Sabtu, 16 Juni 2012

LOST MY BROTHER (1)



“Sudah, Nduk. Jangan nangis terus. Ibumu kan baru saja pulang tadi, jangan ditangisi dong!” Berkali-kali kata-kata terlontar dari mulut Bude Irma. Dengan penuh kasih tangan kanannya terus membelai rambut panjangku. Mencoba menenangkanku, menghentikan tangis yang sudah berlangsung sejak satu jam lalu.
“Udah dong, Rin. Di sini juga Cuma satu minggu. Baru ditinggal sebentar kok sudah kangen sih sama ibumu.” Bulek Ranti akhirnya ikut menyahut dengan komentar pedasnya. Meski begitu aku tahu maksudnya baik. Aku yang sedang menjadi pusat perhatian tak membalas sedikit pun. Hanya terdiam dalam tangis. Menenggelamkan wajah dalam bantal yang sedikit basah oleh air mataku. Beberapa orang di sekitarku masih berceloteh menggumamkan bagaimana cara menenangkanku. Aku tidak tertarik untuk mendengarnya lebih jauh. Sampai kudengar bunyi suara langkah kaki mungil masuk dalam kamar yang kutempati. Bude Irma bangkit berdiri.
“Kamu tenangin adikmu ya,” ujar Bude Irma pada seseorang. Aku sudah dapat menebaknya. Sedetik kemudian kurasakan seseorang duduk di atas tempat tidurku. Tangannya terulur menyentuh bahuku.
“Via, udah deh jangan nangis. Ada Mas kan di sini. Tadi katanya nggak apa-apa ditinggal ibu, kok sekarang malah udah kangen sama ibu,” ucapnya dengan suara berat. Aku masih diam. Air mataku terus saja keluar. Dan orang itu masih mengoceh untuk menenangkannya. Aku merasa lelah dan perlahan mataku memejam. Aku pun tertidur sambil masih menangis.

“Vi, kamu baik-baik saja?” Terguran Ririn membuatku tersentak. Aku mendongak menatap gadis berkaca mata itu.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabku. Tak lupa kuulas segaris senyum di bibirku.
Ririn menghela napas lega. “Syukurlah. Kamu melamun sejak tadi, aku pikir kamu sedang sakit.”
“Oh, maaf sudah membuatmu cemas.” Aku sungguh menyesal membuat Ririn khawatir. “Aku hanya….”
“Apa yang kamu pikirkan sejak tadi?” potong Ririn.
Aku menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.” Pandanganku kembali kosong saat menatap dua anak kecil di meja yang berseberangan dengan mejaku. Seorang gadis kecil berusia tujuh tahun dan laki-laki lebih tua dua tahun dari gadis itu sedang asyik bercanda. Mereka tertawa bersama. Entah mengapa tiba-tiba dadaku terasa sesak. Aku merindukannya.
“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Ririn membuyarkanku.
“Ya.” Aku tersenyum lagi. Menutupi luka yang kurasakan. Kupalingkan wajahku menatap Ririn. Dia memandangku penuh arti. “Kita pulang saja yuk!” ajakku. Ririn mengangguk menyetujuinya. Ia meraih tas abu-abu yang diletakkan di atas kursi kosong di sebelahnya. Aku pun melakukan hal yang sama meraih tas ransel hitamku danberjalan mendahuluinya menuju kasir.
***

“Apa kamu melihatnya di perempatan sana, Vi?” Pertanyaan itu memburuku begitu aku memasuki rumah. Seorang wanita paruh baya memandangku lekat, menunggu jawaban dariku. Aku menggeleng.
“Tidak ada, Bu. Aku tidak melihatnya. Di sana hanya ada sekumpulan anak mengendarai motor, aku tidak melihatnya dengan jelas sewaktu melalui tempat itu,” jawabku. Yang aku rasa bukan jawaban yang menyenangkan untuk ibuku dengar. Bibir ibuku tertarik ke bawah, muram. Aku sudah sering melihatnya. Ya, itu terjadi setiap kali aku mengatakan ucapan yang sama saat ia menanyaiku seperti itu. Aku tidak tega melihatnya seperti itu. Tapi apa yang bisa kulakukan. Dia memang tidak ada di sana. Bahkan sudah tak pernah kulihat lagi setahun lebih ini.
“Apa yang dipikirkannya? Semua sudah dia dapat, tapi kenapa dia bisa sebodoh itu? Apa tujuan hidupnya itu?” desah ibu. Punggungnya bersandar pada kursi rotan di ruang tamu. Aku menarik ujung bibirku, tersenyum sekilas.
“Entahlah, Bu.” Setelah jawaban singkatku itu aku bergegas masuk ke kamar. Kalau aku berlama-lama bersama ibu, ia akan menjejaliku dengan berbagai keluh kesahnya. Sesuatu yang tidak aku suka karena dengan begitu aku akan turut merasakan kesedihannya.
***
Viana mendongakkan kepala, menatap langit. Mendung sedang menyelimuti. Sebentar lagi hujan akan turun. Dan benar saja, tetes butiran pertama jatuh mengenai pipi kiri Viana. Dalam sedetik tetes itu berubah semakin banyak membasahi bajunya. Viana berlari cepat, menutupi kepalanya dengan sebelah tangan. Menyelamatkan diri agar tidak basah kuyup.
Viana mendapati sebuah tenda kaki lima kosong di pinggir jalan. Ia berlari ke tempat itu. Akhirnya ia bisa berteduh. Kedua tangannya terangkat menepuk-nepuk pakaiannya yang sedikit basah. Setelah cukup mengusir sisa-sisa air dari tubuhnya, mata Viana menatap ke depan. Hujan yang deras. Viana sedikit menyesali diri karena tak menuruti ucapan ibunya untuk membawa payung hari ini. Ia akan terlambat ke kantor. Ini akan lama, pikirnya. Hingga Viana memutuskan untuk mengambil ponsel dalam tas ranselnya. Ia perlu memberitahu seseorang di kantor bahwa ia terlambat. Jika tidak bosnya, Pak Anton yang terkenal sangat disiplin itu pasti akan mengomelinya selama beberapa jam.
Viana kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Pandangannya kembali tertuju ke depan. Hujan masih mengguyur bumi. Tak sederas ketika awal tadi, tapi cukup dapat membuat seluruh tubuh basah. Lalu lalang orang di jalan depan Viana tak banyak. Hanya beberapa orang saja yang nekat menerobos hujan.
Gadis berambut sebahu itu melamun terbawa dalam suasana hujan. Ingatan masa kecilnya kembali berputar. Ingatan dimana ia bersama seorang laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya.
“Mas turun! Disuruh pulang sama ibu tuh,” rengek gadis kecil berkepang dua dengan kepala mendongak keatas memandang dua orang anak laki-laki yang tengah bersandar pada dahan pohon keresem.
“Nanti saja, kamu pulang sana. Jangan kemari!” balas salah seorang anak laki-laki pada dahan paling rendah.
“Cepat pulang, Mas!” Gadis kecil itu masih bersikukuh.
“Nanti, ah,” tolak laki-laki yang dipanggil ‘mas’.
Dengan wajah cemberut gadis kecil berkepang dua itu hanya mampu berdiam diri memegang sepedanya di bawah pohon keresem yang dipanjat oleh kakaknya. Gadis itu setia menunggu kakaknya. Ia tidak peduli kakaknya enggan bersama dengannya.
Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya menghampiri gadis itu. Penampilan pria itu jauh dari kesan rapi. Rambutnya acak-acakan dengan pakaian kumal. Pria itu terus saja memandangi gadis kecil berkepang dua tadi. Merasa menjadi pusat perhatian seseorang, gadis kecil itu menjadi risih. Ia mencoba mengalihkan rasa tidak enaknya dengan melihat kakaknya. Tapi sang kakak tak menghiraukannya. Rasa takut mulai menghinggapi gadis kecil ketika pria paruh baya tadi semakin dekat dengannya.
“Ini sepeda siapa?” tanya pria paruh baya itu. Matanya tajam menatap gadis kecil di depannya. Sementara itu kedua tangan kekarnya telah memegang kedua stang sepeda. Seolah hendak merampas benda kesayangan gadis itu.
“Pu…punyaku,” jawab gadis itu takut.
“Aku pinjam ya!” Pria itu berusaha menarik sepeda si gadis kecil. Namun dengan erat gadis itu memegangi sepedanya.
“Jangan!” pekik si gadis kecil.
“Sudah buat aku saja!” Pria paruh baya itu semakin memaksa.
“Jangan…..” Mata si gadis kecil mulai berkaca-kaca. Ketakutan merayapinya. Ia benar-benar tak berdaya.
“Hey, mau apa kamu?” Sebuah suara berat muncul di samping gadis kecil itu. Rupanya sang kakak turun dari pohon dan langsung menegur si pria paruh baya. Dengan tatapan tajam dan rahang mengeras sang kakak memegangi sepeda adiknya. “Ini sepeda adikku. Jangan diambil, pergi sana!” bentaknya.
“Tidak kok, Cuma mau pinjam,” ujar pria setengah gila itu.
“Tidak bisa. Kalau mau cari yang lain saja!” tegas si kakak. Tak lupa memelototkan mata untuk menakuti si orang gila. Dan benar saja pria gila itu tak berujar lagi. pria itu langsung pergi meninggalkan bocah kakak-beradik.
“Sudah, jangan menangis lagi. Orang gila itu sudah pergi!” Si kakak mencoba menenangkan adiknya. Rasa aman kembali muncul di hati si adik.
Viana mendesah panjang. Ia benar-benar rindu sosok itu. Sosok yang selalu memberinya rasa aman dan menjaganya. Saat pandangan Viana kembali terfokus pada jalan raya di depannya, secara tak sengaja siluet seorang pria yang dikenalnya melintas cepat. Viana begitu mengenal pemilik siluet itu. Ya, itu sosok yang dirindukannya. Sosok yang selama satu tahun lebih tak dijumpainya. “Mas Devo!” teriak Viana refleks. Sayangnya, suara Viana tertelan oleh suara hujan yang mengguyur makin deras. Sosok itu tak mendengarnya sama sekali.
###

