Forterdam City, 11.07 pm
Gelap mendominasi seluruh penglihatan.
Hanya warna itu yang menonjol, hitam pekat. Ditambah lagi bangunan-bangunan tua
dengan cat kusam. Tak ada keindahan. Membuat suasana malam kian mencekam.
Seorang gadis berumur dua puluhan melangkah
tergesa. Perasaannya diselimuti ketakutan. Suara sepatu vantofel yang
berbenturan dengan jalan setapak menggema di sekitar gedung-gedung tua yang ia
lewati. Menambah suasana seram. Sesekali ia menengok ke belakang, seolah ada
yang mengikutinya. Entah itu hanya imajinasi dari rasa takutnya atau memang
benar apa yang ia rasa. Yang jelas ia harus sampai di rumah segera. Tinggal
beberapa blok lagi dia akan sampai.
Gadis itu merutuki kebodohannya dalam
hati. Harusnya dia tidak memilih lembur tadi. Suasana jalan terdekat yang
menuju rumahnya tergolong sepi. Terlebih jalan itu di kelilingi oleh deretan
gedung tua peninggalan penjajahan. Kata beberapa orang beberapa gedung kosong
itu angker. Gadis itu bergidik ngeri saat memikirkan gosip yang beredar seputar
gedung-gedung tua itu. Ia bergegas mengusir pikiran itu.
Sreet. Terdengar suara benda diseret.
Gadis itu berhenti, menoleh ke belakang, mencari sumber suara itu. Kosong tak
ada apapun di belakangnya. Ia melangkah lagi. Kali ini lebih cepat, setengah berlari.
Sreet. Suara itu kembali terdengar. Apa
itu? Dia bertanya dalam hati.
Sreet sreet.. suara itu lebih intens
terdengar. Cukup keras. Mungkin sumber suaranya cukup dekat. Si gadis menoleh
kembali. Ia semakin diliputi ketakutan saat mendapati tak ada apa-apa. Dia
panik. Berlari sekencang-kencangnya.
Hhhh. Napasnta tersengal. Ngos-ngosan.
Dia berlari cukup jauh.Untungnya sekarang dia berhasil melewati deretan
gedung-gedung tua itu. Lega rasanya. Dia menghela napas lega. Rasa takutnya
sedikit sirna. Tinggal satu blok lagi. Gadis itu kembali melangkah tenang.
Setelah melewati jalan setapak berbentuk segi enam ini ia akan sampai pada
jalanan yang lebih ramai.
Nasib orang tak ada yang tahu
kedepannya. Lepas dari rasa takutnya gadis berumur dua puluhan berambut
kemerahan itu malah tenggelam dalam kecemasan. Tiga orang pria berdiri beberapa
meter di depan sebuah toko yang sudah tutup. Tawa nyaring dan celotehan super
keras terdengar. Sumbernya tentu saja dari ketiga pria itu. Mereka bukan orang
baik, duga gadis berambut merah itu. Bagaimana pun ia tetap harus melewati
mereka. Segenap keberanian dikumpulkannya. Gadis itu mencoba melangkah biasa.
Semoga bisa lewat tanpa gangguan, harapnya membatin.
Sayangnya ia harus kecewa. Salah satu
pria bersuara keras memanggilnya. “Hai, Cantik!” Panggilan tidak sopan yang
dilakukan oleh orang asing. Si gadis memilih tidak menanggapi.
“Eh, mau kemana?” Seseorang malah
menghadang langkahnya. Dari jarak dekat bau alkohol tercium menyengat. Mereka
mabuk.
Mimpi buruk untuk gadis berambut merah
itu. Dia sedang sial hari ini. Gadis itu berusaha menjauh. Menggeser langkahnya
agar tidak berdekatan dengan tiga orang pemabuk itu. Namun, apa daya. Mereka
malah mengepungnya. Seorang pria berkumis tebal mengangkat tangan kanannya, berusaha
menyentuh gadis itu. “Jangan takut manis, kita bersenang-senang saja,” tutur
pria berkumis tebal. Sontak keduanya temannya tertawa keras.
