Selasa, 18 Desember 2012

HIS EYES


Forterdam City, 11.07 pm

Gelap mendominasi seluruh penglihatan. Hanya warna itu yang menonjol, hitam pekat. Ditambah lagi bangunan-bangunan tua dengan cat kusam. Tak ada keindahan. Membuat suasana malam kian mencekam. 
Seorang gadis berumur dua puluhan melangkah tergesa. Perasaannya diselimuti ketakutan. Suara sepatu vantofel yang berbenturan dengan jalan setapak menggema di sekitar gedung-gedung tua yang ia lewati. Menambah suasana seram. Sesekali ia menengok ke belakang, seolah ada yang mengikutinya. Entah itu hanya imajinasi dari rasa takutnya atau memang benar apa yang ia rasa. Yang jelas ia harus sampai di rumah segera. Tinggal beberapa blok lagi dia akan sampai. 
Gadis itu merutuki kebodohannya dalam hati. Harusnya dia tidak memilih lembur tadi. Suasana jalan terdekat yang menuju rumahnya tergolong sepi. Terlebih jalan itu di kelilingi oleh deretan gedung tua peninggalan penjajahan. Kata beberapa orang beberapa gedung kosong itu angker. Gadis itu bergidik ngeri saat memikirkan gosip yang beredar seputar gedung-gedung tua itu. Ia bergegas mengusir pikiran itu. 
Sreet. Terdengar suara benda diseret. Gadis itu berhenti, menoleh ke belakang, mencari sumber suara itu. Kosong tak ada apapun di belakangnya. Ia melangkah lagi. Kali ini lebih cepat, setengah berlari. 
Sreet. Suara itu kembali terdengar. Apa itu? Dia bertanya dalam hati. 
Sreet sreet.. suara itu lebih intens terdengar. Cukup keras. Mungkin sumber suaranya cukup dekat. Si gadis menoleh kembali. Ia semakin diliputi ketakutan saat mendapati tak ada apa-apa. Dia panik. Berlari sekencang-kencangnya. 
Hhhh. Napasnta tersengal. Ngos-ngosan. Dia berlari cukup jauh.Untungnya sekarang dia berhasil melewati deretan gedung-gedung tua itu. Lega rasanya. Dia menghela napas lega. Rasa takutnya sedikit sirna. Tinggal satu blok lagi. Gadis itu kembali melangkah tenang. Setelah melewati jalan setapak berbentuk segi enam ini ia akan sampai pada jalanan yang lebih ramai. 
Nasib orang tak ada yang tahu kedepannya. Lepas dari rasa takutnya gadis berumur dua puluhan berambut kemerahan itu malah tenggelam dalam kecemasan. Tiga orang pria berdiri beberapa meter di depan sebuah toko yang sudah tutup. Tawa nyaring dan celotehan super keras terdengar. Sumbernya tentu saja dari ketiga pria itu. Mereka bukan orang baik, duga gadis berambut merah itu. Bagaimana pun ia tetap harus melewati mereka. Segenap keberanian dikumpulkannya. Gadis itu mencoba melangkah biasa. Semoga bisa lewat tanpa gangguan, harapnya membatin. 
Sayangnya ia harus kecewa. Salah satu pria bersuara keras memanggilnya. “Hai, Cantik!” Panggilan tidak sopan yang dilakukan oleh orang asing. Si gadis memilih tidak menanggapi. 
“Eh, mau kemana?” Seseorang malah menghadang langkahnya. Dari jarak dekat bau alkohol tercium menyengat. Mereka mabuk. 
Mimpi buruk untuk gadis berambut merah itu. Dia sedang sial hari ini. Gadis itu berusaha menjauh. Menggeser langkahnya agar tidak berdekatan dengan tiga orang pemabuk itu. Namun, apa daya. Mereka malah mengepungnya. Seorang pria berkumis tebal mengangkat tangan kanannya, berusaha menyentuh gadis itu. “Jangan takut manis, kita bersenang-senang saja,” tutur pria berkumis tebal. Sontak keduanya temannya tertawa keras. 
Bagaimana aku bisa selamat dari perlakuan buruk mereka. Ya, Tuhan... tolonglah aku. Gadis itu bergetar ketakutan. Bingung mencari jalan keluar. Pria-pria itu makin agresif berusaha menyentuhnya.
“Ayo manis, jangan menolak kami.” Pria berkepala plontos berhasil mencekal tangan mungil gaDis itu. 
“Lepaskan!” Berteriak dan meronta yang gadis itu bisa. 
Bukannya terlepas, tubuhnya malah diseret ke sebuah gang sempit dan buntu. 
“Mau apa kalian?” Pertanyaan itu malah membuat ketiga pria mabuk itu menyeringai jahat. 
Si gadis dicekam ketakutan.Tubuhnya dilempar ke sudut. Punggungnya membentur dinding buntu. Dia tidak bisa kemana-mana. 
Pria-pria itu mendekat terus. Tangan-tangan mereka bergerak liar menelusuri tubuh si gadis. 
Siapa pun tolong aku! pekiknya dalam hati. Si gadis memejamkan mata saking takutnya. 
Sreeeeet. Desah angin kencang mendadak berhembus diiringi suara aneh. Hanya beberapa detik kemudian tak ada pergerakan yang gadis itu rasakan. Dia mulai membuka mata. Dalam keremangan sesosok pria berdiri di depannya. Hanya seorang. Kemana ketiga orang mabuk itu? tanyanya dalam hati. 
Seperti membaca pertanyaan itu, pria yang tidak helas wajahnya itu menjawab. “Kau sudah aman.” Suaranya berbisik bagai suara beledu. Indah di pendengaran. Si gadis terngangah. Matanya melebar berusaha mendapatkan penglihatan lebih jelas atas wajah sosok di hadapannya. 
Sinar bulan purnama memancar benderang. Awan gelap sudah bergeser entah kemana. Sinar itu mengenai sosok di hadapan si gadis. Membuat sebagian wajah itu terlihat. Kulit putih, mata keemasan. Bukan, tapi biru. Ah tidak! Kedua matanya memiliki warna mata yang berbeda. Gadis itu terkejut. Kanan keemasan dan kiri berwarna biru. Apa ini nyata? 
Sebuah tangan terulur menyadarkan sang gadis. Dengan ragu ia meraihnya. Hawa dingin menyengat permukaan telapak tangan kanannya. Hawa dingin itu berasal dari tangan yang terulur padanya. Dingin bagai es. Meski begitu tak ada ketakutan atau rasa cemas. Alih-alih terpesona ia malah merasa aman. Sungguh aneh.




