“Sudah, Nduk. Jangan nangis terus. Ibumu kan baru saja pulang tadi,
jangan ditangisi dong!” Berkali-kali kata-kata terlontar dari mulut Bude Irma.
Dengan penuh kasih tangan kanannya terus membelai rambut panjangku. Mencoba
menenangkanku, menghentikan tangis yang sudah berlangsung sejak satu jam lalu.
“Udah dong, Rin. Di sini juga Cuma satu minggu. Baru ditinggal sebentar
kok sudah kangen sih sama ibumu.” Bulek Ranti akhirnya ikut menyahut dengan
komentar pedasnya. Meski begitu aku tahu maksudnya baik. Aku yang sedang
menjadi pusat perhatian tak membalas sedikit pun. Hanya terdiam dalam tangis.
Menenggelamkan wajah dalam bantal yang sedikit basah oleh air mataku. Beberapa
orang di sekitarku masih berceloteh menggumamkan bagaimana cara menenangkanku.
Aku tidak tertarik untuk mendengarnya lebih jauh. Sampai kudengar bunyi suara
langkah kaki mungil masuk dalam kamar yang kutempati. Bude Irma bangkit
berdiri.
“Kamu tenangin adikmu ya,” ujar Bude Irma pada seseorang. Aku sudah
dapat menebaknya. Sedetik kemudian kurasakan seseorang duduk di atas tempat
tidurku. Tangannya terulur menyentuh bahuku.
“Via, udah deh jangan nangis. Ada Mas kan di sini. Tadi katanya nggak
apa-apa ditinggal ibu, kok sekarang malah udah kangen sama ibu,” ucapnya dengan
suara berat. Aku masih diam. Air mataku terus saja keluar. Dan orang itu masih
mengoceh untuk menenangkannya. Aku merasa lelah dan perlahan mataku memejam.
Aku pun tertidur sambil masih menangis.
“Vi, kamu baik-baik saja?”
Terguran Ririn membuatku tersentak. Aku mendongak menatap gadis berkaca mata
itu.
“Ya, aku baik-baik saja,”
jawabku. Tak lupa kuulas segaris senyum di bibirku.
Ririn menghela napas lega.
“Syukurlah. Kamu melamun sejak tadi, aku pikir kamu sedang sakit.”
“Oh, maaf sudah membuatmu cemas.”
Aku sungguh menyesal membuat Ririn khawatir. “Aku hanya….”
“Apa yang kamu pikirkan sejak
tadi?” potong Ririn.
Aku menggeleng pelan. “Bukan
apa-apa.” Pandanganku kembali kosong saat menatap dua anak kecil di meja yang
berseberangan dengan mejaku. Seorang gadis kecil berusia tujuh tahun dan
laki-laki lebih tua dua tahun dari gadis itu sedang asyik bercanda. Mereka
tertawa bersama. Entah mengapa tiba-tiba dadaku terasa sesak. Aku merindukannya.
“Kau yakin baik-baik saja?” tanya
Ririn membuyarkanku.
“Ya.” Aku tersenyum lagi.
Menutupi luka yang kurasakan. Kupalingkan wajahku menatap Ririn. Dia
memandangku penuh arti. “Kita pulang saja yuk!” ajakku. Ririn mengangguk
menyetujuinya. Ia meraih tas abu-abu yang diletakkan di atas kursi kosong di
sebelahnya. Aku pun melakukan hal yang sama meraih tas ransel hitamku danberjalan
mendahuluinya menuju kasir.
***
“Apa kamu melihatnya di
perempatan sana, Vi?” Pertanyaan itu memburuku begitu aku memasuki rumah.
Seorang wanita paruh baya memandangku lekat, menunggu jawaban dariku. Aku
menggeleng.
“Tidak ada, Bu. Aku tidak
melihatnya. Di sana hanya ada sekumpulan anak mengendarai motor, aku tidak
melihatnya dengan jelas sewaktu melalui tempat itu,” jawabku. Yang aku rasa
bukan jawaban yang menyenangkan untuk ibuku dengar. Bibir ibuku tertarik ke
bawah, muram. Aku sudah sering melihatnya. Ya, itu terjadi setiap kali aku
mengatakan ucapan yang sama saat ia menanyaiku seperti itu. Aku tidak tega
melihatnya seperti itu. Tapi apa yang bisa kulakukan. Dia memang tidak ada di
sana. Bahkan sudah tak pernah kulihat lagi setahun lebih ini.
“Apa yang dipikirkannya? Semua
sudah dia dapat, tapi kenapa dia bisa sebodoh itu? Apa tujuan hidupnya itu?”
desah ibu. Punggungnya bersandar pada kursi rotan di ruang tamu. Aku menarik
ujung bibirku, tersenyum sekilas.
“Entahlah, Bu.” Setelah jawaban
singkatku itu aku bergegas masuk ke kamar. Kalau aku berlama-lama bersama ibu,
ia akan menjejaliku dengan berbagai keluh kesahnya. Sesuatu yang tidak aku suka
karena dengan begitu aku akan turut merasakan kesedihannya.
***
Viana mendongakkan kepala,
menatap langit. Mendung sedang menyelimuti. Sebentar lagi hujan akan turun. Dan
benar saja, tetes butiran pertama jatuh mengenai pipi kiri Viana. Dalam sedetik
tetes itu berubah semakin banyak membasahi bajunya. Viana berlari cepat,
menutupi kepalanya dengan sebelah tangan. Menyelamatkan diri agar tidak basah
kuyup.