 -Bersambung-

KINI BERBEDA


Oleh: Jayanti

”Maaf, Yan! Kita putus.” Sudah seminggu kata-kata tersebut bermain dalam pikiranku. Padahal aku sendiri sudah menerima keputusan itu, hubunganku dengannya berakhir setelah satu kalimat itu mengalir lancar dari bibir tipisnya. Dan dia berlalu begitu saja, tidak ada kejelasan yang aku dapatkan, mengapa kisah cintaku harus kandas.
”Hari ke tujuh,” gumamku seraya menengadahkan tanganku, merasakan tetesan air dari langit. ”Semua masih sama.” Aku menghela nafasku berat. Sesaat aku mencoba tersenyum, tapi gagal. Kenangan hari kemarin masih setia memaksaku untuk mendatangi taman ini – tempat dimana cintaku berawal dan berakhir dengannya. Tangiskupun kembali tumpah. Entah berapa banyak air mata yang keluar hanya untuk menangisi kegagalan hubunganku dengannya.
”Yayan, ini yang pertama dan terakhir untukku menanyakan perasaanmu kepadaku,” ucapnya gugup. Aku mengawasi segala gerak-geriknya yang mampu membuatku menyembunyikan tawaku. ”Jadi pacarku ya?” Mataku melebar atas keberaniannya saat ini. Tawaku yang sedari tadi aku tahan perlahan hilang terganti dengan kegugupanku. Jantungku berdetak lebih cepat. Ini pengalaman pertamaku ditembak seorang laki-laki. ”Yan... Yayaan!”panggilnya berkali-kali. Aku hanya mampu mengerjap-erjapkan mataku. Tidak ada pergerakan dariku. Aku masih diam. Mengartikan pertanyaannya. ”Mau ya?”
”Ehh!”
”Jadi pasanganku,” bisiknya.
”Kita…”
”Pacaran. Kamu dan aku,”ucapnya sambil menggenggam tanganku.
”Bukannya kita…”
”Sahabat kecil,” sahutnya memotong ucapanku dengan semangat. Aku hanya mengangguk membenarkan. ”Sahabat jadi cinta.”
”Sahabat jadi cinta. Huh,”gumamku yang aku akhiri dengan desahan. Air langit masih setia turun membasahi bumi, memberi kesejukan tersendiri bagiku. Aku merasakan dingin merasuk membelai kulitku yang hanya berbalut kemeja putih dengan lengan pendek, membiarkan sensasi beku membalut tubuhku. Berharap bisa mendinginkan gejolak hatiku untuknya.
”Yayan, kenapa tidak berteduh dulu? Kalau badanmu basah semua nanti kamu sakit lho,”omelnya saat mendapatiku duduk di kursi taman dengan keadaan basah karena hujan yang tidak bersahabat.
”Aku takut kamu tidak melihatku,”ucapku sambil menundukkan kepalaku. Ada sedikit genangan air di mataku.
Aku mendengarnya mendesah, ”Hah, Maaf. Aku yang salah. Mungkin kalau aku tidak telat dua puluh menit dari waktu kita janjian, kamu tidak akan kehujanan seperti itu.” Dia menyadari aku menangis. Dia memang begitu mengerti diriku. Dihapuskannya airmata yang kini benar-benar meleleh di pipi chubby-ku.
”Kok nangis? Kalau begitu kita pulang aja ya?”tawarnya. Aku menggeleng.”Sstt... Diam! Cup cup cup. Aku ga marah kok,” hiburnya.
”Tapi kok kamu bicaranya banyak? Kamu marah ya?”
”Aku ga marah. Cuma khawatir sama kesehatan kamu. Kalau kamu sakit semua orang pasti repot!” Aku memukul lengannya pelan. Dia mengaduh tertahan membuat tawaku terdengar nyaring.
”Kencan pertama gagal nih.”
”Semua terasa nyata untukku, aku masih mengingankanmu di sampingku,” doaku dalam hati, berharap angin yang berhembus menyampaikan lirihan hatiku. Rintihan akan kesendirian yang ditimbulkannya saat aku merasakan sepi tanpa hadirnya. ”Jika aku bisa memilih, aku pasti tidak melepasmu tanpa kejelasan.”
Aku memutuskan untuk meninggalkan taman ini. Payung putih yang melindungiku dari hujan kini aku katupkan, pertanda hujan telah reda. Semburat merah menghias langit, memunculkan kembali kenanganku dengannya. Masih begitu jelas memori tentangnya hilir mudik memenuhi kepalaku.
”Yayan… sendiri saja?” sapa seseorang disertai tepukan pelan di bahuku. Hal itu membuatku melonjak kaget, mengalihkan tatapanku dari langit yang selalu kami kagumi, dia dan aku. ”Sory. Bikin kamu kaget.”
Mataku menyipit saat orang yang menyapaku menggaruk kepalanya, gugup. Dia seperti kekasihku. Bukan, melainkan mantan kekasihku. ”Dika!”
Orang yang kusapa, Dika hanya tersenyum. ”Sudah sore, kamu nggak pulang?” Entah mengapa aku malas menanggapi orang asing di sampingku ini, walaupun aku tahu Dika teman baik Abi. Sudah hampir setengah tahun aku tidak melihat Dika karena ia beserta keluarganya pindah ke kota Surabaya. ”Yan,” panggilnya.
”Ya, ini juga mau pulang,” jawabku meninggalkan Dika.
”Aku antar.” Dika berjalan beriringan denganku. Aku membiarkannya berbicara. Lelaki dewasa yang dua tahun diatasku berceloteh ringan tentang masa-masa sekolahnya di Surabaya. ”Abi apa kabarnya?” Satu pertanyaannya ini membuatku menghentikan langkahku. 
Dika melihatku heran. Menangkap ekspresi lain di wajahku. ”Aku tidak tahu,” jawabku cepat seraya tersenyum kecut. ”Aku dan Abi sudah putus.”
“Putus?” Dika mengerutkan dahi, bingung. Aku pun mengiyakan pertanyaannya. ”Kami tidak pernah bertengkar. Hubungan kami tidak pernah terjadi hambatan selama setahun ini,” jelasku dengan suara serak. Kini aku menjadi cengeng di depan orang lain. 
”Maaf,” tangisku pecah saat ini juga. Dalam rengkuhan selain Abi aku meluapkan tangisku, melupakan permintaan maaf dari Dika yang dia tujukan untuk apa. Dika membimbingku untuk menaiki motornya setelah dirasa aku puas telah menangis. Perlakuan ini sama persis dengan Abi kepadaku. Penuh dengan kesabaran.
***
”Kenapa kamu diam saja, Yan? Sakit?” Kesadaranku kembali setelah motor Dika berhenti di depan rumahku. Aku tersenyum kecut sembari turun dari motornya. Senyuman yang selalu aku tampilkan setelah kesendirianku kini.
”Owh, tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah,” jawabku meyakinkan. ”Mau mampir?” lanjutku basa-basi.
Dika tampak menimbang-nimbang ajakanku. ”Lain kali saja. Hmm, besok kamu ada acara?” Aku menggeleng. ”Oke. Kalau kamu setuju, besok aku jemput jam sepuluh pagi. Em, temani aku jalan-jalan keliling kota sekalian menyegarkan pikiran?”
”Aku pikir-pikir dulu.”
”Oke. Aku pamit pulang. Sudah sore.” pamitnya. ”Eh, masih kepikiran Abi?”
Aku hanya diam, pertanyaannya tadi menohokku. Keadaan hening. Dika diam menunggu jawabanku. Sedang diriku memikirkan apa yang sebenarnya membuatku tidak rela hubunganku dengan Abi pupus. ”Ya, sudah seminggu ini aku memikirkannya. Memikirkan alasan yang melandasi keputusan Abi untuk mengakhiri hubungan. Tapi aku baik-baik saja,” paksaku seraya tersenyum.
Dika tampak berpikir. ”Abi pasti punya alasan yang belum mampu dia jelaskan. Jalani hidupmu seperti biasa,” semangatnya. Aku melambaikan tanganku saat Dika berlalu setelah ucapannya yang terakhir.
”Jalani hidup seperti biasa.” Kata-kata Dika berulang kali aku rafalkan seperti doa tapi, tetap saja tiada perubahan. Aku menghela nafas sesak dan beranjak memasuki rumah setelah lama mematung di halaman depan.
***
Aku menyeret langkahku terpaksa. Mataku menyapu sekeliling. Sepi. Tidak seperti biasanya. Ibu tidak datang menyambutku. Dimana beliau? ”Ibu... Ibuu...” Aku menghentikan panggilanku setelah melihat beliau duduk di ayunan belakang rumah. Aku memberikan senyuman untuk beliau yang sudah sudi merawatku dari kecil penuh dengan kasihnya. ”Aku pulang, Bu!” sapaku seraya mencium punggung tangannya.
”Duduk sini, Nak!” Suaranya begitu halus. Dengan cepat aku mengambil tempat duduk di sampingnya. ”Apa kabarnya Nak Abi?”
Pertanyaan ini kenapa berulang ditanyakan. Aku menatap beliau. Tidak bisa aku pungkiri jika saat ini air mataku ingin kembali merebak. Tapi semua kutahan, aku tidak mau terlihat lemah. ”Yayan nggak tahu, Bu,” jawabku sekenanya. “Mata ibu kok sembab? Kangen ayah ya, Bu?” alihku berbicara.
Ibu tersenyum tulus. ”Iya nak, Ibu kangen Ayah.” Ibu bergerak seperti mencari sesuatu di sampingnya. Aku hanya memperhatikan wajah beliau yang sayu dan tampak lelah. Maaf, bu. Yayan belum bisa menjadi kebanggaan Ibu. Tapi Yayan janji, Yayan pasti bikin Ibu bahagia, batinku.
”Ada titipan dari Nak Abi.” Ucapan beliau berhasil membawaku pada kenyataan.
”Abi?” Ibu hanya mengangguk.
”Maafkan Ibu, Nak,” lirihnya seraya membelai rambutku lembut. Aku menerima sebuah kotak kecil dan selembar surat didalamnya. Buru-buru aku membuka surat itu dan mengabaikan sebuah bandul kunci berupa boneka kelinci kecil, boneka kesukaanku. ”Dear, Adik kecilku yang selalu kurindu.”
Aku mengerngit heran. Bingung dengan sapaan Abi. Adik kecil? Abi tidak pernah memanggilku seperti ini. Aku menatap ibuku sekilas, dan beliau sepertinya tahu akan kebingunganku. 
Bingung dengan sapaan Abi? Maaf sebelumnya, kamu pasti saat ini benci dengan Abi. Tapi Abi hanya bisa meminta maaf dan memberikan kejelasan lewat selembar kertas. Mungkin pula saat kamu, little bunnyku yang manja dan sering ngambek membaca surat ini, Abi telah bertolak dari Semarang menuju Jakarta untuk melanjutkan kuliah.
Abi kakak Yayan, kita sedarah karena ayah kita satu dan tidak ada alasan yang lain yang membuat Abi memilih mengakhiri hubungan yang tidak seharusnya terjadi. Tapi, Abi akan selalu berusaha menjaga adik kecilku dari sini.
Airmataku tumpah membaca kenyataan yang terlampir dari setengah surat Abi. Bagaimana ini bisa terjadi? Ibu memelukku erat. ”Abi tadi datang kemari untuk menjelaskan semuanya kepada Ibu,” lirih beliau.
”Bagaimana ini bisa terjadi, Bu?” tuntutku meminta penjelasan dari sebuah rahasia yang baru aku ketahui. Ibu mengusap air mataku. Beliau menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan diriku dan Abi. Entah aku harus senang atau bersedih. Dimana aku mempunyai seorang kakak laki-laki dan disitu pula letak permasalahan kisah cintaku.
”Abi sudah sejak kecil selalu menemani Yayan, Bu. Kenapa baru terungkap sekarang?” Bagaimanapun rasanya susah saat rasa yang terlanjur cinta dipaksakan berubah menjadi kasih sayang saudara. 
”Ayah dan Ibu dulu terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, hingga sering kami menelantarkanmu, membiarkan kamu bermain bersama teman-temanmu. Entah siapa temanmu, Ibu tidak mengenalnya,” jelas Ibu dengan suara serak. Aku membenarkan ucapan beliau tentang kenyataanku waktu kecil. Orang tuaku terlalu sibuk dengan dunianya. ”Dan sebelum Ayah meninggal, beliau mengetahui bahwa putranya ternyata ada di sekitar kita – putra dari istri terdahulu. Hingga kenyataan mengharuskan Ibu menutup keinginan mengetahui siapa putra yang dimaksud ayahmu. Ayahmu pergi sebelum memberi penjelasan kepada Ibu karena kecelakaan itu.” Sesak, benar-benar sesak menerima kenyataan bahwa Abi juga putra Ayah.
* * *
”Abi kenapa telat jemput sih?” rajukku manja.
Orang yang selalu menanggapi rajukanku tersenyum kecut sambil mengandeng tanganku. ”Maaf, tadi keenakan beresin berkas-berkas di lemari Bapak.”
”Oh... Abi capek?” Dia menggeleng. ”Kok mukanya kusut?”
Abi tertawa hambar. ”Hmm, cuma agak sedih.”
”Kenapa?” kejarku ingin tau.
”Nanti Abi ceritain. Kita ke makam Ayahmu dulu yuk!” ajaknya. 
Aku tersenyum senang sembari memperat genggaman tanganku. Ini tujuan awalku menyuruh Abi menjemputku, mengunjungi Ayahku diwaktu ulang tahunku yang keenam belas. Ternyata sudah hampir setahun masa pacaranku dengan Abi. ”Yan..” panggilnya