27th St. Aorter, Forterdam City, 8.46 am

Tok! Tok! Tok! 
Pintu kecoklatan itu diketuk cukup keras. “Alicia, bangun! Kau tidur seperti orang mati. Sudah jam berapa ini? Kau tidak bekerja?” Suara serak seorang wanita terdengar kemudian, mengusik sang pemilik kamar.
“Iya, iya, Mom. Aku sudah bangun,” balas penghuni kamar itu. Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya. Belum tahu kalau dia memang sudah terlambat. Kepalanya akhirnya menengadah. Sebuah jam dinding bulat berdiameter 30 senti pada dinding di depannya membuat mata hitam pekat Alicia membelalak. “Shit!” Sontak dia bergegas bangkit, menyambar handuk, masuk ke dalam kamar mandi.
Tidak perlu berlama-lama, 10 menit Alicia sudah siap dengan pakaian kerjanya. Gadis itu tidak benar-benar mandi sebagai mana mestinya. “Pagi, Mom.” Satu kecupan mendarat di pipi wanita setengah baya yang dipanggil mom. “Aku berangkat!” Sembari menyambar roti tawar milik ibunya, Alicia berpamitan. Ibunya hanya bisa memandangi kepergian anaknya dengan penuh kesabaran.
Jalanan di Forterdam city selalu padat saat pagi hari. Kebanyakan orang-orang sedang memulai aktivitasnya. Kendaraan bermotor lalu lalang di jalan beraspal. Sedangkan para pejalan kaki memadati jalan setapak di pinggir jalan.
Alicia setengah berlari, menerobos pejalan kaki. Tabrakan kecil kadang terjadi. Alicia spontan mengatakan kata maaf beberapa kali lalu kembali melangkah tergesa.
“Alice… Alice!”
Langkah gadis berambut hitam legam itu terhenti, menoleh. Seorang gadis dengan rambut ikal berwarna pirang mensejajari, berdiri di sampingnya.
“Kau terlambat juga, Grace?” tebak Alicia.
Gadis yang dipanggilnya Grace memamerkan deretan giginya. “Pesta semalam terlalu meriah, aku banyak minum,” balasnya.
Alicia kembali melangkah cepat. Grace susah payah menyamai langkah Alicia.
“Apa kau sudah mendengar berita itu?” Grace berceloteh.
Alicia tidak begitu tertarik hanya mengucap singkat. “Apa?”
“Emeli tewas semalam.”
Sontak Alicia memutar kepalanya. Terkejut mendengar berita yang diucapkan Grace. “Benarkah?” Dia masih sulit percaya. Semalam dia sempat bertemu dengan gadis yang disebut Grace. Gadis itu tampak baik-baik saja.
Grace menganguk-angguk. “Dia ditemukan tewas di Lumona Street. Dari yang kudengar tubuhnya diketemukan dalam keadaan mengenaskan. Kulitnya menjadi keriput seperti mummy. Orang-orang hampir tidak mngenalinya lagi. Untung saja ada tanda pengenal ang diketemukan di dekatnya dan itu atas nama Emeli.”
 Alicia diam, tidak berkomentar. Masih mencerna informasi yang ia peroleh.
“Kasihan Emeli,” gumam Grace prihatin.
“Semalam aku masih sempat bertemu dengannya sewaktu akan pulang. Harusnya aku tidak membiarkan dia pulang sendirian,” sesal Alicia. Ia merasa sangat bersalah. Jika saja waktu bisa berputar kembali, ia tidak akan membiarkan Emeli pulang sendirian. Kejadian itu pasti bisa dicegah.
“Sudahlah, ini bukan salahmu. Kejadian ini bukan pertama kalinya,” tutur Grace.
“Apa?” Mata Alicia melebar.
“Kau tidak tahu?”
Alicia menggeleng. Terlalu sibuk dengan pekerjaannya membuat Alicia tidak tahu-menahu perihal peristiwa menghebohkan yang sedang tren.
“Bulan lalu juga terjadi peristiwa yang sama di sekitar Wilmingham. Korbannya sama, seorang gadis dan kondisi mayatnya sama seperti Emeli,” terang Grace.
“Apa polisi tidak menemukan apapun?” tanya Alicia ingin tahu.
Grace menggeleng. “Sangat sulit. Orang-orang yang mengotopsi mayat mereka bahkan tidak bisa menduga apapun.”
Alicia terdiam, mengira-ngira dalam pikirannya penyebab semua kejadian buruk itu. Vampire? Pengisap darah itu akan meninggalkan bekas di leher dan mayatnya tidak akan sekering itu. Yang benar saja, makhluk itu hanya ada dalam novel atau film. Pikiran Alicia melompat-lompat berspekulasi tak terduga, berubah-ubah seketika. Alien? Mustahil. Pikirannya semakin kacau saat merangkak pada makhluk-makhluk mitologi Yunani.
“Sudahlah, tidak perlu dipikirkan terlalu jauh.” Grace membuyarkan spekulasi Alicia. “Kita harus bekerja.” Mereka berdua sudah sampai di sebuah hotel kecil di tengah kota Forterdam.
@_@

Rate Hotel, Forterdam City. 1.10 pm.

Alicia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tubuhnya terasa lelah selama seharian ini menyapa beberapa tamu yang datang untuk check in. Menelengkan kepala ke kanan dan kiri hingga terdengar geretakan otor-ototnya. Satu cara yang ampuh untuk mengusir lelah dan rasa pegal di kepalanya.
“Nona.”
Alicia terlonjak kaget mendengar suara memanggil. Kontan ia berdiri dan memasang senyum ramah. Ia sama sekali tidak menyadari kalau sudah ada seseorang berdiri di depan meja resepsionisnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Tu-an?” Mendadak kelu. Sepasang mata membuatnya terhipnotis. Mata biru seperti lautan menusuk jauh ke dalam diri Alicia. Terpaku dalam diam.
“Check in untuk Deron Patterson.”
Alicia tergagap. Dengan tangan gemetaran mengutak-atik layar komputernya. Mencari sebuah nama yang baru saja disebutkan. Sial, kenapa pria ini memiliki daya sihir sedasyat itu padanya? Setampan apapun tamu yang ia layani, tidak pernah seklipun Alicia terhipnotis. “Presiden suite? Kamar 501, Sir.” Alicia mendongak dan menemukan sepasang mata biru itu lagi. Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke arah lain agar tidak menatap langsung. Membalikkan badan mengambil kartu yang tergantung pada dinding di belakangnya. Secepat mungkin kembali menghadap kembali pada sang mata biru. “Ini, Sir.” Tangan kanan terulur memberikan kartu kunci masuk kamar sang mata biru.
Kulit putih pucat menyambutnya. Dalam hitungan seperkian detik singkat Alicia dapat merasakan sesuatu yang dingin mengenai kulitnya. Bukan dari sebuah benda yang dipakai tamunya. Tapi itu rasa dingin dari kulit putih pucat yang menyambutnya. Rasa aneh menyergap Alicia seketika.
“Terima kasih.” Kembali suara itu menyadarkan Alicia dari pikiran-pikiran anehnya. Alicia mengangguk dan memaksakan senyum. Mengiringi kepergian tamunya, sang mata biru.
Alicia menghela napas lega. Tangannya terangkat ke depan dada. Merasakan detak jantungnya sendiri. Sudah kembali normal.
“Ada apa?”
Alicia terlonjak kaget. Menoleh ke samping dan ia mendapati seorang pria dengan setelan jas berlambang huruf R di bagian dada kirinya. “Jason, kau hampir membuatku mati,” cibir Alicia.
Jason, rekan kerjanya mengernyit keheranan. Tidak ada hal ekstrim apapun yang dilakukannya terhdap Alicia. Tapi gadis ini malah mengatakan kalau Jason bisa membuatnya mati? Jason tidak mengerti. “Kau berlebihan, Alice!”
Alicia duduk kembali di kursinya. “Kau tahu Deron Patterson?” tanyanya.
Jason ikut duduk pada kursi di samping Alicia. Pandangannya ditujukan pada layar computer. Sementara itu tangannya sibuk mengoperasikannya. “Aku tidak begitu tahu. Tapi aku rasa dia orang kaya.”
Alicia menoleh seketika. “Apa maksudmu?”
“Bukankah dia memesan kamar presiden suite? Kamar itu hanya untuk orang-orang kaya, bukan?”
Alicia mengangguk paham.
“Oh, tunggu dulu!” cetus Jason. “Patterson bukan nama belakangnya?”
“Iya. Memang ada apa?”
“Bukankah itu nama bangsawan di kepulauan Eter?” seru Jason.
Alicia memandang bingung sambil mengangkat bahunya.
“Pantas saja. Aku dengar bangsawan Patterson cukup kaya dan disegani di sana.”
Bangsawan? Ulang Alicia dalam hati. Dilihat dari penampilan dan cara bicaranya memang pria itu terlihat beda tadi. “Pantas saja. Rupanya dia seorang bangsawan.” Tanpa sadar Alicia bergumam sendiri.
“Ada apa?” Jaso melihat keanehan rekan kerjanya itu.
“Eh, apa?”
“Sudahlah, lebih baik kita kembali bekerja,” ucap Jason kemudian. Alicia mengiyakan saran Jason itu. Keduanya pun kembali tenggelam dalam aktivitas masing-masing.