Bagaimana aku bisa selamat dari
perlakuan buruk mereka. Ya, Tuhan... tolonglah aku. Gadis itu bergetar
ketakutan. Bingung mencari jalan keluar. Pria-pria itu makin agresif berusaha
menyentuhnya.
“Ayo manis, jangan menolak kami.” Pria
berkepala plontos berhasil mencekal tangan mungil gaDis itu.
“Lepaskan!” Berteriak dan meronta yang
gadis itu bisa.
Bukannya terlepas, tubuhnya malah
diseret ke sebuah gang sempit dan buntu.
“Mau apa kalian?” Pertanyaan itu malah
membuat ketiga pria mabuk itu menyeringai jahat.
Si gadis dicekam ketakutan.Tubuhnya
dilempar ke sudut. Punggungnya membentur dinding buntu. Dia tidak bisa kemana-mana.
Pria-pria itu mendekat terus.
Tangan-tangan mereka bergerak liar menelusuri tubuh si gadis.
Siapa pun tolong aku! pekiknya dalam
hati. Si gadis memejamkan mata saking takutnya.
Sreeeeet. Desah angin kencang mendadak
berhembus diiringi suara aneh. Hanya beberapa detik kemudian tak ada pergerakan
yang gadis itu rasakan. Dia mulai membuka mata. Dalam keremangan sesosok pria
berdiri di depannya. Hanya seorang. Kemana ketiga orang mabuk itu? tanyanya
dalam hati.
Seperti membaca pertanyaan itu, pria
yang tidak helas wajahnya itu menjawab. “Kau sudah aman.” Suaranya berbisik
bagai suara beledu. Indah di pendengaran. Si gadis terngangah. Matanya melebar
berusaha mendapatkan penglihatan lebih jelas atas wajah sosok di
hadapannya.
Sinar bulan purnama memancar benderang.
Awan gelap sudah bergeser entah kemana. Sinar itu mengenai sosok di hadapan si
gadis. Membuat sebagian wajah itu terlihat. Kulit putih, mata keemasan. Bukan,
tapi biru. Ah tidak! Kedua matanya memiliki warna mata yang berbeda. Gadis itu
terkejut. Kanan keemasan dan kiri berwarna biru. Apa ini nyata?
Sebuah tangan terulur menyadarkan sang
gadis. Dengan ragu ia meraihnya. Hawa dingin menyengat permukaan telapak tangan
kanannya. Hawa dingin itu berasal dari tangan yang terulur padanya. Dingin
bagai es. Meski begitu tak ada ketakutan atau rasa cemas. Alih-alih terpesona
ia malah merasa aman. Sungguh aneh.
27th St. Aorter, Forterdam City, 8.46 am
Tok! Tok! Tok!
Pintu kecoklatan itu diketuk cukup
keras. “Alicia, bangun! Kau tidur seperti orang mati. Sudah jam berapa ini? Kau
tidak bekerja?” Suara serak seorang wanita terdengar kemudian, mengusik sang
pemilik kamar.
“Iya, iya, Mom. Aku sudah bangun,” balas
penghuni kamar itu. Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya. Belum tahu kalau
dia memang sudah terlambat. Kepalanya akhirnya menengadah. Sebuah jam dinding
bulat berdiameter 30 senti pada dinding di depannya membuat mata hitam pekat
Alicia membelalak. “Shit!” Sontak dia bergegas bangkit, menyambar handuk, masuk
ke dalam kamar mandi.
Tidak perlu berlama-lama, 10 menit
Alicia sudah siap dengan pakaian kerjanya. Gadis itu tidak benar-benar mandi
sebagai mana mestinya. “Pagi, Mom.” Satu kecupan mendarat di pipi wanita
setengah baya yang dipanggil mom. “Aku berangkat!” Sembari menyambar roti tawar
milik ibunya, Alicia berpamitan. Ibunya hanya bisa memandangi kepergian anaknya
dengan penuh kesabaran.
Jalanan di Forterdam city selalu padat
saat pagi hari. Kebanyakan orang-orang sedang memulai aktivitasnya. Kendaraan
bermotor lalu lalang di jalan beraspal. Sedangkan para pejalan kaki memadati
jalan setapak di pinggir jalan.