”Ya....”
”Nama Ayah kita ternyata sama.”
”Hah? Masak sih?”
”Iya… sama hurufnya.”
”Kok bisa?” Abi mengendikkan bahunya. ”Bukannya nama Ayah Abi...”
”Sastro?” Aku mengangguk. ”Itu Ayah baru ternyata.”
“Ayah tiri?” pekikku. Abi ganti mengangguk.
”Tapi baik lo,” lanjut Abi cepat. Mendengar kata-kata tiri membuatku takut. Hmm, tapi aku tidak terlalu memusingkan masalah ini. Yang terpenting aku ingin menjenguk Ayah. ”Hmm.. Sudah sampai!”
Suara ketukan pintu membawaku pada kenyataan. Aku tersenyum simpul dan bergegas membukakan pintu untuk tamuku.
”Hai!” sapanya. Aku tersenyum tulus. ”Sudah siap?” Aku mengangguk dan memberikan senyumku untuknya. Senyumku sudah seperti biasanya. Mungkin juga aku sudah kembali seperti dulu. Keadaanku sudah membaik dan yang terpenting, aku sudah menerima kenyataan bahwa Abi adalah kakakku.
”Siapa, Nak?” tanya Ibu.
”Dika, teman Yayan,” kenalnya sopan seraya mencium punggung tangan Ibuku. Beliau tersenyum.
Aku sudah memutuskan untuk memulai hidupku kembali. Menata hati untuk masa depan. Walaupun semuanya berbeda. Aku sendiri, berdiri tanpanya di sampingku. Surat dari Abi sendiri sudah menyadarkan diriku bahwa hidupku sangat berharga. Bukan untukku sendiri melainkan untuk semua orang di sekelilingku, orang-orang yang begitu menyayangiku. 
Kenyataan bahwa Abi adalah kakakku kuterima dengan lapang hati. Suratan takdir yang membawa segalanya berakhir indah. Tidak pernah kusesali bahwa aku pernah mempunyai cinta kasih lebih untuknya yang saat ini mampu merubah pandanganku. Dia kakakku dan selalu menjadi kakakku. Seseorang yang telah memberi dan mengajari kasih tulus, mengajariku tersenyum di saat pedih.
Berakhirnya hubungan kasih, bukan berarti berakhirnya sebuah kehidupan. Akan tetapi sebuah awal dari pelajaran hidup yang akan dimulai nanti. Kenangan yang aku miliki akan terus tersimpan rapi di sudut hatiku. Dan membuka lembaran baru dengan orang yang nyata. Mau mengajariku untuk memulai suatu rasa disebuah masa. Menggenggam tanganku dengan tulus sama seperti dirimu dulu.
** The End **

Ini salah satu cerpen temanku Miss J alias Venue, yang diikutkan dalam lomba antologi putus, tapi sayangnya tidak lolos. hehe ^^ sama kayak punyaku