Selasa, 11 Desember 2012

GREY


Berada di persimpangan dua warna, putih dan hitam. Anehnya kedua warna yang bertolak belakang sifatnya itu bisa bercampur menjadi warna baru dengan sifat baru. Abu-abu, tidak ada yang menarik dari warna itu. Warna langit mendung, warna manik mata orang-orang Eropa (mungkin). Tapi buatku abu-abu adalah warna diriku saat ini. 


Ada yang bilang aku baik. Ada yang mengatakan pula aku jahat. Kedua pernyataan itu benar. Bukankah setiap orang memiliki kedua sisi itu? Seperti mata uang logam punya dua sisi yang berbeda. Seperti itu diriku saat ini. Dua sisi yang berbeda dan bertolak belakang. 



Aku bisa menjadi pribadi yang menyenangkan sekaligus menjadi pribadi yang menjengkelkan. Sangat mudah, tergantung mood dan suasana. 



Tidak heran kalau sebagian orang mengatakan aku itu memakai topeng, munafik ata mungkin berkepribadian ganda. Silahkan berpendapat. Aku tidak terlalu peduli dengan pikiran orang. Yang tahu apa yang aku pikirkan dan ada di hatiku sebenarnya hanyalah aku dan Tuhan. Yang terpentingkan pandangan Tuhan, bukan pandangan orang terhadap kita. Yang bisa menilai dengan pasti baik dan buruk juga Tuhan. Manusia hanya bisa menduga. (Eh jadi ngelantur) 





Abu-abu menjadi salah satu warna favoritku. Antara teduh dan gelap. Itu yang kurasakan kalau melihat abu-abu. Seperti saat memandang mendung. Itu sebabnya aku suka hujan yag menyejukkan. 



Terkadang sulit menjadi pribadi abu-abu. Dua sisi saling berdebat atau berbenturan di dalam diri. Sisi gelap yang licik dan kejam mencoba mendominasi. Sisi putih tentu tidak mau kalah. Bisa bahaya kalau sisi satu itu kalah. Mejadi 100% jahat bukan impianku. Tidak ada dalam daftar cira-citaku. Jadi white tida boleh kalah. Berjalan dalam dua harmoni yang seimbang. Itu sudah cukup. (Sepertinya) 



Warna abu-abu mendadak muncul dalam diriku mungkin akibat aku yang beberapa waktu terakhir ini sering bersinggungan bahkan melihat sisi gelap orang-orang dibalik sisi putih topeng mereka. Benar-benar membuat syok. Seseorang yang dipuja, menjadi panutan bisa memiliki sisi tergelap yang sungguh hina. Menjijikkan. Sungguh menyesal pernah mengidolakannya. Lebih baik mengidolakan seorang yakuza yang nyata-nyata jahat daripada mengidolakan pribadi yang munafik seperti itu. 



Satu lagi penyebab abu-abu berkembang dalam diriku. Aku tipe pendendam dan tertutup. Apa yang kurasakan sering kali kusimpan rapat-rapat. Nah, karena selama ini aku terbiasa diam dengan perilaku orang-orang yang seenaknya dan suka memaanfaatkanku, lama kelamaan perasaab kecewa dan marah itu menumpuk. Hingga akhirnya meluap, menarik keluar dari sisi gelap. 



Makanya jangan kaget kalau aku yang sekarang itu sengak, pedas, sarkastis, dan mudah tersinggung. Jangan coba-coba menjadi teman yang numpang lewat. Kalau lagi sedih, terpuruk atau pas butuh aja ingat sama aku. Aku nggak akan segan-segan mengeluarkan kata-kata pedasku. Tersinggung sama sikapku ini? Itu sih derita lo aja! Kalau mau ngejudge orang mending bercermin dulu deh! 



Itu kata-kata yang menjadi andalanku kalau mereka menyalahkan sikap sengak dan sarkasmeku ini. 



Di dalam abu-abu aku memilih untuk berjalan sendiri. Tidak perlu memikirkan orang lain dan repot bergantung pada orang lain. Pribadi yang mandiri, itulah aku. Terserah deh kalau mau ngatain aku sombong, angkuh, judes, dan lain sebagainya. Itu urusan lo! Urusan gue ya, hidup gue. 



Sekian penjabaran abu-abu dalam pikiranku.

Rabu, 05 Desember 2012

LAST PARTY WITH THE VAMPIRE


Gelap.
Lampu kerlap-kerlip.
Orang-orang memakai kostum aneh dan menyeramkan. Hallowen.
Sebuah ruangan.
Ceceran darah di mana-mana.
Seringaian mengerikan dan mata mereka... merah darah!

Griselda tenggelam dalam pikirannya sendiri. Visi-visi yang datang dalam mimpinya beberapa hari ini benar-benar telah menyita pikirannya. Suasana ramai di sekitarnya terabaikan. Ia memilih untuk duduk manis di sudut ruangan sementara itu Neva asyik berdansa dalam himpitan puluhan orang di tengah ruangan sana. Kerlap-kerlip lampu disko, musik super keras dari disk yang dimainkan DJ, puluhan orang berjejal, berdansa dan mabuk. Semuanya sangat perfect untuk sebuah pesta. Oh, jangan lupa dengan kostum yang mereka kenakan saat ini. Mencirikan pesta yang sedang mereka nikmati, Hallowen party.



Jujur, Griselda tidak pernah suka dengan yang namanya pesta. Dia tidak suka harus berada dalam satu ruangan penuh orang-orang mabuk dan bertindak gila. Jika bukan karena paksaan dari Neva, pasti Griselda lebih memilih menonton tv atau tidur di rumah.

Mendadak Griselda tersadar. Suasana ini.... ini mengingatkannya akan sesuatu. Ya, dia seperti pernah melihat semua ini. Akan tetapi dia tidak merasa yakin apa dan dimana. Nyaris putus asa, Griselda bangkit dari duduknya. Dia butuh tempat yang tenang untuk berpikir.

Gadis berambut panjang hitam legam itu berjalan melewati beberapa orang dengan susah payah. Sesekali dia harus mengucapkan kata maaf pada seseorang karena sudah menabrak. Bukan salah Griselda secara penuh. Tapi kebiasaan gadis itu sulit diubah. Dia terlalu sopan. Jauh berbeda dengan gadis seumurannya. Griselda memang berbeda. Dia sadar akan itu.

