Senin, 24 September 2012

A Pair of Wings (3)


Gadis itu membuka kelopak matanya perlahan. Mengerjap lalu mengedarkan pandangan sejauh yang ia bisa. Badannya diam tak mampu bergerak. Dalam keremangan seulas senyum menampakkan diri. Lega. "Syukurlah kamu sudah bangun." 


Teguran dari sang pemilik senyum mengembalikan seluruh kesadaran gadis itu. Ia berusaha bangkit. "Aku dimana?" ucapnya lirih. 

Sang pemilik senyum menawan mendekat. Meraih sebelah bahu si gadis dan membantunya duduk. 

"Rumahmu.. kamu pingsan tadi," jawab sang pemilik senyum. 

"Bagaimana bisa, Felix?" Heran dan ketidakpercayaan menerbitkan sebuah kerutan di dahi gadis bermata abu-abu itu. 

Sang pemilik senyum menawan, Felix menaruh pantatnya di atas pembaringan si gadis. Tepat di sebelahnya. "Kamu terlalu banyak memakai kekuatanmu, Ninda." 

Ninda diam sejenak. Memutar memori dalam otaknya. Dan tak butuh waktu lama, Ninda kembali tersadar. 
"Berapa lama aku pingsan?" tanyanya kemudian. 

"Hampir satu hari penuh." 

"Separah itu?" 

Felix mengangguk. "Kurasa kekuatanmu belum cukup stabil, kau bahkan hampir menghancurkan penjara Oxerus," jelas Felix. 

Ninda terdiam. Menunduk. Lalu memandang Felix di sisinya. Bingung harus berkata apa. 

"Baiklah aku akan membiarkanmu beristirahat." Felix undur diri, melangkah kluar dari rumah Ninda. 

Kini tinggallah Ninda seorang diri. Kesunyian mulai merembak mengisi ruang-ruang rumahnya. Ia merasa kosong. Tak ubahnya duniaku dulu, pikirnya. Sepi. 
*** 

Seorang pemuda berambut lurus hitam kelam berjalan dengan kepercayaan diri luar biasa. Berbagai pasang mata yang dilewatinya memandang dengat sorot akan kekaguman. Pemuda itu tampak tampan dan menawan. Berkulit putih, mata bak mutiara hitam pekat, hidung lurus runcing ke depan dan bentuk badan yang kokoh berotot. Kaos hitam yang ia kenakan begitu pas menampakkan tiap lekuk otot-otot ditubuhnya. 

Pemuda itu tak merasa risih dengan tatapan orang-orang kepadanya. Ia bahkan tampak menikmatinya. 

"Daren!" pekik seorang pemuda lain dibelakangnya membuat pemuda itu menoleh. "Sudah siap presentasi?" 

Daren mengagguk mantap. "Tentu saja." 

"Ayo kita masuk ke kelas." Sebuah rangkulan keakraban hinggap di atas bahu Daren. Ia tersenyum. Inilah sesuatu yang amat ia inginkan setelah sekian puluh tahun ia hidup. Menyentuh dan disentuh oleh orang lain. 

Daren mengangguk kembali dan melangkah beriringan dengan kawan barunya itu. 
***


Rembulan terang benderang, menampakkan semburat wajah bulat penuh berwarna jingga kemerahan. Bulan purnama bak duplikat sang surya yang kembali ke peraduan. Cantik. Harusnya siapa pun yang melihat akan terpesona akan kecantikan alami sang bulan. Namun, tidak untuk Ninda saat ini.

Matanya memang memandang ke langit, tepat pada sang rembulan. Tapi pancaran mata gadis itu kosong. Wajahnya pun lesu tak secerah bulan. Beberapa kali dia menghela napas. Seperti ada beban berat yang sedang dipikulnya.

Agaknya nasib gadis itu tidak membuatnya merasa senang. Lebih-lebih dia merasa kesepian. Dulu dia berpikir betapa menyenangkannya jika ia bisa menjadi peri. Makhluk cantik dan menawan dengan kekuatan yang tak dimiliki manusia. Peri adalah makhluk social yang suka berkumpul dengan sesamanya. Tak akan kesepian lagi bila mampu menjadi peri. Akan tetapi, kenyataan tak seindah bayangan dalam pikiran Ninda. Malah berbanding terbalik. Ninda merasa sangat kesepian.

Di Luona dia seorang diri. Bukannya Ninda tidak pernah mencoba untuk bersosialisasi dengan yang lain. Gadis itu sudah mencoba berulang kali. Tapi yang ia dapat hanyalah makian dan hinaan. Para peri lain di Anora menganggap seolah-olah Ninda adalah penyakit menular yang harus dihindari. Tak ada seorang pun yang mau mendekatinya. Mereka selalu memandang sinis Ninda.