Rabu, 13 Juni 2012

HUKUM UNTUK SANG COPET



Langit menampakkan warna percampuran. Kombinasi orange, merah dan biru. Awan putih yang berarak terbias warna kemerahan. Sang surya beranjak turun ke peraduannya. Bersiap menyambut malam beberapa jam lagi. Lalu lalang kendaraan semakin ramai. Angkutan umum sesak. Orang-orang saling berjejalan menaikinya. Tidak ada yang mengalah. Semua ingin cepat sampai di rumah. Para pekerja, pelajar maupun ibu rumah tangga saling mendahului berebut tempat. Sedangkan, aku masih santai saja berdiri di halte bus dekat kampusku. Tidak mau ikut terlibat pada perebutan konyol itu. Toh, masih ada angkutan umum lain yang bisa kunaiki nanti. Aku lebih suka begitu. Naik paling akhir ketika keadaan telah lengang.
Tiga puluh menit sudah waktu berjalan. Aku melihat jam tangan hitamku. Jarum panjangnya menunjuk angka enam dan jarum pendek pada angka lima. Empat tiga puluh. Sudah sangat sore rupanya. Keadaan sudah lumayan lengang. Di halte tempatku menunggu ada empat orang duduk sama sepertiku dan tiga orang berdiri. Lima wanita dan dua pria.
Wanita berambut sebahu duduk paling ujung. Dari raut wajahnya usianya sekitar tiga puluhan. Blush biru dan rok selutut yang dipakainya mencirikan dia sebagai pekerja kantoran. Ya, mungkin saja karena tak jauh dari sini terdapat beberapa gedung perkantoran bank dan departemen hukum. Sepatu high heels hitam yang dipakainya sengaja dilepas. Memakai sepatu setinggi 5 cm itu memang melelahkan. Tidak heran jika wanita itu melepasnya. Di sebelah kiri wanita itu duduk seorang wanita muda. Pakaiannya model casual. Kaos berleher V dan celana jeans selutut.  Aku sering melihatnya menunggu bus di halte ini. Di sisinya dua orang wanita dan pria seusia denganku sedang asyik bercengkrama. Pakaiannya sopan dan rapi. Menampakkan statusnya sebagai mahasiswa. Terkadang aku berpapasan dengan mereka secara tidak sengaja di kampus.
Yang berdiri adalah dua orang wanita. Wanita paruh baya dan seorang gadis berseragam SMA. Sang wanita paruh baya berpenampilan mewah. Tas bermerk terkenal. Baju gamis model Syahrini. Gelang emas tebal melingkar di tangan kanannya. Ditambah kalung emas panjang menggantung sampai dada bermata berlian. Entah berapa karat. Yang jelas perhiasan yang dipakainya sangat mewah dan mencolok. Wanita itu mengetuk-ketukkan sepatu hitamnya ke trotoar. Angkutan yang ia tunggu belum juga terlihat.
Srek. “COPET…COPEEETTT!” Sebuah teriakan membuat orang-orang mengalihkan padangan ke sumber suara. Wanita berpenampilan mewah rupanya. Tas yang sejak tadi digenggamnya telah raib. Seorang pemuda berjaket hitam berlari cukup kencang melewati kami. Sedetik kemudian orang-orang baru menyadarinya. Satu persatu para pria mengejarnya dan meneriakinya. “Copeet… copet!” Orang-orang yang baru saja dilewati oleh sang copet yang kontan mendengar itu ikut mengejarnya. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Satu lawan puluhan orang. Aku mengikuti aksi itu. Tidak mau ketinggalan kejadian yang langka itu.
Bruk. Sang copet yang berlari cepat terjengkal ke depan. Dia terjatuh. Rupanya akibat kakinya tersandung batu. Sungguh sial nasibnya. Orang-orang yang mengejarnya  mempercepat larinya. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Dua orang pria berada di deretan paling depan. Sang copet terlambat bangkit untuk menghindar. Bugh..bugh..bugh. Dua pria yang berada di depan lebih dulu menghampiri sang copet. Mereka langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi. Semenit kemudian yang lainnya menyusul. Puluhan orang mengkerumuninya. Melayangkan bogem mentah dan tendangan. Meluapkan emosi mereka. Makian dan cacian menggema bersautan.
“Brengsek!”
“Kecil-kecil nyopet!”
“Nih rasain!”
“Hajar aja!”
“Mampus lo!”
 Sang copet hanya mampu melindungi kepalanya menggunakan kedua lengannya. Beberapa bagian wajahnya membiru. Mata kirinya tak mamapu membuka penuh akibat lebam. Darah mengucur dari sudut bibir dan hidungnya. Babak belur sang copet dihajar massa.
“Sudah…sudah!” Tiba-tiba seorang pria paruh baya maju ke tengah kerumunan. Kedua tangannya direntangkan mencegah orang-orang di belakangnya bertindak lebih jauh. “Cukup…cukup… Jangan dihajar lagi! Kita tidak boleh main hakim sendiri,” ujarnya menengahi. Massa akhirnya diam.
“Tapi orang kayak begini tuh perlu dikasih pelajaran!” Bugh. Seorang bapak memakai kaos oblong biru refleks memukul kepala Si copet. Emosinya meledak seolah dia yang dirugikan.
“Sabar, Pak. Sabar… Negara kita kan negara hukum. Kita serahkan saja pada yang berwajib.” Pria yang menengahi tadi kembali bersaran.
“Benar, kita tidak boleh main hakim sendiri. Buat apa ada penegak hukum kalau ujung-ujungnya kita main hakim sendiri,” tambah seorang pria kantoran membenarkan ucapan pria paruh baya tadi.
“Alah, penegak hukum zaman sekarang tidak bisa dipercaya. Sekali suap saja tahanan sudah bisa lepas,” timpal pria lain. Dari penampilannya dia terlihat seperti mahasiswa. Kata-katanya begitu kristis mengomentari fenomena tersembunyi yang terjadi di kalangan opnum pemerintah maupun penegak hukum.
“Benar  itu. Udah, kita habisi saja dia biar kapok!” Si bapak berkaos biru menambah.
“Iya, habisi saja dia! Copet kayak begini nggak usah diampuni!” timpal yang lainnya.
“Sabar bapak-bapak. Kalau kita menghabisinya, menghakiminya sendiri, apa bedanya kita dengan pencopet ini? Bahkan kita bisa lebih terlihat buruk jika melakukannya. Kalau dia mati bukankah itu juga akan berdampak pada diri kita? Apa Anda-anda sekalian ini mau menjadi pembunuh?” Ucapan sang pria paruh baya agaknya cukup mengena. Semua tertunduk memikirkan kata-kata pria itu. Terdiam.
“Lalu kita apakan dia?” tanya salah seorang pria.
“Kita serahkan pada polisi saja. Biar mereka yang mengurus selanjutnya,” jawab si bapak bijaksana tadi.
“Oh, iya di dekat sini ada kantor polisi. Sebaiknya kita bawa dia ke sana,” pria lain bersaran.
“Baik kalau begitu, ada yang bawa motor?” tanya si bapak bijak.
“Ada, Pak,” sahut seorang pria dengan helm di kepalanya.
“Bawa dia pakai motor, kantor polisinya kan agak jauh,” ujar si pria bijak pada sang pemilik motor. Pandangannya mengedar. Mecari seseorang. “Ibu ikut saja dengan mereka ke kantor polisi bersama saya. Buat jadi saksi,” tuturnya pada ibu yang tasnya dicopet. Ibu itu mengangguk. Tas mewah miliknya dipegangnya erat. Seakan tak mau tas itu terlepas lagi.
Kemudian si pencopet itu dinaikan ke atas motor dan langsung digiring ke kantor polisi bersama si pria bijak dan ibu yang tasnya dicopet. Perlahan kerumunan massa memudar. Orang-orang kembali pada rutinitasnya semula. Meski beberapa dari mereka masih menggerutukan kejadian tadi.