Gadis itu sama sekali tidak sadar. Sepasang kaki mengikutinya dari belakang. Bahkan sejak Griselda masuk ke aula sekolah yang sudah disulap menjadi ruang pesta, sang pemilik kaki itu sudah memandanginya. Ada sesuatu dari diri Griselda yang menarik perhatian sang pemilik kaki itu. Ada daya magnet kasat mata dalam dirinya. Yang pasti tidak sembarangan orang dapat melihatnya.

Griselda keluar dari aula, duduk pada salah satu bangku taman sekolah. Meski gelap, minim pencahayaan, Griselda tidak takut sendirian di tempat itu. Dia menengadahkan kepala, mendongak ke atas. Bulan terlihat penuh bersinar. Cantik dengan warna putih kemerahan. Mengingatkannya pada bentuk matahari senja atau saat terbit.

Langit sedikit berawan. Sebagian gumpalan awan itu melintas pelan, menutupi sebagian permukaan bulan. Ada yang aneh dengan kenampakan ini. Entah apa, intuisi Griselda hanya merasa seperti itu. Dia benci kondisi seperti ini, kondisi dimana dia hanya bisa mengira-ngira tanpa tahu pasti. Griselda menggeram kesal.

"Tidak kusangka ada gadis cantik duduk sendirian di sini."

Griselda tersentak kaget. Bagaimana mungkin seseorang menghampiri? Susah payah Griselda berusaha untuk tidak terlihat.

Gadis itu menoleh, memandangi pemilik suara itu. Seorang pria berambut ikal berjalan menghampirinya. Tidak ketara jelas warna rambutnya, sekilas seperti merah. entah itu karena cahaya bulan merah atau memang itu warna aslinya. Yang membuat pria itu mempesona adalah kostum yang dikenakannya. Setelan baju bergaya bangsawan Inggris abad pertengahan. Warnanya senada dengan warna rambut pria itu, merah kecoklatan.

"Kau tidak suka pesta?" pria itu duduk di sebelah Griselda tanpa dipersilahkan.

Griselda memandang lurus ke depan. "Tidak ada yang menarik di dalam sana," jawabnya datar.

pria itu terkekeh. "Benarkah? padahal semenjak tadi aku bertahan di dalam sana karena ada sesuatu yang menarik."

"Untukmu, tidak untukku." Griselda mulai tidak suka berlama-lama dengan pria itu.

Pria itu tergelak. Suaranya menggelegar di tengah kesunyian malam. Griselda keheranan setengah bingung. Apa pria ini gila? Kebingungan Griselda tidak bertahan lama karena teralihkan oleh suara teriakan yang tiba-tiba ia dengar. Teriakan beberapa orang sarat akan kepanikan dan rasa takut. Griselda merasa ada yang tidak beres.

"Sudah dimulai rupanya," gumam pria itu. Sontak membuat Griselda penasaran. Apa yang dia maksud?

"Apa maksudmu?" Gadis itu mengutarakan pikirannya.

Sang pria menyeringai. Sebuah seringaian yang langsung mengingatkan Griselda pada satu hal. Visi-visi itu... sesuatu yang ia lihat dalam mimpinya. Seketika wajahnya pucat. Ini tidak mungkin!

Secara impulsif, Griselda berlari cepat. Teriakan-teriakan tadi semakin jelas, mencekam dan mengerikan. Langkahnya begitu dekat dengan gedung aula. pestanya? Neva?

Griselda tidak peduli pada bahaya yang mengancamnya di tempat itu nantinya. Ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Neva. Sayangnya, Griselda terlambat. Ruangan pesta tadi sudah berubah. Darah dan tubuh-tubuh tergeletak di lantai. Yang paling membuatnya semakin pucat adalah sosok-sosok dengan bibir penuh darah dan mata mereka yang merah. Mereka memangsa setiap orang dengan ganas, mencabik leher setiap orang. Mereka...mereka bukan manusia, Griselda menarik kesimpulan singkat.

Kakinya terpaku tidak mampu bergerak. padahal Griselda ingin lari menyelamatkan diri. Tidak bisa! Seperti ada sebuah kekuatan yang menguncinya di tempat. Sosok-sosok mengerikan itu mulai menyadari kehadiran Griselda sebagai satu-satunya manusia yang tersisa. Sial! Griselda mulai panik. Tubuhnya meronta ingin bergerak tapi nihil. Sosok-sosok itu berjalan mendekat, memancarkan sorot mata lapar. 

Ssshhhhh!

Di tengah kepanikan dan ketakutan Griselda, sebuah bayangan melesat cepat di depannya. Griselda sejenak menutup matanya. Saat membuka mata hal pertama yang ia dapati adalah punggung tegap seorang pria. "pergi kalian! Dia milikku! Gggrrrrrhhh." Sebuah gertakan diiringin geraman keras terdengar. Membuat sosok-sosok mengerikan itu tidak berani mendekat. Mereka menjauh seketika.

Griselda benapas lega. Ia akan sangat berterima kasih pada penolongnya. Dia menunggu pria itu berbalik agar dapat melihatnya. 

pada detik berikutnya pria itu menggerakkan bahunya, berbalik perlahan. Astaga! Griselda tidak ingin mempercayai penglihatannya. pria itu... pria yang tadi!

"Well, kau milikku sekarang!" Seingaian lebar terlihat, menampakkan dua buah gigi taring lancip. Griselda bergidik ngeri. Keluar dari lubang buaya masuk ke dalam rumah singa. Mata merah menyala menjadi sebuah pertanda akan rasa lapar dominan. Sudah pasti Griselda akan habis malam ini. Dia akan mati!

REMEMBER YOU


Apa besok aku boleh ke sana?

Kubaca sebuah pesan yang semenit lalu masuk ke dalam nomorku. Huh, cowok ini benar-benar membuatku harus menahan diri untuk tidak meledak. 
Jemariku pun langsung bergerak lincah di atas keypad HPku. Membalasnya dengan segera agar dia tidak berbuat 'nekat'.

Tidak! Apa kau sudah gila?

Send.

Drrrtt.. drrrttt... Tidak butuh waktu lama. Balasan sms darinya muncul.

Oh, ayolah. Aku merindukanmu.

Jemariku kembali bergerak cepat. Bukan membalas pesannya, melainkan langsung meneleponnya. Tut...tutt... terdengar nada sambung di seberang sana. Krek. Diangkat langsung.

"DASAR GILA! BUKANKAH KEMARIN KAU BARU SAJA KEMARI!"

Aku bisa pastikan dia sedang menjauhkan handphone dari telinganya. Belum sempat dia menyapa, aku sudah mengomelinya dengan suara keras. 

"Astaga, Rena.. kau mau membuat gendang telingaku pecah ya?" tuturnya kemudian.

"Kau sendiri yang memulainya!" balasku tidak mau kalah.

"Memulai apa? Aku hanya ingin menemuimu. Itu saja apa tidak boleh?"

"Bukankah kemarin kita sudah bertemu? Aku mohon Dan, berhentilah main-main. Sebentar lagi kau akan ujian. jangan membuang-buang waktumu hanya untuk menemuiku. Jarak Semarang-Surakarta itu kan lumayan jauh." Demi kegantengan Seshomaru, sikapku ini bukan berarti aku tidak menyayanginya. Aku melakukan ini untuk kebaikan Dan.

"Aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin melihatmu. Aku merindukanmu, Re..." ujarnya, lebih terdengar seperti rengekan.