Alicia setengah berlari, menerobos
pejalan kaki. Tabrakan kecil kadang terjadi. Alicia spontan mengatakan kata
maaf beberapa kali lalu kembali melangkah tergesa.
“Alice… Alice!”
Langkah gadis berambut hitam legam itu
terhenti, menoleh. Seorang gadis dengan rambut ikal berwarna pirang
mensejajari, berdiri di sampingnya.
“Kau terlambat juga, Grace?” tebak
Alicia.
Gadis yang dipanggilnya Grace memamerkan
deretan giginya. “Pesta semalam terlalu meriah, aku banyak minum,” balasnya.
Alicia kembali melangkah cepat. Grace
susah payah menyamai langkah Alicia.
“Apa kau sudah mendengar berita itu?”
Grace berceloteh.
Alicia tidak begitu tertarik hanya
mengucap singkat. “Apa?”
“Emeli tewas semalam.”
Sontak Alicia memutar kepalanya.
Terkejut mendengar berita yang diucapkan Grace. “Benarkah?” Dia masih sulit
percaya. Semalam dia sempat bertemu dengan gadis yang disebut Grace. Gadis itu
tampak baik-baik saja.
Grace menganguk-angguk. “Dia ditemukan
tewas di Lumona Street. Dari yang kudengar tubuhnya diketemukan dalam keadaan
mengenaskan. Kulitnya menjadi keriput seperti mummy. Orang-orang hampir tidak
mngenalinya lagi. Untung saja ada tanda pengenal ang diketemukan di dekatnya
dan itu atas nama Emeli.”
Alicia diam, tidak berkomentar. Masih mencerna
informasi yang ia peroleh.
“Kasihan Emeli,” gumam Grace prihatin.
“Semalam aku masih sempat bertemu
dengannya sewaktu akan pulang. Harusnya aku tidak membiarkan dia pulang
sendirian,” sesal Alicia. Ia merasa sangat bersalah. Jika saja waktu bisa
berputar kembali, ia tidak akan membiarkan Emeli pulang sendirian. Kejadian itu
pasti bisa dicegah.
“Sudahlah, ini bukan salahmu. Kejadian
ini bukan pertama kalinya,” tutur Grace.
“Apa?” Mata Alicia melebar.
“Kau tidak tahu?”
Alicia menggeleng. Terlalu sibuk dengan
pekerjaannya membuat Alicia tidak tahu-menahu perihal peristiwa menghebohkan
yang sedang tren.
“Bulan lalu juga terjadi peristiwa yang
sama di sekitar Wilmingham. Korbannya sama, seorang gadis dan kondisi mayatnya
sama seperti Emeli,” terang Grace.
“Apa polisi tidak menemukan apapun?”
tanya Alicia ingin tahu.
Grace menggeleng. “Sangat sulit.
Orang-orang yang mengotopsi mayat mereka bahkan tidak bisa menduga apapun.”
Alicia terdiam, mengira-ngira dalam pikirannya
penyebab semua kejadian buruk itu. Vampire? Pengisap darah itu akan
meninggalkan bekas di leher dan mayatnya tidak akan sekering itu. Yang benar
saja, makhluk itu hanya ada dalam novel atau film. Pikiran Alicia
melompat-lompat berspekulasi tak terduga, berubah-ubah seketika. Alien?
Mustahil. Pikirannya semakin kacau saat merangkak pada makhluk-makhluk mitologi
Yunani.
“Sudahlah, tidak perlu dipikirkan
terlalu jauh.” Grace membuyarkan spekulasi Alicia. “Kita harus bekerja.” Mereka
berdua sudah sampai di sebuah hotel kecil di tengah kota Forterdam.
@_@
Rate Hotel, Forterdam City. 1.10 pm.
Alicia menyandarkan punggungnya pada
sandaran kursi. Tubuhnya terasa lelah selama seharian ini menyapa beberapa tamu
yang datang untuk check in. Menelengkan kepala ke kanan dan kiri hingga
terdengar geretakan otor-ototnya. Satu cara yang ampuh untuk mengusir lelah dan
rasa pegal di kepalanya.