MELEPASMU



Taman itu terasa sepi. Hanya hamparan rerumputan hijau dan gemerisik dedaunan yang mengusik. Sesekali suara gesekan sayap jangkrik besautan, beradu dengan gemercik air pengisi kolam di sudut taman. Malam masih bergelayut, gelap pekat dengan pedar cahaya lampu taman menyinari sebagian sisinya. Tak ada manusia selain Angga. Ya, hanya Angga di taman itu, duduk termenung sendiri.
Pandangan Angga tertuju pada rerumputan hijau gelap. Tak ada penyinaran yang cukup untuk memantulkan warna cerahnya. Kosong dan terlihat sayu, tampak begitu jelas dari sorot matanya. Menyiratkan apa yang berkecamuk dalam benaknya. Tangannya yang kokoh sedikit gemetar. Sebuah kertas ia genggam erat bagian sampingnya. Hampir lusuh dan berkerut.
Huft. Helaan napas panjang dan berat Angga hembuskan. Beban yang kini harus ia rasakan begitu berat untuk hidupnya. Bahkan mungkin masa depannya. Apa aku masih punya masa depan setelah ini? pikirannya. Sekilas kejadian beberapa jam lalu terngiang-ngiang. Sebuah hasil yang buruk Angga terima. Memukulnya langsung ke lembah gelap. Sampai-sampai Angga tak mampu melihat cahaya lagi di hidupnya.
“AIDS? Tidak mungkin, Dok!” Angga tercengang. Matanya membelalak lebar. Punggungnya langsung lemas bersandar pada sandaran kursi yang ia duduki. Di balik meja – tepat di depannya – seorang pria berjas putih menampakkan raut kesedihan. Seperti seorang yang turut berduka atas kepergian orang lain.
“Iya, dari hasil tes yang Anda jalani menunjukkan bahwa Anda terkena AIDS,” ulangnya. Meyakinkan kepada Angga bahwa hasil dari kertas yang baru saja ia sodorkan itu benar. 100% benar. Tak mungkin ada kesalahan.
Angga seakan sulit mempercayainya. Badannya condong ke depan. Kedua siku tangannya bertumpu di atas meja depannya. Kedua tangannya tertungkup menutupi mukanya. Butir-butir bening menggantung di pelupuk matanya. “Anda harus tabah menerima semua ini.” Pria berjas putih itu kembali berujar.
Angga memang sudah tahu masa lalunya yang kelam dapat membuahkan sesuatu yang buruk terhadap dirinya. Tapi, ia tak pernah menyangka akan seperti ini. Jarum suntik, sabu-sabu, pil ekstasi, Vodka, bir, dan beberapa barang haram yang lain pernah ia sentuh dan kini berhasil membuat Angga terpuruk.
Angga pernah terjerumus pada sisi gelap kehidupan. Menjadi ‘pengguna’ aktif dan sering mabuk. Orang tuanya berpisah, keluarganya hancur. Menjadi korban broken home membuat Angga frustasi. Hingga akhirnya ia mengenal barang-barang haram itu.
Penyesalan teramat dalam terbenam dalam hati dan pikirannya. Seandainya waktu dapat kembali, aku tak akan menjamah barang-barang itu. Tapi, waktu tak dapat kembali lagi. Apa yang sudah terjadi tak mungkin diperbaiki dengan pengulangan yang lebih baik. Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang akan kulakukan sekarang?
Drrrtt drrrrtttt drrrttt. Ponsel Angga kembali bergetar dalam saku celananya. Entah untuk keberapa kalinya bergetar. Sudah hampir tiga jam lebih Angga mengabaikan panggilan dari ponselnya itu. Kali ini Angga meraihnya. Ia menyurukan tangan kanannya ke dalam saku. Mengambil benda hitam mungil itu dan menggenggamnya. Layar berukuran 4 x 5 cm itu bercahaya kebiruan. Sebuah nama tertera. Nadia. Angga hampir menitikkan air matanya ketika melafalkan nama itu dalam hati.
Aku tidak dapat berhadapan dengannya sekarang. Aku tidak cukup kuat untuk mengatakannya. Maaf, Nadia. Klik. Angga menekan keypad merah di ponselnya. Seketika itu juga berbagai pemberitahuan muncul di layar ponselnya. Angga menarikan jemarinya di atas keypad. Tiga puluh pesan dan lima puluh panggilan tak terjawab. Semuanya berasal dari satu orang… “Nadia.” Angga menggumamkan nama gadis cantik itu pilu. Maafkan aku, Nad.
***

Nadia As-syifa, gadis berusia dua puluhan itu mengangkat sebelah tangannya yang terkepal. Tok tok tok. Bunyi suara pintu sebuah apartemen yang ia ketuk terdengar. Tak ada jawaban. Amarah dan kecemasan melanda hati gadis manis berjilbab merah itu. Nadia kembali membenturkan kepalan tangannya ke pintu di depannya. Detik-detik berlalu. Masih tak ada jawaban. Tok tok tok. Ketukan itu kembali terdengar.
Ceklek. Sesosok pria berusia dua puluh lima tahun menyembul dari balik pintu yang Nadia ketuk. “Angga!” seru Nadia, bernada marah. “Kemana saja? Kenapa telepon dan sms-ku tidak kamu balas atau dijawab sih?” Kali ini nada suaranya terlihat cemas.
Angga hanya memasang wajah datar. Rautnya mengeras, menutupi kesedihan di hatinya agar tak terlihat. Ia berujar singkat. “Masuklah.” Angga kembali melangkah masuk dan mengabaikan serentetan pertanyaan Nadia.
Mau tak mau Nadia mengekorinya masuk. Sesampainya di ruang tamu, Nadia mencekal lengan kanan Angga. “Ada apa sebenarnya?” Keningnya berkerut.
Angga menatap sekilas sorot kecemasan di mata Nadia. Hanya sekilas, setelah itu ia memalingkan mukanya. Memandang wajah dan kecemasan Nadia hanya akan membuatnya rapuh. “Duduklah. Aku buatkan minum dulu,” ujarnya. Angga melepaskan pegangan tangan Nadia secara halus lalu melangkah kembali menuju dapur.
Ting ting ting. Denting sendok berbenturan dengan cangkir menggema dari arah dapur. Angga masih di sana, mengaduk teh yang ia buat. Cukup lama hingga membuat Nadia jenuh menunggu. “Katakan ada apa sebenarnya, Angga? Kenapa sepertinya kamu menghindariku seminggu terakhir ini?” Gadis itu sudah berdiri di ambang pintu dapur. Angga menoleh setelah meletakkan sendok kecil yang ia pegang. “Apa yang telah terjadi?” Nadia melanjutkan pertanyaannya.
“Tidak ada. Aku baik-baik saja, hanya sedikit sibuk saja. Maaf.” Begitu datar Angga mengungkap alasan dustanya.
Nadia bergerak mendekat. Dengan cepat ia menghambur memeluk Angga. Melingkarkan lengan mungilnya pada tubuh Angga. “Paling tidak kamu bisa sms aku kan. Aku mencemaskanmu.”
Angga hanya terdiam. Ia mengurai pelukan Nadia, tanpa membalasnya terlebih dahulu. “Maaf. Aku… tidak bisa bertemu denganmu untuk beberapa waktu,” ujarnya seraya memandang manik mata Nadia.
“Kenapa?” Nadia memburu. Dia sudah tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. Angga yang biasa terbuka dan bicara apa adanya kini terlihat lebih pendiam. Perubahan yang tiba-tiba. Pasti ada yang sedang mengganggu pikirannya, batin Nadia. Pandangan mereka saling beradu. Lekat Nadia menatapnya, berusaha mencari tahu lewat sorot mata yang biasa berkata jujur.