"Kalau kau terus seperti ini... lebih baik kita... PUTUS!" Klik. Aku memutus sambungan telepon sebelum mendengarkan Dan menyahut. Biarlah, meskipun terkesan terburu-buru dan disertai emosi yang meluap, aku rasa keputusanku itu tepat. Lebih baik begini. Kalau kami putus, dia tidak akan memikirkanku lagi, merindukanku, bahkan meluangkan waktu untuk bertemu denganku. Waktu belajarnya untuk ujian kelulusan pun tidak akan terganggu.

Maafkan aku, Dan. Aku harus melakukan ini.
***

"Kenapa kau berbuat seenaknya seperti itu?" Seseorang menarik lenganku paksa saat aku keluar dari gerbang sekolah. Beberapa siswa sekolahku memandangi kami.

"Apa yang kau lakukan di sini?" protesku. Seharusnya aku sudah bisa menduga kalau dia akan 'nekat' seperti ini setelah aku memutusnya semalam.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang kau lakukan? Kenapa tiba-tiba mengatakan putus?" ujarnya keras. Kini perhatian semua orang tertuju pada kami.

"Kau benar-benar sudah Gila, Dan!" desisku sembari menyentak tangannya, lalu berjalan menjauhinya. 

"Re, tunggu! Aku belum selesai!" Dan berlari cepat menghadangku.

"Tapi aku sudah selesai!" tolakku.

"Kau...."

"Tolong, Dan, tinggalkan aku! Aku tidak mau bertemu denganmu."

Kilasan-kilasan kejadian itu masih begitu jelas dalam benakku. Seperti baru kemarin itu terjadi. Seperti baru kemarin aku kehilangan dia. Ya, itu semua terasa seperti baru kemarin. Padahal sudah lewat lima tahun.

Di sini yang kulihat hanyalah gundukan tanah berselimut kelopak-kelopak mawar mengering. Di dalam gundukan ini tersimpan jasadnya yang sudah melebur menjadi tanah, tinggal tulang belulang tersisa. Tak banyak yang kulakukan di sini setelah selesai memanjatkan doa untuknya. Memandangi gundukan tanah itu dan sesekali menghapus butiran air mata yang hampir jatuh. 

"Kamu bisa menangis sesukamu sampai air mtamu itu habis, tapi tahukah kamu melihatmu sedih seperti itu aku juga turut merasakannya."

Mungkin kata-katanya itu yang membuatku tetap kuat dan tidak membiarkan setitik air mata pun jatuh terlalu deras. Setiap kali akan jatuh, aku menahannya karena aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi.

Awan mendung berarak bersama dengan desiran angin. Menggoreskan warna hitam pekat di atas sana. Sebentar lagi langit akan memuntahkan titik-titik airnya ke bumi. Bukannya beranjak pergi dari tempatku berdiri. Aku menengadahkan kepala ke atas. Bukan sengaja menantang. Hanya membiarkan tetes-tetes air itu menentramkan hatiku yang masih kalut. Kupejamkan mata perlahan saat tetes pertama mengenai pipiku. Dingin.

Aku meninggalkannya begitu saja. Tanpa menoleh sedikit pun. Aku tahu dia pasti sangat hancur kuteriaki seperti itu. Karena aku merasakan hal yang sama.
Hancur. Terkadang apa yang kita rencanakan tidak bisa berjalan seperti yang direncanakan. Dan seperti itulah yang terjadi pada hubungan kami. Aku memilih putus agar dia bisa lebih terkonsentrasi pada pendidikannya. Aku tidak mau menjadi penghambat kesuksesannya. 

Entah itu deringan yang keberapa kalinya. Aku mengacuhkannya. Kubiarkan Iris dari Ronan Keating terus bersenandung. 

"Re, mau sampai kapan kamu membiarkan HPmu berbunyi?" tegur Mbak Vivi yang duduk di depan meja belajar. Dia menoleh padaku karena mungkin dering HPku sudah mengganggu konsentrasi belajarnya. Terpaksa. Dengan malas kuangkat HPku tanpa melihat siapa sang penelponnya.

"Ass...."

"Alhamdulilah, akhirnya kamu mengangkatnya juga, Re..." belum sempat aku memberi salam si penelponku sudah menyela. Keningku berkerut sekilas. lalu kujauhkan HPku, menatap layarnya. Mbak Denis. begitulah nama yang tertera. Berbagai macam pertanyaan muncul dalam benakku.

"Ada apa, Mbak?" Aku mengutarakan rasa ingin tahuku.

"Dani, re... Dani..." Mbak Denis terdengar panik.

"Dani? kenapa dengan Dani, Mbak?" Perasaanku jadi tidak enak. Apa terjadi sesuatu padanya? Kecemasan akhirnya menjalari hatiku.

"Dia...hiks hiks..." Mbak Denis menangis.

"Ada apa, Mbak? Tolong katakan," pintaku.

"Dia kritis sekarang karena kecelakaan sore tadi."

Rasanya aku mau mati saat ini juga. bagai ada petir yang menyambar. Aku tergelak. Diam membeku. Dari seberang sana Mbak Denis terus saja berujar menceritakan kejaidan yang terjadi. HPku masih menempel di telingaku. Aku masih mendengarkan meski pikiranku memikirkan yang lain. Dani? bagaimana bisa? Apa ini karena aku? Aku sudah membuatnya celaka!

Hanya dalam hitungan menit tubuhku sudah basah kuyup.Sesuatu menyeruak keluar dari kelopak mataku, jatuh bersama dengan tetesan air hujan dari langit. Mengingatnya menyakitkan. tapi aku tidak bisa lupa semua kenangan tentangnya. tidak sekalipun. Dia sudah pergi untuk selamanya. Nyawanya tidak tertolong. Semua itu karena aku. Akulah satu-satunya alasany yang sudah membuatnya celaka. Walaupun sudah lama terjadi, penyesalan itu masih tertimbun di dalam relung hatiku. Rasa bersalah. Harusnya aku tidak berbuat bodoh. Harusnya aku tetap membiarkan dia untuk bebas mencintaiku. Kalau saja waktu bisa diputar kembali, aku akan memperbaiki semuaya. Tak akan kubiarkan dia pergi. Maafkan aku, Dan.


--Semarang, 26 Oktober 2012-- Remember You.
To remember the incident at the end of October.

KEMENANGAN YANG TERNODA


Riuh ramai orang dalam sebuah gedung aula berlangsung sejak pagi tadi. Gema teriakan terdengar. Sorakan mendukung si satu sisi dan sorakan mencemooh di sisi yang lain. Dua kubu saling beradu suara. Suasana memanas tak hanya pada deretan penonton. Di tengah gedung aula, di dalam gelanggang bermatras seorang bersabuk kuning dan dua orang saling menatap sengit. Keduanya, Biru dan Merah. Saling fokus pada lawan masing-masing. Mencari celah. Memukul dan menendang tepat sasaran. Walaupun di hati berkobar ketakutan dan keraguan tapi tampilan dibuat segarang mungkin. Tak mau sedikit pun dianggap remeh atau memperlihatkan kelemahan. Mereka diadu demi memperebutkan sebuah kemenangan. 

Di pinggir gelanggang lima orang duduk rapi dari tiap sudut pandang. Memegang kertas beralas papan dan sebuah pulpen. Mencatat tiap detail nilai gerakan yang masuk mengenai target serangan. Tidak boleh ada keterpihakan di satu sisi. Di sini mereka dituntut adil. Bersikap netral dan berkonsentrasi pada arah pandangan. 

Sementara itu di masing-masing sudut biru dan merah, dua orang berdiri tegak memandang ke tengah gelanggang. Terkonsentrasi pada pihaknya. Mengamati tiap pergerakan lawan, memikirkan strategi penyerangan semaksimal mungkin.

