Plak. Telapak tangan Jessica mendarat dengan
kerasnya di pipi Hana. Sakit, sudah pasti tentu dirasakan Hana. Sahabatnya
sendiri menampar bahkan menatapnya penuh amarah. “Inikah balasan lo?” Suara Jessica
terdengar parau.
Hana memalingkan
muka. Ia sama sekali tak membalas atau menjawab. “Lo sahabat gue sejak kecil,
yang gue percaya bahkan udah gue anggap kayak saudara gue sendiri. Tapi lo
tega-teganya nikam gue dari belakang!”
“Daffin yang
milih gue, bukan gue yang milih dia!” tandas Hana seketika membuat Jessica
makin hancur. Tangan kanan Jessica kembali terangkat oleh doronga amarah yang
menggebu, bergerak cepat mendekati wajah Hana.
“Lo….”
“CUKUP, JESS!”
Satu teriakan yang dibarengi oleh cekalan tangan yang mengenai tangan Jessica
membuat gadis cantik itu tercengang. Di depannya berdiri seorang pria yang amat
ia cintai, Daffin. Pria itu mencengkeram tangan Jessica, menghentikan aksinya.
“Yang dikatakan Hana benar. Gue yang milih dia,” lanjut Daffin.
Tubuh Jessica
terasa lemas. Pertahanan yang ia bangun untuk tetap kuat runtuh seketika itu
juga. Tiga tahun menjalani kebersamaan
hanya ini yang kuterima? Pengkhianatan darimu? Jessica memundurkan
langkahnya. Bulir air mata jatuh berderai. Ia membalikkan badan dan berlari
menjauh. Menjauhkan diri sejauh yang ia mampu dari sesuatu yang telah
menorehkan luka di hatinya.
“Maafin gue,
Jess,” lirih Daffin nyaris tak terdengar. Hana yang bergitu mengerti akan
perasaan pemuda itu mendekat. Mengusap hangat lengan Daffin.
“Ini terlalu
kejam, Fin,” ujarnya.
“Gue ngerti,
tapi cuma ini yang terbaik.”
***
Lesnar masih
saja memandangi Jessica yang melamun. Gadis itu sama sekali tak menyentuh
makanannya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Lesnar penasaran akan hal itu.
Apa dia masih memikirkan Daffin? Apa dia
masih mencintainya?
Apa ini tentang
orang disampingmu, dia membuatmu menangis?
Ya, sudah
sebulan lebih Jessica putus dari Daffin. Setelah kejadian itu Jessica tak
pernah lagi menangis. Ia kembali menjadi Jessica yang dulu. Meski begitu Lesnar
tahu bahwa gadis itu masih menyimpan kesedihannya sendiri. Senyum yang dipasang
Jessica palsu. Itu hanyalah sebuah topeng untuk membuat orang-orang di
sekitarnya tak mencemaskan Jessica.
“Lo nggak mau
ngabisin makanan ini?” tanya Lesnar memecah lamunan Jessica. Gadis itu
tersenyum kecil padanya lalu menggeleng. “Harusnya gue nggak nraktir lo tadi,”
sambung Lesnar.
Kening Jessica
mengernyit. “Jadi lo nggak ikhlas?”
Kini gantian
Lesnar yang tersenyum. “Habisnya lo nggak ngabisin makanan yang udah gue beli
pake gaji gue sendiri sih,” sahutnya.
Jessica mendesah
kesal. “Oke… oke… gue habisin.” Dan akhirnya gadis itu melahap kembali
makanannya. Lesnar tersenyum penuh kemenangan.
Tanpa Lesnar dan
Jessica sadari, dari salah satu sudut kantin kampus sepasang mata terus
memandangi mereka berdua.
Kau pun
melihatku, kau sudah sepenuhnya melupakanku?
Hati orang itu
terluka. Meski tak bisa dipungkiri di sisi lain ia bahagia melihat orang yang
disayanginya dapat kembali seperti dulu lagi.
***
Aku khawatir,
aku merasa gelisah karena aku tak bisa terus mendekatimu atau bicara denganmu
Sendiri di malam
hari, kuhapus pikiranku seratus kali
Daffin begitu
resah mondar-mandir di kamarnya. Sesekali ia mengalihkan pandangan ke arah
ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur. Kejadian yang ia lihat siang tadi
terus terngiang di kepalanya. Apa dia
sudah baik-baik aja sekarang? Pikiran dan hatinya saling berontak. Hatinya
ingin sekali meraih ponsel itu dan menghubungi orang yang sedang ia pikirkan
tapi… logika mengharuskan dirinya untuk tidak melakukan itu. Gue harus nglupain dia… gue harus nyingkirin
dia dari benak gue! Tapi… tapi… tapi gue… Perlahan pandangan Daffin
mengabur. “Arrrgggh! Sialan! Penyakit sialan!” Ia berteriak cukup keras dan
terduduk di lantai memegangi kepalanya. Darah segar mengalir dari lubang
hidungnya. Di saat itu Daffin merasa Tuhan tak adil padanya. Ya, dia benci
dengan hidupnya saat ini. “Penyakit brengsek!” umpatnya sendiri.
Tok tok tok.
Dari balik pintu kamarnya sepasang suami-istri mengetuk beberapa kali. Mereka
tampak cemas. “Daffin… kamu baik-baik aja, Sayang?” Suara ibu Daffin tak
henti-hentinya memanggil.
“Nggak…ng… nggak
apa-apa, Ma..” Daffin mencoba meredam sakit yang ia rasa. Mencoba berbicara
senormal mungkin agar tak mencemaskan kedua orang tuanya. Tapi kali ini rasa
sakit luar biasa menghujam kepalanya. Napasnya terengah. Keringat dingin pun
turut mengucur, membasahi pelipisnya.
“Kalau begitu
buka pintunya, Sayang!” Meski sudah mendengar jawaban dari Daffin, mamanya – Viona
masih terlihat cemas. Perasaan wanita paruh baya itu kacau. Oscar di sampingnya
merangkul dan menenangkan istrinya itu. Viona kembali mengetuk pintu kamar
Daffin setelah beberapa menit tak mendapatkan jawaban dari anaknya. “Daffin….!”
Berunglang kali ia memanggilnya. Ia mengalihkan pandangan pada Oscar, seakan
meminta jawaban dari pria itu. “Pa… Daffin…”
Oscar yang tidak
tega melihat istrinya terus cemas pun akhirnya bertindak. Kali ini dia yang
mengetuk pintu kamar Daffin seraya memanggil anaknya itu. “Daffin… buka
pintunya!”
Nihil. Tak ada
jawaban apapun dari sang pemilik kamar. Oscar memandang istrinya. “Ma, ambil
kunci master!” Dan dengan cepat Viona melakukan apa yang dipinta. Tak kurang
dari satu menit Viona kembali dengan sebuah tangan memegang segepok kunci. Ia
tak membuang waktu, membuka pintu itu dengan kunci yang ia punya. Krek. Mata
suami-istri itu langsung dihadiahi pemandangan mengenaskan.
“DAFFIIINNN!”
Viona memekik panik seraya menghampiri anaknya yang sudah terkapar tak sadarkan
diri di lantai. Oscar melakukan hal yang sama.
“Ayo, Ma… bawa
dia ke rumah sakit!” Dengan sigap Oscar menggotong anaknya.