya tampak bingung.

“Mama kan ingin cepat-cepat punya cucu,” terangku. Aku menahan tawa melihat dia melongo. “Kamu tidak masalahkan kalau hamil di usia muda?”

Seburat rona merah hadir di pipi mulusnya. Membuatku makin gemas. Ya ampun, gadis ini benar-benar membuatku hampir gila. Tidak mau membuang waktu, kulancarkan aksiku. Mendaratkan kecupan manis di setiap jenggal tubuhnya. Menandai wilayah kepemilikanku. Dia menggeliat antara kegelian bercampur nikmat?. Rasakan! Aku tersenyum puas penuh kemenangan. Haha. Senang akhirnya perasaanku bisa bebas kuluapkan dan dia menjadi milikku seutuhnya.

THE END