Angga meraih kedua tangan Nadia. Menggenggam erat. “Ada hal yang ingin aku bicarakan,” ujar Angga datar. Ia sama sekali tak menjawab pertanyaan Nadia.
“Apa? Katakan saja.” Nadia coba mengulas senyum manis. Teringat akan sesuatu hal yang hendak disampaikannya. “Oh, undangan penikahan kita sudah jadi. Apa kamu mau melihatnya?” Dengan riang Nadia membuka tas merah yang menggantung di bahunya. Memasukan sebagian lengannya dan kemudian mengeluarkan selembar kertas merah yang terbungkus plastik bening. “Ini, lihat,” sambungnya sambil menyodorkan kertas itu pada Angga.
Nanar Angga memandangi kertas itu sekilas. Itu impiannya, kebahagiaan yang ingin ia rengkuh. Namun, sekarang itu menjadi sesuatu yang amat sulit untuk ia raih sekarang. Bahkan sangat tidak mungkin. Tiba-tiba hatinya merasa panas dan sakit. Amarah menjalari hatinya. Plak. Sebuah sentakan dari tangannya membuat kertas merah yang Nadia pegang terhempas jatuh ke lantai. Nadia tersentak kaget. Tangan kanannya ia tarik menutup mulut. Ia tidak mengira akan mendapatkan tanggapan buruk dari Angga. Ia merasa pria yang ada dihadapannya sekarang bukan Angga yang dikenalnya. Angga berubah, satu hal yang Nadia simpulkan. “Ke… kenapa?” ucap Nadia terbata.
Rahang Angga mengeras, muka merah dengan sorot mata tajam. Emosinya meluap. “Aku tak butuh itu!” bentaknya.
Nadia masih tidak percaya. Ia menggeleng beberapa kali. Kenapa? Petanyaan itu hanya mampu ia gumamkan dalam hati. Dadanya terasa sesak, seolah oksigen dalam ruangan yang ditempatinya telah habis, membungkam mulutnya hingga ia tak mampu berbicara.
Angga kembali membuka mulutnya. “Aku rasa kita tidak dapat meneruskan ini semua,” ujarnya sembari menahan getir yang ia rasakan. “Ya, kita akhiri saja semua ini. Aku tidak bisa menikah denganmu. Kita putus saja sebelum semua terlambat,” lanjutnya.
Serasa ada pisau yang mengoyak hati Nadia. Kakinya terasa lemas. Badannya bergetar mengikuti rasa perih yang mulai menjalari hatinya. “Kamu sedang bercanda kan, Angga?” Ia harap Angga memang sedang bercanda. Sebuah candaan yang langsung menghempaskan tubuhnya ke dalam jurang kepedihan. Ini tidak benar.
Angga menggeleng cepat. “Tidak! Aku serius,” jawabnya.
Nadia tak punya kekuatan lagi setelah mendengar jawaban itu. Tubuhnya merosot jatuh terduduk lemas, kedua tangan menumpu tubuhnya agar tidak terhempas ke lantai. Butir-butir bening menyeruak keluar dari kelopak matanya.
Angga membalikkan badan, tak tahan melihat Nadia yang sedang terpukul. Hatinya ikut sakit, jauh lebih sakit dari sebelumnya. “Maafkan aku, Nad,” gumamnya lirih nyaris tak terdengar.
“Kenapa… kenapa kita harus putus? Bukankah kemarin kamu begitu bahagia mempersiapkan pernikahan kita? Kenapa sekarang kamu….” Nadia tak mampu meneruskan kata-katanya secara penuh.
“Pergilah, Nad. Hubungan kita sudah berakhir!” ujar Angga tanpa melihat sedikit pun wajah Nadia.
Nadia mencoba bangkit berdiri. Isak tangisnya masih menggema mengisi ruang apartemen Angga. Ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan isaknya. “Tidak! Ini tidak bisa aku terima. Aku… aku mencintaimu, Ngga…Sangat mencintaimu. Aku tidak mau kita putus. Kita akan menikah, ingat itu!” Tolakan keras Nadia lontarkan tanpa ampun. Ia mengangkat tangan kanannya, bergerak untuk menyentuh bahu Angga. Pria itu memunggunginya.
Angga merasakannya. Sebuah sentuhan lembut, menggetarkan sekujur tubuhnya. Dalam hitungan detik badannya sudah membalik menghadap Nadia. Linangan air mata membasahi wajah cantik gadis yang dicintainya itu. Angga tak kuasa untuk tidak menyentuh wajah itu. Ia usapkan jemari tangan kanannya lembut, menghalau setiap butir air mata yang jatuh. Mata Angga tak lagi nanar. Hanya ada kehangatan dan penuh cinta. Sebersit keraguan yang sempat bercokol dalam hati Nadia berubah menjadi keyakinan saat melihat manik mata lembut Angga. “Kamu masih mencintaiku kan?” Nadia mengucap apa yang dipikirkannya.
“Maaf, Nad…”
“Katakan kamu tidak mencintaiku!” Nadia memotong cepat, setengah berteriak.
Angga tertunduk lemah, tak memandang Nadia sedikit pun. “Tetap saja kita tak akan bisa…”
“Apa? Dan kenapa?” lagi Nadia memotong.
“Aku tidak ingin menyakitimu terlalu jauh. Mengertilah… kamu akan lebih baik tanpa aku,” ucap Angga seraya membelai pipi Nadia dengan lembut. Usapan terakhir yang mungkin dia lakukan. Setelah ini semua tak akan sama lagi. “Kamu lebih bahagia tanpa diriku… aku melepasmu agar kamu lebih bahagia. Percayalah!”
Bagaimana bisa aku tanpamu? Bagaimana mungkin aku sanggup? Linangan air mata mengalir dengan derasnya di wajah Nadia. Sementara itu, Angga menelusupkan tangan kanan ke saku celananya, mengambil selembar kertas yang ia terima beberapa hari lalu – kertas hasil tes kesehatannya. “Aku sakit,” lanjut Angga seraya menyodorkan kertas di tangannya. Nadia menerima dan membacanya. Tangan kanannya terangkat menutup mulut seketika itu juga. “Tidak mungkin, AIDS?” gumam Nadia tak percaya. Bagaimana bisa ini terjadi? lanjutnya dalam hati.
“Kamu tahu dengan jelas masa laluku, jadi itu mungkin saja… dan memang itu yang terjadi. Jadi, kamu mengertikan sekarang, Nad?” Angga menyentuh bahu gadis cantik itu. “Aku tidak mau menyakitimu lebih dari ini. Kita tidak akan pernah bersatu. Ikhlaslah menerima ini semua, Nad. Aku yakin kamu akan mendapatkan kebahagiaan lain setelah ini.”
Nadia tak mampu berkata apa-apa lagi, kejujuran Angga telah membungkam mulutnya. Kenyataan pahit pun harus dapat diterima olehnya dengan baik. Ini takdir yang sudah digariskan untuk mereka, kuasa Tuhan yang tidak mampu diingkari. Dan takdir itulah yang mengakhiri kisah cinta mereka. Keduanya saling terdiam, terpaku pada kenyataan pahit yang menghancurkan cinta dan impian mereka bersama. Tak ada lagi yang dapat dilakukan untuk mengubah takdir ini. “Kita berpisah… tapi aku akan tetap menyayangimu.” Ucapan Nadia menjadi akhir pertemuan diantara mereka. Ia pun beranjak pergi membawa luka dan kenyataan pahit. Sementara Angga hanya menunduk pasrah, mencoba mengikhlaskan cintanya pergi.
***