Dung. Denting gong yang dipukul menjadi tanda akhir sebuah babak. Biru dan Merah kembali ke sudutnya. Menenangkan napas sambil berbagi arahan strategi dari sang pelatih. "Lukai daerah rawan!" bisik salah satunya. 

Dung. Sekali lagi gong dibunyikan mengawali babak baru. Biru dan Merah kembali beradu. Si Biru diliputi keraguan. "Lukai daerah rawan!" Kalimat itu terus terngiang di benaknya. Apa itu benar untuk dilakukan ataukah salah? Dia tidak tahu mana yang terbaik. Berdasarkan peraturan tertulis menciderai lawan sangat tidak diperbolehkan. Berarti sebuah kecurangan yang dapat berakibat menggugurkan posisi. 

Dilema si Biru semakin pelik saat si Merah semakin gencar menyerang. memukul dan menendang secar bertubi-tubi. Empat kali gerakan sekali serang. Gerakannya terlalu cepat. Si Biru semakin tersudut. Seolah tak ada pilihan lain. Ia mencari celah untuk melakukan perintah sang pelatih. 

Si Merah terengah sesaat. Dan di situlah si Biru mendapat celah. Melangkah maju memberikan sekali pukulan pengecoh, membiarkan Merah melayangkan pukulan cepatnya dan Bugh! Seolah ketidaksengajaan pukulan si Biru mengenai tepat di bagian tengah dada Si Merah. Bagian fital yang tak terlalu dilindungi. Merah terpukul mundul. Napasnya sesak. Saluran paru-parunya seperti terjepit. Sang wasit lapangan memandangi penuh kecemasan sambil mempertimbangkan keputusan terbaik. Kesengajaan atau ketidaksengajaan? Peneguran atau sebuah diskualisasi? Kebijaksanaan dan keadilan dalam memutuskan dipertaruhkan. 

Akhirnya tangan kanan sang wasit terangkat sebelah sambil mengacungkan jari telunjuk ke atas. Teguran pertama. Begitulah sudut pandang matanya melihat. 

Segaris bibir tersungging ke atas. Menang, batin si Biru. Matanya berbinar senang mendapati Merah bersusah payah mengambil napas. Dan benar saja seperti yang ia duga. Wasit memutuskan lawannya tak dapat melanjutkan pertandingan lagi. Si Merah terbaring lemas, lalu digotong keluar gelanggang. Ya, kemenangan pun didapat. Biru bersorak riang saat sang wasit menarik dan mengangkat sebelah tangannya. menandakan ialah pemenangnya. Sang Juara. 

Bergegas sang Biru menghambur ke sudut pihaknya. Menyambut euforia kemenanganya bersama teman-temannya. Namun, ia sama sekali tidak sadar. Seseorang tengah menatapnya kecewa. Seorang pria tua yang mengenalkannya pertama kali pada kegiatan yang ia jalani saat ini. Si Biru menghampirinya. Memberikan kemenangan yang diraih untuk orang itu. Bukan pujian yang Biru dapat. Beberapa kata terucap menamparnya telak. Bagai palu penghancur yang membuat dinding kebahagiaannya pecah berkeping-keping. Menyisakan penyesalan dan rasa bersalah teramat dalam. "Kau telah kalah oleh dirimu sendiri. Ilmuku bukan untuk kemenangan semata, tapi bagaimana meraihnya dengan jalan kejujuran!"

HARUHARU (6 *END)


