Selasa, 24 Juli 2012

A Pair of Wings (2)



Luona tak seindah Anora. Malah berbanding terbalik, meski tak bisa dipungkiri tempat itu merupakan salah satu bagian dari Anora. Luona berada di area paling terpencil di Anora. Kegelapan dan hitam adalah dominasi warna di tempat itu.

Mentari seolah tak mampu merasuk dalam wilayah itu. Awan kelabu terlalu tebal menggantung di atas sana. Tak ada keindahan di Luona. Hanya gelap dan kelabu. Ninda mengernyit heran. Ia tak dapat menahan rasa ingin tahunya.

"Kenapa di sini berbeda?" tanyanya. "Sangat buruk!" Ninda memandang sinis keadaan di sekelilingnya saat ini.

Felix mengulas senyum tipis sebelum menjawab Ninda. "Ini adalah tempat tinggalmu. Di sinilah kau akan tinggal."

Ninda membelalak tak percaya. "Aku akan tinggal di tempat seburuk ini?" pekiknya.

Felix mengangguk, mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke depan. "Itu rumahmu."

Sebuah rumah bertingkat dua berwarna abu-abu. Bentuknya aneh. Bagai batang pohon besar yang terpotong setengah dengan duah buah jendela terlihat dan sebuah pintu berwarna hitam kelam.

"Haruskah aku tinggal di situ?" tanya Ninda masih tak percaya.

"Ya, itu tempat tinggal Daren. Dan sekarang menjadi rumahmu."

Mengetahui kenyataan mengecewakan membuat Ninda lemas. Rumah yang ditunjuk Felix terlihat tidak layak huni menurut Ninda. Tapi ia tidak bisa protes. Ini konsekuensi atas pilihannya.
***

Pagi pertama Ninda di Luona. Tak ada sinar mentari yang menyapanya seperti ketika ia bangun pagi hari di kamarnya. Hanya pekik suara burung mirip suara gagak yang menjadi tanda pagi telah datang.

Ninda mengerjap beberapa kali. Kelopak bawah matanya membengkak dengan garis hitam menyertai. Ia memang tidak bisa tidur dengan baik. Suasana Luona ketika malam sungguh mencekap. Suara-suara binatang aneh berkumandang silih berganti membuat Ninda tak mampu memejamkan mata.

“Tidurmu nyenyak?”

Ninda memutar kepalanya. Seorang pria berdiri di ambang pintu. Senyum khas milik pria itu terlukis. Berbanding terbalik dengan Ninda yang menatapnya muram.

“Apa aku terlihat seperti orang yang tidur dalam waktu delapan jam?” Ninda memberi penekanan diakhir kalimatnya. Pria di ambang pintu terkekeh.

“Ya, cukup buruk sepertinya. Tapi aku yakin beberapa hari lagi tidurmu akan nyenyak…” Pria itu berjalan menghampiri Ninda. Jemari kekarnya menari di bawah pelupuk mata Ninda. “Well, ketika kau sudah dapat beradaptasi tentunya,” lanjut pria itu.

“Tentu, Felix.” Ninda menepis tangan Felix dan berjalan keluar.
^^^

“Apa yang akan kita kerjakan hari ini?” tanya Ninda menengadah memandang Felix yang mengiringi langkah kecilnya.

“Bekerja,” jawab Felix singkat.

Ninda mengernyit heran. “Bagaimana?”

“Akan aku tunjukkan!” Felix meraih tangan Ninda. Ia membimbing gadis itu untuk mengikutinya. Kali ini tidak dengan berjalan. Sayap-sayap di punggung mereka perlu digerakkan sepertinya. Jadi, Felik memutuskan untuk membiarkan benda mirip kelopak bunga itu bergerak-gerak. Tubuh Felix dan Ninda terangkat, melayang di udara.
***

Ninda terpaku ditempat, tercengang dan tak mampu berucap apa pun. Ini mimpi buruk untuknya. Mungkin. "Apa kau serius dengan ini, Felix?" Ninda menoleh pada lelaki berambut coklat tua di sampingnya dan berharap mendapat jawaban ketidakbenaran. Sayangnya, kenyataan berkata lain. Felix mengangguk mengiyakan.

"Inilah tugas peri kehancuran. Saat masa perang dulu peri kehancuran menjadi penjaga bagi Anora. Tapi kini hanya ini yg bisa dilakukan," jelas Felix.

"Haruskah aku menjadi pembunuh?"