ps: naskah yang ga lolos audisi putus,,,,,,,

Selasa, 12 Juni 2012

CINTA LIN



“Lin, aku akan menikah.” Nando mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku terkejut. Matanya mengamati ekspresi yang tercipta di wajahku. Aku berusaha agar tak terlihat terkejut. Kupasang wajah datarku. Kemudian tangannya terulur. Menyodorkan sebuah kertas tebal berwarna merah. Di covernya tertulis “Nando Ferdinan & Melika Putri”. Itu nama lengkapnya dan nama kekasih yang sudah setahun ini dia pacari. “Ini undangannya,” ujarnya. Aku menerimanya – dengan terpaksa. Tanganku bergetar.
“Selamat, ya!” seruku sembari tersenyum dipaksa. Pasti jelek sekali raut mukaku sekarang. Aku mengalihkan pandanganku untuk tidak menatapnya. Dia bisa menangkap sorot kesedihan hatiku yang dipancarkan dari mataku.
“Kapan kau akan menyusulku? Carilah seorang kekasih untuk menemanimu,” sarannya. Dia berdiri. Beranjak akan pergi. “Sudah, ya! Aku harus membagikan undangan-undangan ini pada teman yang lain.” Aku hanya mengangguk. Membiarkan dia pergi.
***
Senja mulai temaram, keheningan merayap dan menyelusup di balik selimut malam. Hujan deras yang baru saja reda menyisakan dingin yang menusuk masuk dalam pori-pori kulitku  yang putih bersih. Wajah wanita muda keturunan Cina. Aku melamun di balkon kamarku. Kubiarkan angin mengibarkan rambut panjangku. Satu bulan menjelang pernikahan Nando, dia semakin sibuk mengurusi segala persiapannya. Tak pernah ada waktu untukku. Betapa bahagianya wanita yang mendapatkan pria baik seperti Nando, pikirku.
“Mei Lin, turunlah untuk makan. Sejak siang kau belum makan, bukan?” Mama berteriak dari ruang bawah. Menyadarkan lamunanku. “Nanti saja, Ma. Mei tidak lapar,” jawabku. Aku sedang tidak berselera untuk memakan apapun.
Tak kudengar lagi suara Mama. Ceklek. Pintu kamarku terbuka. Mama berdiri di ambang pintu kamarku. Tangan kanannya masih memegangi handel pintu. “Ada apa? Mama sudah masakkan makanan enak untukmu. Ayo cepatlah makan! Nanti malam kita harus ke klenteng, bukan?” tegur mama mengingatkanku. Aku beranjak dari balkon kamarku dan berjalan menghampiri mama.
“Nanti saja, Ma. Mei belum lapar,” tolakku. Aku memasang wajah memelas, memohon agar mama tidak membujukku lagi untuk makan.
“Ah, sudahlah. Terserah kau!” ucap mama sembari menutup pintu kamarku. Aku berbalik dan menghempaskan badanku di atas pembaringan yang empuk. Mencoba memejamkan mata sejenak.
***
Suara petasan menggema, disambut dengan bunyi gong dan drum yang ditabuh serta sepasang simbal yang diadu. Mengiringi gerak sepasang barongsai merah dan hitam yang meliuk-liuk memamerkan atraksinya. Semua orang yang melihatnya memandang dengan ketakjuban. Tepuk tangan keras merupakan salah satu tanda kepuasan mereka atas hiburan yang disajikan itu. Beberapa orang lain lebih memilih mengambil dupa dan membakarnya. Mereka berjalan memasuki bangunan bercat merah yang di bagian depan atapnya bertuliskan huruf Cina. Duba ditusukkan ke dalam wadah besar berisi pasir di tengah ruangan. Doa pun mereka panjatkan sambil memejamkan mata. Berharap tahun yang baru ini mendapatkan keberuntungan yang lebih untuk hidup mereka.
Aku mengikuti mama dan papaku. Berjalan di belakang mereka. Melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang lain di sekitarku. Tak ada kekhusukkan dalam berdoa. Pikiranku entah melayang kemana. Hanya dia, seorang pria yang menjadi sahabat karibku selama belasan tahun ini.
Aku menghela napas setelah kurasa akting berdoaku cukup lama berlangsung. Setiap waktu, aku semakin sering memikirkannya. Sudah puluhan tahun perasaan ini aku bendung. Aku tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya. Terlalu sulit. Terlalu banyak perbedaan di antara kami. Aku takut sikapnya akan berubah. Toh, dia sudah mencintai wanita lain.
Tiba-tiba ada yang bergejolak dalam tubuhku. Perih menjalar. Tubuhku bergetar hebat. Pandangan mataku yang menatap patung Dewa yang entah namanya kulupakan akhir-akhir ini terlihat kabur. Samar-samar yang mampu kutangkap suara ramai orang di depan klenteng. Tubuhku tak lagi mampu bertahan. Oleng, lalu jatuh terkapar. Dan sedetik kemudian semua gelap.
***
Aku terbangun. “Ruangan apa ini?” gumamku saat menyadari bahwa aku berada di tempat yang asing. Dan ketika kulihat baju yang mebalut tubuhku, aku terkejut. Sebuah gaun putih panjang. Tempat ini semua serba putih dan kosong. Bukan baju yang kukenakan tadi. Hanya aku seorang diri. Aku berjalan. Di selilingku berdiri banyak pintu berwarna coklat yang berjajar. Aku mengedarkan pandangan berkeliling menatapi pintu-pintu itu satu per satu. Mana yang harus aku masuki? Pikirku. Akhirnya aku memilih untuk terus melangkahkan kakiku ke depan. Di ujung ruang kosong ini kutemukan sebuah pintu terbuka. Ada cahaya menyilaukan dari dalam pintu itu. Mencoba memasukinya.
Hamparan rerumputan hijau menyambutku. Kontras sekali dengan ruangan tadi. Pepohonannya aneh dengan dipenuhi buah yang mirip anggur. Tak jauh dari tempatku berdiri, terbentang puluhan liter air yang mengisi cekungan besar. Sebuah danau dengan air jernih. Bayangan pepohonan di sekelilingnya terpancar dari air danau itu. Di dekat danau itu terdapat sebuah bangku dari kayu yang kosong. Aku menghampirinya. Lalu duduk di atasnya. Kunikmati semua yang tersaji di tempat yang entah tak kuketahui dimana ini. Udara terasa sejuk. Begitu menenangkan.
***
“Akan cukup sulit untuknya bertahan hidup. Maag yang dia derita sudah cukup parah. Bahkan telah merambat ke livernya.” Seorang pria tua berjas putih memberikan penjelasan pada sepasang suami-istri yang duduk di depannya. Sang istri terisak mendengar apa yang diucapkan pria itu.
“Kami sudah tidak memiliki cukup biaya lagi untuk membiarkan dia terus dirawat, Dok,” keluh Sang Suami.
“Mungkin jika Mei Lin dalam keadaan sadar, semua tidak akan separah ini. Saya sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa,” terang dokter tua itu.
“Apa tidak ada jalan lain, Dok? Paling tidak untuk mengurangi penderitaannya itu. Kami tidak sanggup melihatnya tersiksa dengan rasa sakitnya itu,” tanya Sang Suami. Dokter itu menggeleng. Namun kemudian, tersetuslah sebuah ide yang mungkin cukup menyedihkan untuk disuarakan. “Hmm, ada satu jalan untuk itu semua,” seru si Dokter.
“Apa itu, Dok?” balas Sang Suami.
“Menyutik matinya!” Kata-kata sang dokter bagaikan pertir yang penyambar dengan kencangnya. Sang Istri langsung menangis kencang. Pria di sampingnya memeluknya erat. “Sudah, Ma. Kita harus merelakan Mei Lin. Biar dia tenang dan tidak tersakiti lagi.” Sang suami mencoba menenangkannya. Berusaha tabah untuk menguatkan istrinya. Keputusan yang berat.
***
Cinta adalah misteri, yang rumit dan tidak kita ketahui kemana akan berujung.
Aku duduk begitu lama di tepi danau. Langit tak berubah sedikit pun. Matahari tetap menampakkan sinarnya. Merasa aneh dengan tempat indah ini. Aku ada dimana? Pikirku.
“Lin, jangan tinggalkan aku! Aku tidak mau kehilanganmu.” Tiba-tiba saja sebuah suara pria menggema mengisi seluruh ruang tempat ini. “Siapa itu?” teriakku. Suasana kembali hening.
Dari tengah danau muncul bayangan seseorang menaiki sebuah perahu menuju ke arahku. Aku memicingkan mata. Memfokuskan pada bayangan itu. Rupanya seorang pria yang menaikinya. Pria itu mendayungnya perlahan. Tak lama perahunya telah mencapai pinggir danau. Aku menghampirinya, merasa mengenali pria itu. “Lin, pulanglah! Aku merindukanmu,” ujar pria berbaju putih yang tengah berdiri di atas perahu kecil di depanku. Aku mengernyit. Apa aku mengenalnya? Dia terasa begitu dekat denganku. Siapa dia? Batinku. “Apa kau tidak merindukanku, Lin?” sambungnya lagi. Aku terdiam. Dia mengulurkan tangan kanannya. “Ayo, Lin. Ikut aku pulang,” ajaknya.
Aku masih mengorek isi kepalaku. Mencari tahu siapa gerangan pria itu. Ting. Serasa ada cahaya di kepalaku. Ketemu! Seruku dalam hati. “Nando?” panggilku pada pria itu. Dia mengulaskan senyum termanisnya padaku. “Iya, aku Nando. Sahabatmu,” balasnya.
Entah apa yang kurasakan. Ada keinginan untuk segera menghambur memeluknya. Tapi, di sisi lain kakiku bergerak mundur dua langkah menjauhinya. “Tidak! Aku tidak mau pulang. Di sini lebih menyenangkan,” tolakku.
Nando maju selangkah sampai di ujung perahu yang berdekatan denganku. “Kenapa? Aku tak mau kehilanganmu, Lin. Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Kembalilah, Lin,” bujuknya lagi.
“Tidak, terlalu menyakitkan untukku jika harus pulang.” Aku masih kekeh dengan keinginanku.
“Aku tidak akan menyakitimu. Aku tidak akan membiarkanmu tersakiti. Aku mencintaimu, Lin.”
Aku seakan tak percaya mendengar apa yang dikatakannya barusan. Nando mencintaiku? “Bohong!” seruku.
“Aku bersungguh-sungguh, Lin. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Entah apa yang akan terjadi padaku nanti bila kau tak ada.” Aku melihat ada sorot kesedihan saat Nando mengucapkan itu. Apa benar itu?
“Aku mencintaimu, Lin. Bangun, Lin. Jangan tinggalkan aku!” Lagi-lagi suara itu menggema. Suara yang aku kenal. Itu suara Nando. Tapi, Nando di depanku diam saja dari tadi.
“Ayo, Lin pulang!” ajak Nando di depanku. Tangannya kembali terulur memintaku menyambutnya. Tanpa pikir panjang lagi aku melangkah maju. Menyambut uluran tangannya. Melompat naik ke perahu kecil yang dibawanya.
Tes. Kurasakan tetes air mengenai punggung tanganku. Saraf dan otot-otot di sekujur tubuh terasa kaku. Aku tak mampu bergerak. Namun, sekuat tenaga kucoba menggerakkan sedikit tanganku. Dan berhasil. Jari-jariku terangkat sedikit. “Lin…Lin…” Namaku disebut dengan cukup keras. “Kau bangun, Lin!”
Kubuka mataku perlahan. Buram. Kukerjapkan perlahan sampai pandanganku menjadi jelas. Kulihat dia – pria yang kucintai – menggenggap salah satu tanganku erat. Namaku disebutnya berulang kali. Matanya basah. Dia menangis untukku? “Syukurlah kau sudah bangun, Lin!” ujarnya senang.
“Apa aku mencintaiku, Nando? Apa yang kau katakana tadi itu benar adanya?” Anehnya kata-kata pertamaku adalah pertanyaan konyol yang selalu menghiasai hari-hariku selama ini.
“Ya, aku mencintaimu Lin. Aku sangat mencintaimu, Mei Lin.” Jawaban terindah yang pernah aku dengar. Kekuatanku bangkit seketika itu juga. Aku bersikeras bangkit untuk dapat memeluknya. Dia bisa membaca itu dan menyambar tubuhku untuk masuk ke dalam dekapannya. Ternyata selama ini cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku salah menduganya. Dia juga mencintaiku. Cinta yang berhasil membuatku bangkit dari ambang kematian.