Viana mendapati sebuah tenda kaki
lima kosong di pinggir jalan. Ia berlari ke tempat itu. Akhirnya ia bisa
berteduh. Kedua tangannya terangkat menepuk-nepuk pakaiannya yang sedikit
basah. Setelah cukup mengusir sisa-sisa air dari tubuhnya, mata Viana menatap
ke depan. Hujan yang deras. Viana sedikit menyesali diri karena tak menuruti
ucapan ibunya untuk membawa payung hari ini. Ia akan terlambat ke kantor. Ini
akan lama, pikirnya. Hingga Viana memutuskan untuk mengambil ponsel dalam tas
ranselnya. Ia perlu memberitahu seseorang di kantor bahwa ia terlambat. Jika
tidak bosnya, Pak Anton yang terkenal sangat disiplin itu pasti akan
mengomelinya selama beberapa jam.
Viana kembali memasukkan
ponselnya ke dalam tas. Pandangannya kembali tertuju ke depan. Hujan masih
mengguyur bumi. Tak sederas ketika awal tadi, tapi cukup dapat membuat seluruh
tubuh basah. Lalu lalang orang di jalan depan Viana tak banyak. Hanya beberapa
orang saja yang nekat menerobos hujan.
Gadis berambut sebahu itu melamun
terbawa dalam suasana hujan. Ingatan masa kecilnya kembali berputar. Ingatan
dimana ia bersama seorang laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya.
“Mas turun! Disuruh pulang sama ibu tuh,” rengek gadis kecil berkepang
dua dengan kepala mendongak keatas memandang dua orang anak laki-laki yang
tengah bersandar pada dahan pohon keresem.
“Nanti saja, kamu pulang sana. Jangan kemari!” balas salah seorang anak
laki-laki pada dahan paling rendah.
“Cepat pulang, Mas!” Gadis kecil itu masih bersikukuh.
“Nanti, ah,” tolak laki-laki yang dipanggil ‘mas’.
Dengan wajah cemberut gadis kecil berkepang dua itu hanya mampu berdiam
diri memegang sepedanya di bawah pohon keresem yang dipanjat oleh kakaknya.
Gadis itu setia menunggu kakaknya. Ia tidak peduli kakaknya enggan bersama
dengannya.
Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya menghampiri gadis itu.
Penampilan pria itu jauh dari kesan rapi. Rambutnya acak-acakan dengan pakaian
kumal. Pria itu terus saja memandangi gadis kecil berkepang dua tadi. Merasa
menjadi pusat perhatian seseorang, gadis kecil itu menjadi risih. Ia mencoba
mengalihkan rasa tidak enaknya dengan melihat kakaknya. Tapi sang kakak tak
menghiraukannya. Rasa takut mulai menghinggapi gadis kecil ketika pria paruh
baya tadi semakin dekat dengannya.
“Ini sepeda siapa?” tanya pria paruh baya itu. Matanya tajam menatap
gadis kecil di depannya. Sementara itu kedua tangan kekarnya telah memegang
kedua stang sepeda. Seolah hendak merampas benda kesayangan gadis itu.
“Pu…punyaku,” jawab gadis itu takut.
“Aku pinjam ya!” Pria itu berusaha menarik sepeda si gadis kecil. Namun
dengan erat gadis itu memegangi sepedanya.
“Jangan!” pekik si gadis kecil.
“Sudah buat aku saja!” Pria paruh baya itu semakin memaksa.
“Jangan…..” Mata si gadis kecil mulai berkaca-kaca. Ketakutan
merayapinya. Ia benar-benar tak berdaya.
“Hey, mau apa kamu?” Sebuah suara berat muncul di samping gadis kecil
itu. Rupanya sang kakak turun dari pohon dan langsung menegur si pria paruh
baya. Dengan tatapan tajam dan rahang mengeras sang kakak memegangi sepeda
adiknya. “Ini sepeda adikku. Jangan diambil, pergi sana!” bentaknya.
“Tidak kok, Cuma mau pinjam,” ujar pria setengah gila itu.
“Tidak bisa. Kalau mau cari yang lain saja!” tegas si kakak. Tak lupa
memelototkan mata untuk menakuti si orang gila. Dan benar saja pria gila itu
tak berujar lagi. pria itu langsung pergi meninggalkan bocah kakak-beradik.
“Sudah, jangan menangis lagi. Orang gila itu sudah pergi!” Si kakak
mencoba menenangkan adiknya. Rasa aman kembali muncul di hati si adik.
Viana mendesah panjang. Ia
benar-benar rindu sosok itu. Sosok yang selalu memberinya rasa aman dan
menjaganya. Saat pandangan Viana kembali terfokus pada jalan raya di depannya,
secara tak sengaja siluet seorang pria yang dikenalnya melintas cepat. Viana
begitu mengenal pemilik siluet itu. Ya, itu sosok yang dirindukannya. Sosok yang
selama satu tahun lebih tak dijumpainya. “Mas Devo!” teriak Viana refleks.
Sayangnya, suara Viana tertelan oleh suara hujan yang mengguyur makin deras.
Sosok itu tak mendengarnya sama sekali.
###