"Ya, mereka para Oxeks pantas mendapatkannya. Jika didiamkan mereka yg akan menghabisi kita." Ninda dapat melihat kebencian yang begitu dalam dari nada suara dan tatapan tajam Felix terhadap para makhluk menyeramkan yg berada di dalam ruang beterali besi di depan mereka.

"Lalu bagaimana caranya?"

"Kau punya kekuatan Ninda... karena kini kau adalah peri kehancuran. Kau pasti mampu memusnahkan mereka."

Ninda menghela napas panjang. "Baik akan aku coba."

"Pelan-pelan saja."

Ninda mengangguk mengiyakan. Dan Felix berlalu dari sisinya.
***

Sejauh yang Ninda bisa. Dia sudah berusaha tapi tak satu pun Oxeks yang musnah oleh kekuatannya. Padahal Ninda sudah mencoba seperti yang Felix anjurkan. Frustasi dan kesal dengan diri sendiri. Ninda mengeram, membanting benda tak berdosa di sekitarnya. Sementara itu, para Oxeks yang lemah tanpa daya dengan beberapa bagian tubuh terlilit lantai meledakan tawa kepuasannya. Keterpurukan Ninda menjadi hiburan tersendiri untuk mereka.

Mendapat hinaan dari musuhnya, amarah mengalir naik ke ubun-ubun. Kedua tangan Ninda mengepal. Wajah memerah dan mata melotot tajam. "DIAAAMMM!"

Blash! Satu Oxeks lenyap tak bersisa. Mendaratkan keterkejutan pada setiap makhluk yang menatap kejadian itu. Begitu pula dengan Ninda. Dia terperanjat tak percaya. Mata indah miliknya membulat memandangi tangan kanan yang tadinya terjulur ke depan.

"Apa tadi?" Ninda bergumam pada diri sendiri. "A...aku bisa?" Ninda kembali mengamati para Oxeks dalam kurungan. "Lihat! aku bisa!" teriaknya lantang.  Ninda berjalan mendekat. Lebih berani dari sebelumnya. Tak kurang dari satu langkah berdiri di depan terali yang memenjara para Oxeks. Kepercayaan dirinya telah terbit. Tatapan mata evil hinggap dalam sorot yang terpancar. Ia menengadahkan tangan kanannya. Berkonsentrasi sekuat mungkin. Kembali mencoba. Mengumpulkan segenap kekuatan di atas telapak tangan kanan. Dan itu membuahkan hasil memuaskan. Sebuah bola cahaya berwarna hitam pekat seukuran bola pingpong melayang di atas telapak tangan kanan Ninda. Kecil memang. Para Oxeks tersenyum meremehkan.

"Itu tak akan cukup membunuh kita!" ucap salah satu Oxeks bersuara menyeramkan. Terang saja ucapan itu membuat amarah Ninda kembali memuncak.

"Kalian terlalu meremehkanku!" Blash. Ninda melempar bola hitam pekatnya ke dalam terali besi. Tepat mengenai sasarannya. Seorang Oxeks lenyap tak bersisa sekali lagi. 

"Sialan!" umpat Oxeks bersuara menyeramkan tadi. Ia mundur ke belakang. Menjaga jarak dari Ninda.

Sedangkan Ninda tersenyum bangga akan kemampuan barunya itu. Ini akan menyenangkan, pikirnya.

Sabtu, 07 Juli 2012

A Pair Of Wings (1)




Ninda benar-benar terpesona. Luar biasa hingga ia sulit menggambarkannya. Ninda berbalik menghadap cermin. Matanya berbinar. Dua pasang kelopak tipis dan gelap menggantung di punggungnya. Seperti sayap capung dengan ujung meruncing. Mempesona. Ketika cahaya mengenainya, warna pelangi berpedar dari dua pasang kelopak sayap itu. Laksana aurora di malam pekat.
Ninda mencoba menggerakkannya. Membuka dan menutup perlahan. Taburan-taburan bercahaya bagai kerlip bintang tiba-tiba saja bermunculan. Asalnya sudah pasti dari kepakan sayap yang melekat pada punggungnya. Rasa takjub semakin bertambah. Luar biasa, ini benar-benar menakjubkan, Batin Ninda begitu gembira.
“Apa kamu suka?” Sebuah suara bernada bass membuyarkan keterkaguman Ninda. Seorang pemuda berdiri di ambang pintu kamarnya. Tangan terlipat di depan dada. Dengan punggung bersandar pada badan pintu yang terbuka. Senyum maut terumbar. Raut wajahnya sulit diartikan.
“Bagaimana kau bisa masuk?” Sebuah pertanyaan tercetus dari bibir Ninda. Pemuda itu mengibaskan rambut mahoni yang menutupi dahinya.
“Itu mudah.” Dia berjalan menghampiri Ninda. Memutarinyya lalu berdiri di hadapan Ninda. “Cocok untukmu.” Matanya melirik kelopak mirip sayap di punggung Ninda.
“Terima kasih,” balas Ninda sarkastis. Ninda turut melirik sesuatu di alik punggung pemuda itu. Kosong. “Mana sayapmu?”
Pemuda berambut mahoni itu tersenyum lagi. Ninda sempat terpesona. Matanya tidak terlalu besar. Alis tipis menempel indah, menambal sempurna wajah tampannya. Hidungnya meruncing ke depan. Ninda menatap lekat mata merah darah pemuda itu. Berharap dapa membaca pikirannya. Pemuda itu hanya mengangkat bahu.
“Mungkin… Kau sudah memakainya. Di punggungmu.”
Ninda melirik sayap hitam transparan di punggungnya. Dia teringat transaksi beberapa jam lalu.