Pagi-pagi sekali, Hana sudah rapi. Penampilannya seperti biasa cantik dan menawan. Setelah memastikan penampilannya sudah sesuai yang diinginkannya melalu cermin riasnya, Hana menyambar tas, membuka pintu dan berjalan menuju Handa Jazz-nya.
Baru pukul 7.30, tapi lalu lintas Jakarta sudah mulai memadat. Padahal ini hari sabtu. Beberapa kantor pasti libur. Jakarta seperti tidak mengenal kata libur atau lengang. Pengendara motor, mobil dan angkutan umum saling berjejalan di jalan beraspal yang sudah tidak lagi lebar. Bunyi klakson dan umpatan yang keluar dari mulut beberapa pengendara menggema mengiringi deru kendaraan bermotor yang lalu lalang. Kapan ya Jakarta bisa sedikit lega dan ramah? Batin Hana dibalik kemudinya. Dia masih cukup punya kesabaran untuk melintas menembus lalu lintas kota Jakarta pagi ini. Tujuannya hanya satu, mengunjungi Daffin.
Hana tidak pernah lelah menemani pria itu. Setiap saat bahkan ia ingin bisa selalu bersamanya. Sayangnya, itu semua tidak bisa terwujud sebagaimana mestinya. Daffin hanya menganggapnya sahabat, tidak lebih. Hana harus menelan kepedihannya karena bertepuk sebelah tangan itu sendiri. Dia tidak bisa menyalahkan siapa pun. Daffin dengan segala pesona yang dimilikinya tidak bersalah atas cinta yang dimiliki Hana untuk pria itu. Cinta itu datang dengan sendirinya tanpa bisa dicegah.
Setengah jam perjalanan dari rumah ke rumah sakit berhasil Hana tembuh dengan baik. Setelah memarkirkan Jazz merahnya, gadis itu segera menjejakkan kakinya di lorong rumah sakit. Daffin masih berada di ruang yang sama. Meski Daffin terbaring dengan alat-alat yang menyiksa, Hana patut bersyukur karena pria yang dicintainya itu tidak harus dirawat di ruang ICU. Pilu rasanya jika melihat itu terjadi. Membayangkannya saja Hana sudah ngeri dan sedih.
“Selamat pagi,” sapa Hana begitu memasuki ruang rawat Daffin. Ruang itu sepi. Tidak ada perawat, dokter maupun kedua orang tua Daffin yang menjaga. Hana melangkah perlahan karena sapaannya tidak mendapat jawaban. Pasti Daffin masih tertidur pulas. Dan benar. Saat Hana sudah mencapai di dekat tempat tidur Daffin, pria itu memang masih memejamkan mata. Hana memandanginya dalam-dalam. Wajah yang pias dan lemas. Tulang-tulang pipinya mulai tampak menonjol. Daffin semakin kurus. Hana mengulurkan tangannya, menggenggam sebelah tangan Daffin.
“Jessica…” gumam Daffin saat merasakan seseorang menyentuhnya.
Hana tersentak. Dadanya terasa sesak. Bukan namanya yang dikumandangkan bibir Daffin, melainkan Jessica. Hana tidak dapat menahan air matanya untuk keluar. Sekian tahun mereka saling mengenal, hanya Jessica yang selalu ada di hati Daffin. Pria itu tidak pernah sekali pun melupakan pujaan hatinya itu. Hana sudah tahu pasti itu. Tapi, keegoisannya menolak untuk mengakuinya. Rasa egois yang menginginkan Daffin juga membalas perasaannya berontak pada kenyataan yang sebenarnya.
Gerak jemari Daffin menyadarkan Hana. Buru-buru dia mengusap air mata yang tadi meleleh membasahi wajahnya. Perlahan mata Daffin membuka.
“Lo udah bangun?” sapa Hana. Daffin menarik ujung bibirnya ke atas dengan susah payah.
“Sejak kapan lo datang?” tanya Daffin.
“Baru lima belas menit lalu,” jawab Hana.
Daffin tak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke depan, menatap kosong langit-langit rumah sakit yang putih. “Nanti malam gue bakal dioperasi,” ujar Daffin datar.
Hana tidak terkejut mendengarnya. Jauh-jauh hari sebelumnya, rencana itu memang sudah pernah ia dengar. “Lo harus kuat!”
“Hmmm… kemungkinannya 20%.”
Hana tahu resiko apa yang akan didapat dari operasi yang akan dilakukan Daffin. Hanya 20% operasi ini bisa berhasil, kemungkinan Daffin dapat bertahan hidup hanya 20%. “Tapi lo tetap harus kuat,” kekeh Hana.
“Gue nggak bisa janji.”
“Lo nggak boleh menyerah, Fin!” Hana tidak dapat menahan emosinya, juga air matanya yang turun.
“Gue tahu. Thanks lo udah ada di samping gue.”
“Gue bakal benci sama lo kalau lo nyerah sama penyakit ini!” ancam Hana.
“Penyakit apa?” Tanpa Hana sadari, sejak Hana keluar rumah ia sudah diikuti. Seorang pria berkaca mata masuk menghampiri Hana dan Daffin. Hana terkejut melihat pria itu. Sedangkan, Daffin mengulas senyum di bibirnya. Ia sudah siap akan hal ini.
“Hay, Les… akhirnya lo ngunjungin gue juga,” ujar Daffin.
Hana menoleh memandangnya tidak mengerti.
Lesnar mendekat dan berdiri di samping kanan Daffin–berseberangan dengan Hana yang berdiri di samping kanan Daffin. “Lo sakit apa?” tanya Lesnar.
Daffin tersenyum lagi. Lesnar tahu Daffin tidak akan menjawabnya. Jadi, ia mengalihkan pandangannya pada Hana. “Bisa jelasin ke gue, Han?” desaknya.
Hana memalingkan muka, tidak mau menjawab.
“Oke, kalau kalian nggak mau menjawab, gue akan…”
“Kanker pancreas,” potong Daffin. “Gue kena kanker pancreas stadium akhir.”
Lesnar membelalak mendengarnya. Dengan gemas ia meremar rambutnya dengan kedua tangan. Frustasi dengan kenyataan yang tak terduga itu. “Jessica tahu ini?” tanyanya kemudian. Daffin menggeleng lemah. “Kenapa?” lanjut Lesnar.
Sorot mata Daffin berubah pilu. Lesnar mencoba mengartikannya sendiri tanpa mendengar kata-kata dari mulut sahabatnya. “Tapi dia berhak tahu,” ujar Lesnar.
“Nggak. Dia nggak seharusnya tahu,” balas Daffin.
“Tapi apa lo nggak mikir gimana perasaan dia? Lo udah nyakitin dia dengan…” Lesnar tak dapat meneruskan kata-katanya. Dia masih bingung dengan hubungan Daffin dan adiknya. Sungguhankah atau sandiwara?
“Justru karena gue mikirin perasaannya makanya dia nggak boleh tahu ini. Dia nggak boleh berada di dekat gue saat gue sekarat,” ujar Daffin.
Lesnar mendesah pasrah. Ia tidak berkata apapun, pergi adalah jalan terbaik agar emosinya tidak bertambah buruk. Cukup sudah mengetahui kenyataan yang mengecewakannya ini. Ia tidak mau terus berdebat dengan Daffin yang sudah sekarat itu.
Daffin menahan lengan Hana yang ingin mengejar kakaknya. Pria itu menggeleng pelan, seolah mengucapkan kata “biarkan dia sendiri”. Hana menurut, tetap berdiri di samping pria itu. Mungkin memang lebih baik dia tetap berada di dekat Daffin mengingat nanti malam pria itu sudah harus dioperasi. Mata Hana mendadak memanas bila mengingat kemungkinan yang akan terjadi nanti. Kemungkinan keberhasilannya hanya 20%. Apa dia sanggup menerima kemungkinan terburuknya?
“Kenapa?” tanya Daffin yang sejak tadi memandangi Hana. Dia melihat ada mata Hana memerah.
Hana menggeleng cepat, mengusir kesedihannya dan tersenyum ceria.
“Han, gue boleh minta sesuatu dari lo?” ucap Daffin kemudian.
“Apa?”
“Jagain Jessica ya, jangan tinggalin dia apapun yang terjadi. Dia selalu kesepian, dia butuh teman, Han. Dan gue rasa Cuma lo yang selalu bisa jadi temannya, sahabat dekatnya,” tutur Daffin.
“Tap-tapi, Fin… Jessica benci gue. Dia pasti nggak mau terima gue lagi.” Hana tidak menolak permintaan Daffin. Dia hanya merasa tidak yakin Jessica mau berteman dengannya lagi. Dia sudah melukai hati sahabatnya itu dengan bersandiwara menjadi kekasih Daffin.
Daffin menarik ujung bibirnya ke atas dengan susah payah. Badannya mulai melemah. Bahkan untuk tersenyum saja begitu susah. “Dia akan memaafkan lo, Han.”
Hana terdiam. Apa itu benar? Apa Jessica akan memaafkannya?
“Itu bukan salah lo, Han. Jess pasti maafin lo,” lanjut Daffin.
Tapi gue menikmati saat-saat bersama lo, Fin, balas Hana dalam hati. Gue secara nggak langsung udah ngekhianati Jessica.
“Semua akan baik-baik saja, Han.”
Hana mencoba meyakini ucapan Daffin meski sebenarnya ia tidak merasa yakin. Ia mengangguk percaya.
“Gue lelah, gue mau tidur dulu.” Tanpa meminta persetujuan Hana, mata Daffin sudah terpejam lebih dulu.
@-@

Tidak ada sedikit senyum di wajah mereka. Tegang, takut, cemas, dan sedih. Hanya perasaan-perasaan seperti itu yang bercongkol di hati mereka. Sebagian memilih diam dan menyimpan apa yang dirasanya sendiri. Sebagian yang lain mengekspresikannya secara nyata lewat air mata yang keluar. Ya, seperti yang dilakukan wanita paruh baya itu. Dia menangis perlahan di dalam dekapan suaminya. Viona masih belum dapat menerima kemungkinan terburuk yang akan terjadi selanjutnya.
Alex dan Leon memilih bungkam, duduk di salah satu bangku di depan ruang operasi. Hana pun melakukan hal yang sama, sesekali ia mengusap air matanya. Lesnar sedikit menjauh dari kedua temannya. Sengaja menjaga jarak. Hatinya masih sedikit kesal dengan keputusan Daffin yang menyembunyikan penyakitnya dari Jessica.
Sebuah ranjang di dorong melewati ketujuh orang itu. Di atasnya Daffin terbaring lemah. Ranjang dorongnya berhenti sebentar di ambang pintu. Viona menggenggam tangan putranya. Seolah tak ingin melepasnya karena takut kehilangan. “Mama jaga diri baik-baik ya!” pesan Daffin pada Viona. Wanita paruh baya itu menggeleng lemah. Bukan, bukan itu yang ingin didengarnya.
Pandangan Daffin beralih pada kedua sahabatnya, Alex dan Leon. “Lo harus hidup, Daff!’ tuntut Alex. Berusaha menyemangati sahabatnya.
“Iya, lo harus kuat di dalam sana nanti.” Leon menyahut.
Daffin hanya mengulas senyum kecil untuk kedua sahabatnya. Giliran Hana mendekat pada Daffin. Sebutir air mata meluncur dengan mulus di pipinya. “Lo masih ingat janji lo kan, Han?” ujar Daffin. Hana mengangguk sekali. “Cuma itu yang gue minta. Jangan terlalu bersedih ya!”
Hana tidak sanggup menahan luapan kesedihannya. Dia menutup mulut dengan sebelah tangannya lalu beranjak pergi. Ucapan Daffin mengisyaratkan kalau itu adalah pesan terakhirnya.
Setelah itu, suster kembali mendorong ranjang Daffin memasuki ruang operasi. Sekitar dua jam lamanya Daffin akan terkurung dalam ruangan itu, mempertaruhkan nyawanya. Entah hidup atau mati setelah itu.
@-@