Minggu, 10 Juni 2012

LELAKI KEDUA


LELAKI KEDUA
“Kenapa menanyakan hal seperti itu?” tanya pria itu kepadaku. Dari raut wajahnya aku bisa melihat kebingungannya dengan sikapku yang seperti ini.
“Entahlah, aku hanya merasa tak enak hati saja. Terlebih dengan statusku ini. Kamu berhak mendapat yang lebih baik dari aku. Kenapa kamu malah memilihku? Aku ini cuma wanita gagal,” jelasku. Aku menunduk tak berani menatapnya. Aku sendiri bingung dengan yang aku rasakan. Bingung dengan pemikiranku sendiri.
Pria disampingku itu diam sejenak. “Kamu ini aneh. Harusnya kamu senang, aku bersungguh-sungguh menyayangimu. Dan bagiku kamulah yang terbaik.” Ada getar kekesalan dari nada suaranya yang kudengar.
“Maaf, aku hanya tidak ingin kamu kecewa. Maka dari itu aku jujur dengan statusku yang sebenarnya.” Aku makin menundukkan kepala. Ada getir keraguan di hatiku. Sekaligus juga ketakutan pada apa yang akan menghadang jalan kami suatu saat ke depannya. Pria lajang dan muda sepertinya memang tidak seharusnya mencintai janda sepertiku. Terlebih usia kami yang terpaut jauh. Orang-orang pasti akan banyak yang mencemooh atau menentang hubungan seperti ini.
 “Tenanglah, apapun yang terjadi pada hubungan kita nanti aku akan terus berusaha untuk memperjuangkannya,” tutur pria itu. Dia seolah dapat membaca pikiranku. Tangannya begitu erat menggenggam tanganku.
“Iya, maaf. Sekarang aku sudah mengerti apa yang kamu pikirkan.” Beginilah aku, masih sulit untuk melangkah lebih jauh lagi.
***
Aku duduk di teras depan rumahku. Sendirian memandangi butir air hujan yang jatuh ke bumi. Sangat indah. Aku selalu suka hujan. Aku suka memandangi hujan seperti sekarang ini. Dengan seperti ini aku bisa memikirkan segalanya dengan lebih dalam. Hujan selalu bisa menenangkan pikiranku.
Aku masih terus memikirkan kejadian itu, ketika aku berbicara dengannya. Meski dia sudah menganggap ini selesai. Aku masih memikirkannya. Kenapa aku bisa seperti itu? Apa yang membuatku takut sebenarnya? Apa ini karena pengalamanku sebelumnya?
“Aku itu berbeda dengan mereka. Aku tak akan melakukan itu. Jangan pernah menyamakan aku dengan mereka,” pria itu berkata dengan yakin kepadaku.
Benar. Dia tidaklah sama dengan mereka. Para pria yang meninggalkanku. Lalu apa yang membuatku takut hingga aku berpikiran seperti itu tentangnya? Aku mencoba mencermati tiap inci perasaanku. Mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku.
Aku hanya tak mau kehilangan dia. Aku hanya takut dia bosan dengan prinsipku yang seperti ini. Prinsipku ini mungkin akan membuat keadaan dalam hubungan kami menjadi tidak menyenangkan. Aku takut dia jenuh lalu meninggalkanku. Aku pernah diperlakukan seperti itu dulu, diacuhkan karena pria yang pernah dekat denganku dulu itu bosan dengan sikapku yang seperti ini. Tak ada yang menyenangkan dariku.
Aku menyayanngimu. Aku takut kehilangan kamu. Aku takut kamu meninggalkanku karena bosan denganku. Itu saja yang aku rasa. Kini aku tahu apa alasanku mempertanyakan ini semua.
****
“Aku mencintaimu. Percayalah padaku.” Dia menggenggam tangan kananku erat. Sementara tangan kiriku asyik mengaduk-aduk kopi hitam yang kupesan. Aku seolah tidak memperdulikan ucapannya. Kuamati pusaran cairan hitam pekat yang berputar-putar di dalam cangkir putih. “Len, lihat aku! Aku bersungguh-sungguh dengan semua ini,” ucapnya. Tangannya berpindah ke daguku. Dia menarik kepalaku agar berhadapan dengannya. Mata kami saling bertemu. Aku menemukan kesungguhan di sana. Tapi tetap saja aku masih takut dan tidak yakin. Kupalingkan wajahku. Kulirik sebuah kotak kecil yang terbuka . Sebentuk permata putih menonjol di atas logam keemasan berbentuk lingkaran. Setengah bagiannya terselip di antara kain berisi gabus yang mengisi kotak kecil itu. Cantik. Satu kata yang terbesit saat memandangi benda itu. Semua wanita memang menyukainya. Begitu pula denganku. Sayangnya, aku berat menerimanya.
“Maukah kau menikah denganku, Len.” Dia mengulangi pertanyaan lagi. Sebuah pertanyaan yang belum sempat aku jawab.
“Aku belum cukup yakin, Ko,” tuturku. Membuat wajahnya kembali muram. Maafkan aku, batinku. Aku masih belum sanggup melupakan kegagalan masa laluku. Ya, aku pernah gagal membina mahligai ikatan suci yang menyatukan dua orang manusia. Aku gagal.
“Len, aku ingin menikah denganmu. Aku sangat mencintaimu.” Kali ini dia menggenggam kedua tanganku. Aku tahu dia bersungguh-sungguh. Tapi kata-kata cinta tidaklah cukup untuk membuatku yakin.
“Tidak, Ko. Aku tidaklah pantas untukmu. Kau bisa mencari wanita lain yang lebih baik lagi. Kau masih muda, Ko. Kau bisa mendapatkan wanita muda yang belum pernah gagal sepertiku.” Mungkin mataku sekarang sedang berkaca-kaca. Kubibit bibir bawahku. Menahan bulir air mata yang akan jatuh.
“Tidak…tidak…aku tidak mau. Yang kuinginkan hanyalah kamu.” Riko tetap bersikeras. Selisih usia kami yang terpaut sepuluh tahun membuatnya terlihat seperti adikku. Meski begitu dia sosok pria yang sangat dewasa. Pekerjaannya pun terbilang sudah mapan. Bahkan diusianya yang 25 tahun itu dia sudah menjabat sebagai general manager salah satu hotel di kotaku.
“Aku akan melamarmu besok bersama orang tuaku.” Pernyataan terakhirnya membuatku tercengang. Mataku hampir lepas. Sungguh suatu tindakan berani. Aku tidak bisa mencegahnya lagi.
***
Riko menepati janjinya. Esok harinya dia memboyong sepasang suami-istri paruh baya ke rumahku. Mereka orang tuanya. Senyum ramah terkembang di wajah mereka ketika aku menyambutnya. Padahal malam sebelumnya aku sudah berpikiran macam-macam tentang mereka. Aku bersyukur mereka menunjukkan penerimaannya terhadapku.
Suasana hangat dan akrab langsung terasa di ruang tamuku. Riko memangku pangeran kecilku yang masih berusia lima tahun. Dia tampak sangat kebapakan.
“Saya beserta kedua orang tua saya bermaksud melamar anak Bapak,” terangnya saat suasana sudah cukup tenang. Ayahku sudah tidak terkejut lagi. Aku memang sudah memberitahu sebelumnya. Ayah tampak diam.
Semenit. Dua menit. Lima menit. “Jika masalah itu keputusannya hanya ada pada Jasmine. Dia yang menentukan,” tutur ayahku kemudian.
Semua mata kini tertuju padaku. Telinga dipekakan lebar. Bersiap mendengarkan segala keputusanku. Aku menarik napas panjang. Lalu menggumamkan bassmalah lirih hampir tak terdengar. Mereka masih menungguku. Riko, orang tuanya dan orang tuaku. Kupandang pangeran kecilku lekat. Ini juga untuk kebaikannya. Apa yang kuputuskan harus dapat membuatnya bahagia. Pangeran kecilku yang paling penting dalam hidupku selama ini.
Mataku beralih lagi memandang Riko. Aku mengulas sedikit senyum manis. Kuanggukan kepalaku pelan. Tanda aku menyetujui lamarannya.
“Alhamdulillah,” gumam Riko dan orang tuanya bersamaan. Mengucap syukur atas apa yang sudah terjadi. Riko mengecup pipi pangeran kecilku. Senyumnya terulas lebar.
Sungguh beruntungnya aku dicintai oleh pria seperti Riko. Lelaki kedua yang akan segera memasuki hidupku. Kini aku sudah cukup yakin untuk melangkah lagi. Kumantapkan hatiku untuk menjalani kehidupan bersamanya. Segala pikiran buruk dan keraguan segera kutepis jauh-jauh dari otakku. Riko adalah yang terbaik untukku sekarang dan kuharap bisa menjadi selamanya.

-END-


Ini salah satu koleksi cerpenku, dulu sih pernah aku ikutin di audisi kumcer. Tapi ya begitu deh, gak berhasil lolos...hehe. Ya, udahlah posting blog aja.