“Siapa kau?” Ninda terkejut dan memundurkan langkahnya. Matanya menyorot tajam sosok di depannya.
“Daren Aghata, peri kehancuran.” Sebuah tangan terulur pada Ninda. Takut-takut ia memandanginya. Enggan membalas. “Aku tak menggigit,” tambah Daren sembari tersenyum mengejek. Ninda merasa tersindir. Ia meraih kasar tangan itu.
“Ninda Camila, pelajar.” Tawa Daren meledak. “Bukan hal lucu untuk ditertawakan!” Ninda tersinggung dengan tawa Daren.
“Baiklah, aku akan serius sekarang,” tutur Daren. Raut wajahnya berubah seketika. “Kau tertarik menjadi peri?” tawarnya.
“Apa?” Ninda menarik tangannya. Pandangannya menyelidik. “Kau itu apa?” Ninda seolah baru tersadar bahwa sosok di depannya bukan manusia.
“Peri kehancuran, menghancurkan apa saja yang kusentuh.” Ninda bergidik ngeri mendengarnya. Ia memandang telapk tangannya. Masih utuh. Perasaannya lega.
“Tenang, aku bisa mengendalikan diri.” Daren seolah tahu apa yang Ninda pikirkan.
“Lalu apa maumu?” ketus Ninda.
Daren melenggang melewatinya. Langkah yang ringan dan anggun. Tangannya terangkat membelai batang pohon cemara di sisi kanannya. “Menawari sesuatu yang kau inginkan,” tuturnya. Ninda membalikkan badan. Memandang punggung kekar Daren. Dua pasang kelopak hitam menggantung sempurna.
“Maksudmu?” Ninda masih belum dapat menangkap jelas ucapan Daren.
“Barter!”
***

Anora adalah sebuah negeri peri yang tersembunyi. Berada di belahan hutan Danyang Tuo. Tak seorang manusia dapat melihatnya. Tapi kini Ninda dapat melihat dengan jelas dan masuk ke dalam negeri itu. Mata gadis berambut ikal itu terus berbinar, batinnya tak henti mengucap pujian pada negeri Anora.
“Indah bukan?” Felix seolah mampu membaca pikiran Ninda. Padahal Felix dan Ninda baru bertemu satu jam yang lalu. Dan pria yang juga peri di negeri Anora itu kini menjadi pemandu bagi Ninda. Daren sengaja menyuruh pria itu untuk menemani Ninda yang tergolong baru dan karena memang hanya Felix yang dapat Daren percaya.
“Indah sekali di sini. Aku tidak menyangka ada negeri seindah ini,” jawab Ninda riang. Bagaimana tidak indah dan mempesona, seluruh hal yang ada di Anora sangat berbeda jauh dari dunia manusia sebenarnya.
Pepohonan tumbuh rindang dengan batang besar dan tinggi. Dedaunan berwarna-warni, keemasan, merah seperti daun maple, jingga, bahkan ungu. Buah yang menggantung dengan berbagai bentuk menarik, ada yang mirip pepaya mini, apel berwarna jingga, seperti buah mangga berwarna coklat, dan yang paling unik berbentuk bintang berwarna biru cerah. Bunga-bunga tak mau kalah tumbuh dengan cantiknya. Mekar sempurna menyerbakkan aroma wangi ke segala penjuru. Dalam jarak lima puluh meter pun wanginya dapat tercium.
Semua tertata dengan rapi dan apik. Pepohonan berbuah tumbuh berjajar membentuk perkebunan dimana beberapa peri memanen buahnya. Sedangkan bunga-bunganya tumbuh bagai perkebunan teh, berjajar rapi berurutan. Peri-peri wanita memakai dress berwarna merah membawa keranjang ukuran sedang, memetik satu per satu tangkai bunga yang mekar sempurna.
Felix membimbing Ninda masuk ke negeri Anora lebih dalam. Tepatnya ke perkampungan para peri. Rumah-rumah peri berdiri tegak beraturan. Para peri tinggal di dalam sebuah pohon besar atau rumah berbentuk jamur berukuran besar. Unik sekali. Ninda bagai berada di negeri dongeng yang sering ia baca.