Semua masih diam terpaku di depan ruang operasi. Menunggu adalah hal yang paling menyebalkan. Tapi hanya itu yang bisa mereka lakukan. Lesnar merasa jenuh. Ia menyinggir. Ia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Jessica harus segera tahu masalah ini. Dikeluarkannya HP dari sakunya. Setelah menekan tomboh dial untuk nomor Jessica, Lesnar menunggu teleponnya dijawab.Tidak perlu waktu lama. Dua detik terdengar bunyi krek pertanda diangkat oleh sang empunya telepon. “Jess?” seru Lesnar.
“Hai, Les.. lo dimana?” Suara Jessica terdengar riang.
Lesnar menarik napas dalam-dalam sebelum mulai membuka suara lagi. “Gue di rumah sakit, Jess.”
“Rumah sakit? Lo sakit, Les?” nada suara Jessica terdengar cemas.
“Nggak, Jess. Bukan gue. Ini tentang Daffin….” Lesnar pun memulai menceritakan semua yang ia tahu tentang Daffin pada Jessica. Bibir gadis itu bergetar. Kakinya serasa lemas dan tak mampu menopang tubuhnya untuk tegak berdiri.
“Jess… jess…” Beberapa kali Lesnar memanggil gadis itu karena tak kunjung mendapat jawaban apapun dari seberang. Lesnar jadi sedikit cemas.
Jessica mencoba kuat. Ia harus ke sana. ia harus menemui Daffin. Tanpa mempedulikan suara Lesnar di handphonenya, gadis itu berlari keluar apartemennya. Tujuannya adalah rumah sakit.
@-@

Jessica menghentikan larinya saat ia mulai mendapati orang-orang yang dikenalinya duduk di sebuah ruangan. Langkahnya terasa berat. Dengan gontai ia mendekat ke ruangan itu. Di dalam pasti ada Daffin, batinnya. Ia bertekad untuk menemui pria yang dicintainya itu. Hana menahan lengan Jessica. Dengan lemah Jessica memutar kepalanya menatap Hana. Air mata Jessica sudah menggenang di pelupuk mata. Hana merogoh sesuatu di dalam saku jeansnya. Sebuah benda yang kemarin Daffin titipkan padanya. Logam emas putih kecil berbentuk lingkaran dengan sebuah butir berlian mungil. Hana meletakkan cincin itu di atas telapak Jessica tanpa berkata-kata.
Jessica memandangi benda itu. Air matanya jatuh seketika. Itu cincin pertunangannya dengan Daffin. Jessica tidak dapat menahan diri lagi. ia ingin bertemu Daffin. Jessica berlari cepat menuju pintu ruang operasi. Terkunci. Ia tidak bisa masuk. Kedua tangannya mengepal, menggedor pintu itu, berharap bisa masuk. “Buka! Buka! Gue mau ketemu Daffin!” teriaknya histeris sambil berlinangan air mata. Sontak Alex dan Leon menghampiri Jessica. Menahan kedua bahu Jessica untuk menjauhi pintu itu.
“Jess, tenang!” Alex mencoba menenangkan.
“Daffin, Lex… gue mau ketemu Daffin!” teriak Jessica.
“Iya. Nanti. Dia masih dioperasi, Jess.”
“Hiks hiks hiks.” Jessica menangis tersedu. Dia tidak lagi berontak seperti tadi.
Krek. Pandangan semua mata teralih. Sebuah ranjang didorong keluar dari ruang operasi. Sontak semua orang berlari menghampirinya.
“Daffin!” Ledak tangis Viona yang pertama kali terdengar. Oscar meraih tubuh istrinya, memeluknya. Berusaha tegar meski sebenarnya ia juga sedih. Di atas ranjang itu sebuah selimut putih menutup tubuh kaku yang terbaring di atasnya. Kenyataannya Daffin telah tiada.
“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungki. Tapi nyawanya tidak dapat ditolong…” Seorang dokter pria menghampiri Oscar, mengatakan rasa sedihnya. Oscar terdiam. Suaranya tercekat di tenggorokan.
Alex dan Leon berdiri kaku. sahabatnya sudah tiada. Mereka cukup syok. Sedangkan, Hana menangis dalam diam. Lesnar pun tidak jauh beda dengan Alex. Tapi dia masih cukup sadar untuk berusaha menenangkan Jessica yang menangis sambil menggoyang-goyangkan tubuh Daffin.
“Daff, bangun… jangan tinggalin gue! Lo jahat, Daff!” histeris Jessica.
“Jess, Daffin udah pergi,” ujar Lesnar. Direngkuhnya tubuh Jessica.
“Daffin, Les… Daffin…” Gadis it uterus bergumam. Mendadak kepalanya berputar. Kenyataaan menyakitkan itu seperti menghantam kepala dengan keras. Tubuh Jessica melemas hingga tak sadarkan diri. Untunglah Lesnar menangkap tubuhnya untuk tidak roboh.


@.@

Di sinilah Jessica berdiri. Sebuah gundukan tanah yang tertutupi rumput jepang. Beberapa helai mawar mengering di atasnya. Sudah hampir sebulan Jessica tidak mengunjunginya. Ia berjongkok, meraup helaian kelopak mawar dari kantung plastik hitam yang dibawanya. Lalu menaburkan di atas gundukan itu.
Kejadiannya seperti baru kemarin terjadi. Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Jessica. “Mom…” Sebuah suara menyadarkan Jessica. Ia menoleh, menatap seorang anak lelaki berumur lima tahun yang menatapnya sendu. Buru-buru Jessica mengusap air matanya. Anak lelaki itu mendekat dan memeluknya erat. “Mom, jangan sedih. Masih ada Jayden di sini. Kalau Mom sedih kasihan dady di sana, pasti ikut sedih juga,” ujar anak lelaki itu.
Jessica mengangguk perlahan. Dia tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Masih ada Jayden di sisinya. Satu-satunya peninggalan Daffin yang paling berharga. Jessica bersumpah akan menjaga anaknya itu dengan baik. Satu-satunya yang selalu membuat Jessica bertahan selama ini hanyalah Jayden. Jika bukan karena mengatahui ada Jayden dalam perutnya, mungkin dulu ia sudah mencoba bunuh diri setelah kematian Daffin.
“Sudah selesai!” Suara berat seorang pria menyadarkan Jessica. Ia berdiri setelah melepas pelukan Jayden.
“Papa…” Jayden menghambur memeluk pria itu. Jessica tersenyum melihat kelakuan anaknya itu. Ayah kandung Jayden memang telah tiada bahkan sebelum anak itu terlahir di dunia. Tapi Jessica tetap bersyukur karena ada Lesnar yang bersedia menjadi sosok seorang ayah bagi Jayden. Anaknya tidak pernah kehilangan kasih sayang sedikit pun. Dan Jessica perlahan kembali kuat karena kehadiran Jayden dan Lesnar di sisinya.

-end-