“Nona.”
Alicia terlonjak kaget mendengar suara
memanggil. Kontan ia berdiri dan memasang senyum ramah. Ia sama sekali tidak
menyadari kalau sudah ada seseorang berdiri di depan meja resepsionisnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Tu-an?”
Mendadak kelu. Sepasang mata membuatnya terhipnotis. Mata biru seperti lautan
menusuk jauh ke dalam diri Alicia. Terpaku dalam diam.
“Check in untuk Deron Patterson.”
Alicia tergagap. Dengan tangan gemetaran
mengutak-atik layar komputernya. Mencari sebuah nama yang baru saja disebutkan.
Sial, kenapa pria ini memiliki daya sihir sedasyat itu padanya? Setampan apapun
tamu yang ia layani, tidak pernah seklipun Alicia terhipnotis. “Presiden suite?
Kamar 501, Sir.” Alicia mendongak dan menemukan sepasang mata biru itu lagi.
Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke arah lain agar tidak menatap langsung.
Membalikkan badan mengambil kartu yang tergantung pada dinding di belakangnya.
Secepat mungkin kembali menghadap kembali pada sang mata biru. “Ini, Sir.”
Tangan kanan terulur memberikan kartu kunci masuk kamar sang mata biru.
Kulit putih pucat menyambutnya. Dalam
hitungan seperkian detik singkat Alicia dapat merasakan sesuatu yang dingin
mengenai kulitnya. Bukan dari sebuah benda yang dipakai tamunya. Tapi itu rasa
dingin dari kulit putih pucat yang menyambutnya. Rasa aneh menyergap Alicia
seketika.
“Terima kasih.” Kembali suara itu
menyadarkan Alicia dari pikiran-pikiran anehnya. Alicia mengangguk dan
memaksakan senyum. Mengiringi kepergian tamunya, sang mata biru.
Alicia menghela napas lega. Tangannya
terangkat ke depan dada. Merasakan detak jantungnya sendiri. Sudah kembali
normal.
“Ada apa?”
Alicia terlonjak kaget. Menoleh ke
samping dan ia mendapati seorang pria dengan setelan jas berlambang huruf R di
bagian dada kirinya. “Jason, kau hampir membuatku mati,” cibir Alicia.
Jason, rekan kerjanya mengernyit
keheranan. Tidak ada hal ekstrim apapun yang dilakukannya terhdap Alicia. Tapi
gadis ini malah mengatakan kalau Jason bisa membuatnya mati? Jason tidak
mengerti. “Kau berlebihan, Alice!”
Alicia duduk kembali di kursinya. “Kau
tahu Deron Patterson?” tanyanya.
Jason ikut duduk pada kursi di samping
Alicia. Pandangannya ditujukan pada layar computer. Sementara itu tangannya
sibuk mengoperasikannya. “Aku tidak begitu tahu. Tapi aku rasa dia orang kaya.”
Alicia menoleh seketika. “Apa maksudmu?”
“Bukankah dia memesan kamar presiden
suite? Kamar itu hanya untuk orang-orang kaya, bukan?”
Alicia mengangguk paham.
“Oh, tunggu dulu!” cetus Jason.
“Patterson bukan nama belakangnya?”
“Iya. Memang ada apa?”
“Bukankah itu nama bangsawan di
kepulauan Eter?” seru Jason.
Alicia memandang bingung sambil
mengangkat bahunya.
“Pantas saja. Aku dengar bangsawan
Patterson cukup kaya dan disegani di sana.”
Bangsawan? Ulang Alicia dalam hati.
Dilihat dari penampilan dan cara bicaranya memang pria itu terlihat beda tadi.
“Pantas saja. Rupanya dia seorang bangsawan.” Tanpa sadar Alicia bergumam
sendiri.
“Ada apa?” Jaso melihat keanehan rekan
kerjanya itu.
“Eh, apa?”
“Sudahlah, lebih baik kita kembali
bekerja,” ucap Jason kemudian. Alicia mengiyakan saran Jason itu. Keduanya pun
kembali tenggelam dalam aktivitas masing-masing.