Felix? Ah, iya. Ninda teringat pada satu nama yang selama ini mau berbicara padanya. Meski begitu tetap saja tak mampu menyirnakan kesepian yang mendera. Felix hanya sesekali menemuinya. Itu pun datang hanya menanyakan kabar dan hal apa yang Ninda lakukan. Dan setelah itu Felix pergi. Pria itu sudah seperti pengawas bagi Ninda.

Aku ingin hidupku yang dulu… menjadi manusia, sesalnya dalam hati. Bagaimana aku bisa kembali? Bagaimana? Ninda memutar otak. Ia bangkit dari duduknya. Perlahan dengan bantuan sepasang kelopak di punggung, gadis itu turun dari batang pohon yang ia duduki tadi. Kakinya menginjak tanah dengan pelan nyaris tanpa suara. Pada detik berikutnya, kaki mungil gadis itu sudah berjalan mondar-mandir. Otaknya berpikir keras memikirkan cara untuknya pulang. Segala macam memori ia putar kembali.

 “Kau tak akan dapat keluar dari Anora.”
Sebuah ucapan muncul dalam benaknya. Ah, itu ucapan Felix, batin Ninda. Dia masih mengingat tiap detail yang dikatakan Felix beberapa hari lalu.

“Kenapa tidak bisa?” tanya Ninda.

“Gerbang Anora tertutup dan bagaimana kau mampu melewati dua orang penjaga pintu yang tangguh?” jawab Felix. Ninda mendesah putus asa.

Seulas senyum terkembang dibibir Felix. Ia tahu apa yang sangat diinginkan gadis itu. Dan Felix tak tega untuk membiarkan gadis itu murung terus. “Para penjaga hanya membuka gerbang Anora ketika bulan baru dan saat bulan purnama muncul,” ujarnya.

“Benarkah?” sahut Ninda tak percaya.

Felix mengangguk dan meneruskan ucapannya. “Saat bulan baru atau bulan purnama kekuatan kami bertambah kuat sehingga ratu peri membiarkan gerbang Anora terbuka. Tak akan ada yang mampu menghancurkan Anora di saat kekuatan kami sedang pada puncaknya.”

Sepercik harapan muncul. Ya, aku bisa keluar. Ninda menengadahkan kepala ke atas. Menatap bulan  yang bersinar terang. “Bulan purnama,” gumamnya. Dia tak mau menyia-nyiakan waktu.

Ninda mengepakan sayap. Seketika tubuhnya terangkat melayang di udara, lalu melesat cepat. Tujuannya sudah pasti, gerbang utama Anora.
**

Terbuka. Benar seperti yang Felix katakan. Ninda memandang dikejauhan. Dua orang penjaga dengan baju zirah dan sebuah pedang menggantung pada pinggang. Mereka berdiri di kedua sisi samping gerbang Anora, tampak waspada. Sementara itu, beberapa peri berjalan keluar melewati gerbang. Pada sisi kanan gerbang seorang peri laki-laki dengan buku catatan besar duduk di balik meja, mengamati satu per satu peri yang lalu lalang di depannya.

Ninda bersembunyi dibalik pohon Ox yang rindang. Sebuah pohon berbatang besar dengan daun menjari berwarna kuning. Batangnya yang besar mampu menyembunyikan tubuh Ninda. Bagaimana cara keluar? 

Selasa, 18 September 2012

Happy Marriage


Hapi Mari, sebuah komik karangan Enjouji Maki. Komik ini bercerita tentang seorang cewek bernama Takanashi Chiwa yang menikah dengan seorang president direktur perusahaan tempat ia bekerja. Dia menikah bukan karena keinginannya sendiri. Pernikahan yang ia jalani itu karena terpaksa. Istilahnya kawin kontrak. Mamiya Hokuto, sang president direkturlah yang meminta. Dari sinilah awal masalah yang dihadapi Takanashi. Sebuah awal yang akhirnya membuat dia terjerumus pada cinta Mamiya. 

Meski tema ceritanya klise, tapi cara penceritaannya bener-bener menghibur. Banyak kejutan-kejutan tak terduga. Terlebih lagi dengan karakter Mamiya yang dingin, tenang tapi menghanyutkan. Nggak nyesel deh kalau baca komik ini.

Download Komik chapter 1-12 disini, untuk chapter 13 - selesai klik disini. Untuk baca disini.