Jumat, 24 Agustus 2012

HARUHARU (4)


 Plak. Telapak tangan Jessica mendarat dengan kerasnya di pipi Hana. Sakit, sudah pasti tentu dirasakan Hana. Sahabatnya sendiri menampar bahkan menatapnya penuh amarah. “Inikah balasan lo?” Suara Jessica terdengar parau.
Hana memalingkan muka. Ia sama sekali tak membalas atau menjawab. “Lo sahabat gue sejak kecil, yang gue percaya bahkan udah gue anggap kayak saudara gue sendiri. Tapi lo tega-teganya nikam gue dari belakang!”
“Daffin yang milih gue, bukan gue yang milih dia!” tandas Hana seketika membuat Jessica makin hancur. Tangan kanan Jessica kembali terangkat oleh doronga amarah yang menggebu, bergerak cepat mendekati wajah Hana.
“Lo….”
“CUKUP, JESS!” Satu teriakan yang dibarengi oleh cekalan tangan yang mengenai tangan Jessica membuat gadis cantik itu tercengang. Di depannya berdiri seorang pria yang amat ia cintai, Daffin. Pria itu mencengkeram tangan Jessica, menghentikan aksinya. “Yang dikatakan Hana benar. Gue yang milih dia,” lanjut Daffin.
Tubuh Jessica terasa lemas. Pertahanan yang ia bangun untuk tetap kuat runtuh seketika itu juga. Tiga tahun menjalani kebersamaan hanya ini yang kuterima? Pengkhianatan darimu? Jessica memundurkan langkahnya. Bulir air mata jatuh berderai. Ia membalikkan badan dan berlari menjauh. Menjauhkan diri sejauh yang ia mampu dari sesuatu yang telah menorehkan luka di hatinya.
“Maafin gue, Jess,” lirih Daffin nyaris tak terdengar. Hana yang bergitu mengerti akan perasaan pemuda itu mendekat. Mengusap hangat lengan Daffin.
“Ini terlalu kejam, Fin,” ujarnya.
“Gue ngerti, tapi cuma ini yang terbaik.”
***

Lesnar masih saja memandangi Jessica yang melamun. Gadis itu sama sekali tak menyentuh makanannya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Lesnar penasaran akan hal itu. Apa dia masih memikirkan Daffin? Apa dia masih mencintainya?

Apa ini tentang orang disampingmu, dia membuatmu menangis?

Ya, sudah sebulan lebih Jessica putus dari Daffin. Setelah kejadian itu Jessica tak pernah lagi menangis. Ia kembali menjadi Jessica yang dulu. Meski begitu Lesnar tahu bahwa gadis itu masih menyimpan kesedihannya sendiri. Senyum yang dipasang Jessica palsu. Itu hanyalah sebuah topeng untuk membuat orang-orang di sekitarnya tak mencemaskan Jessica.
“Lo nggak mau ngabisin makanan ini?” tanya Lesnar memecah lamunan Jessica. Gadis itu tersenyum kecil padanya lalu menggeleng. “Harusnya gue nggak nraktir lo tadi,” sambung Lesnar.
Kening Jessica mengernyit. “Jadi lo nggak ikhlas?”
Kini gantian Lesnar yang tersenyum. “Habisnya lo nggak ngabisin makanan yang udah gue beli pake gaji gue sendiri sih,” sahutnya.
Jessica mendesah kesal. “Oke… oke… gue habisin.” Dan akhirnya gadis itu melahap kembali makanannya. Lesnar tersenyum penuh kemenangan.
Tanpa Lesnar dan Jessica sadari, dari salah satu sudut kantin kampus sepasang mata terus memandangi mereka berdua.
Kau pun melihatku, kau sudah sepenuhnya melupakanku?
Hati orang itu terluka. Meski tak bisa dipungkiri di sisi lain ia bahagia melihat orang yang disayanginya dapat kembali seperti dulu lagi.
***

Aku khawatir, aku merasa gelisah karena aku tak bisa terus mendekatimu atau bicara denganmu
Sendiri di malam hari, kuhapus pikiranku seratus kali

Daffin begitu resah mondar-mandir di kamarnya. Sesekali ia mengalihkan pandangan ke arah ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur. Kejadian yang ia lihat siang tadi terus terngiang di kepalanya. Apa dia sudah baik-baik aja sekarang? Pikiran dan hatinya saling berontak. Hatinya ingin sekali meraih ponsel itu dan menghubungi orang yang sedang ia pikirkan tapi… logika mengharuskan dirinya untuk tidak melakukan itu. Gue harus nglupain dia… gue harus nyingkirin dia dari benak gue! Tapi… tapi… tapi gue… Perlahan pandangan Daffin mengabur. “Arrrgggh! Sialan! Penyakit sialan!” Ia berteriak cukup keras dan terduduk di lantai memegangi kepalanya. Darah segar mengalir dari lubang hidungnya. Di saat itu Daffin merasa Tuhan tak adil padanya. Ya, dia benci dengan hidupnya saat ini. “Penyakit brengsek!” umpatnya sendiri.
Tok tok tok. Dari balik pintu kamarnya sepasang suami-istri mengetuk beberapa kali. Mereka tampak cemas. “Daffin… kamu baik-baik aja, Sayang?” Suara ibu Daffin tak henti-hentinya memanggil.
“Nggak…ng… nggak apa-apa, Ma..” Daffin mencoba meredam sakit yang ia rasa. Mencoba berbicara senormal mungkin agar tak mencemaskan kedua orang tuanya. Tapi kali ini rasa sakit luar biasa menghujam kepalanya. Napasnya terengah. Keringat dingin pun turut mengucur, membasahi pelipisnya.
“Kalau begitu buka pintunya, Sayang!” Meski sudah mendengar jawaban dari Daffin, mamanya – Viona masih terlihat cemas. Perasaan wanita paruh baya itu kacau. Oscar di sampingnya merangkul dan menenangkan istrinya itu. Viona kembali mengetuk pintu kamar Daffin setelah beberapa menit tak mendapatkan jawaban dari anaknya. “Daffin….!” Berunglang kali ia memanggilnya. Ia mengalihkan pandangan pada Oscar, seakan meminta jawaban dari pria itu. “Pa… Daffin…”
Oscar yang tidak tega melihat istrinya terus cemas pun akhirnya bertindak. Kali ini dia yang mengetuk pintu kamar Daffin seraya memanggil anaknya itu. “Daffin… buka pintunya!”
Nihil. Tak ada jawaban apapun dari sang pemilik kamar. Oscar memandang istrinya. “Ma, ambil kunci master!” Dan dengan cepat Viona melakukan apa yang dipinta. Tak kurang dari satu menit Viona kembali dengan sebuah tangan memegang segepok kunci. Ia tak membuang waktu, membuka pintu itu dengan kunci yang ia punya. Krek. Mata suami-istri itu langsung dihadiahi pemandangan mengenaskan.
“DAFFIIINNN!” Viona memekik panik seraya menghampiri anaknya yang sudah terkapar tak sadarkan diri di lantai. Oscar melakukan hal yang sama.
“Ayo, Ma… bawa dia ke rumah sakit!” Dengan sigap Oscar menggotong anaknya.

Sabtu, 18 Agustus 2012

Wings (Sayap Peri)


  • Ukuran
    : 13.5 x 20 cm
  • Tebal
    : 296 halaman
  • Terbit
    : Januari 2012
  • ISBN
    : 9789792279443

  • Harga       : Rp. 48.000,-
  • Kategori  : 
    • Fantasi,
    • Teens

Penulis    : Aprilynne Pike


Sinopsis

Laurel benar-benar terpesona. Itu luar biasa indah––terlalu indah untuk digambarkan dengan kata-kata. Laurel berbalik menghadap cermin lagi, matanya menelusuri kelopak yang melayang di kedua sisi kepalanya. Itu terlihat seperti sayap.


Sepasang sayap yang mirip kelopak bunga tumbuh di punggung Laurel. Sejak itu dunianya berubah. Ia bertemu dengan Tamani. Pria itu melihat Laurel mengembangkan sayapnya di dekat sungai, lalu berbicara dengannya seolah sudah mengenalnya sejak lama. Tamani mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Dia bilang Laurel adalah peri, sama seperti dirinya. Tapi Laurel berada di dunia manusia untuk mengemban tugas penting, yaitu menjaga gerbang masuk Avalon, dunia peri, dari makhluk-makhluk jahat seperti troll. Sementara menghadapi takdirnya yang baru, Laurel pun terbagi antara cintanya pada Tamani dan David, sahabat manusianya...

Penjualan Terbaik #1 versi New York Times

RESENSI
Buku ini mengajak kita terbang ke alam imajinasi yang lain dari biasanya. Jika biasanya kita mengenal sosok peri seperti dalam kisah-kisah fairy tail dengan wujud kecil, bersayap, cantik, memiliki wujud seperti manusia, telinga runcing, seperti dalam kisah peter pan atau thinker bell. Kali ini Aprilynne membuat sosok peri menjadi berbeda. Ia mendobrak semua pendeskripsian umum itu. Dengan bahasa yang indah dan jelas, pembaca dibuat terjun dalam dunia yang dibuat Aprilynne. 

Mungkin di bagian awal bagi yang belum terbiasa baca kisah fantasi akan merasa sedikit bosan, tapi cobalah untuk bertahan terus membaca sampai akhir. Di tengah cerita, tepat saat konflik pada diri Laurel itu terjadi, di saat itulah keseruan dari novel ini muncul. Dari mulai konflik terhadap dirinya sendiri tentang kemunculan sayap aneh di punggungnya, konflik akan perasaan Laurel pada kedua orang pria yang dekat dengannya, sampai pada puncaknya saat pertarungan melawan musuh para peri. Ketegangan mulai muncul di situ. Rasa penasaran dan hasrat untuk terus membaca akan timbul. Dan saat itu kita mulai mengerti sesuatu yang menarik dan berbeda. Pokoknya tidak akan rugi jika membaca novel fiksi ini.