Kamis, 05 Juli 2012

Haruharu (3)


“Daff, kamu mencintaiku kan?” Jessica kembali menggenggam kedua tangan Daffin. Suaranya lembut dan parau.
“Tidak, Jess.” Daffin mengatakan dengan pilu tanpa menatap Jessica.
“BOHONG!” teriak Jessica. “Tatap aku dan katakan itu bohong!”
Rahang Daffin mengeras, menyentakan genggaman tangan Jessica dengan kasar. “Itu benar, Jess. Aku tidak mencintaimu lagi,” tegasnya seraya menatap Jessica tajam. Sebuah tatapan dingin yang tidak pernah Jessica terima. Badan gadis itu lemas seketika.
“Lalu… ini semua apa?” gumam Jessica.
“Kamuflase, gue nggak pengen lo terlalu sedih. Itu saja.” Nada ucapan Daffin berubah. Bukan aku-kamu lagi. Ia berbicara dengan nada dingin dan kasar. “Sudahlah, Jess. Lo cantik, lo bisa dapat cowok yang lebih baik dari gue. Nggak usah sedih, oke.” Daffin memasang topeng dinginnya. Berkata seolah ia tidak terluka. Jessica terdiam dengan pandangan kosong. “Well, hanya itu yang pengen gue omongin. Gue pulang dulu.” Dengan memendam getir luka di hatinya, Daffin membalikkan badan meninggalkan Jessica yang masih terpukul.
***

Pergi……
Yeah, akhirnya kusadari aku bukan apa-apa tanpamu
Aku sangat bersalah, maafkan aku

Daffin terduduk di atas tempat tidur dengan kedua tangan menutup wajah. Kepalanya terasa berat tapi sama sekali tak dipedulikannya. Rasa sakit fisik yang ia rasakan bukanlah apa-apa dibandingkan luka yang baru saja ia toreh. Tangan kanannya ia angkat di depan dada. Meremas T-shirt hitam yang ia pakai tepat pada bagian dadanya. Entah untuk apa. Dadanya terasa sesak, sakit.

Seperti pasang, hatiku hancur
Seperti angin, hatiku terguncang
Seperti asap, cintaku memudar
Ini tak pernah terhapus seperti tattoo
Aku mendesah dan tanah terguncang
Hatiku penuh debu (Katakan selamat tinggal)

“Arrrrgghh!” Teriakan keras ia lontarkan dibarengi dengan gerak tubuh berputar, tangan menyambar seprai dan selimut di dekatnya. Membuat benda itu terlempar berantakan. Tak ubahnya dengan beberapa benda di kamarnya yang sudah tergeletak tak beraturan di lantai. Tubuh Daffin merosot ke lantai. Lututnya ia gunakan sebagai tumpuan. Rasa bersalah yang teramat dalam. Ya, itu yang ia rasakan saat ini. Sangat menyesal dan bersalah atas apa yang sudah ia lakukan.
“Ini nggak adil buat gue!” gumamnya. Mata pria blesteran bule itu memerah. Daffin merasa kehidupan sangat tidak adil memperlakukannya. Ketika kebahagiaan itu berada tepat di hadapannya, ia harus melepasnya. Ia harus merelakannya dengan cara menyakitkan.
Tok tok tok. “Daffin, sayang… kamu baik-baik saja?” Suara lembut yang terdengar cemas terdengar dari balik pintu kamarnya. Agaknya ulah Daffin kali ini terdengar jelas oleh mamanya. Wanita paruh baya yang sudah melahirkan dan merawatnya itu berdiri di depan pintu dengan tangan terangkat bersiap mengetuk pintu kamar Daffin lagi. Tok tok tok. “Daffin..buka pintunya!”
Daffin sama sekali tak menyahut. Tok tok tok. Suara ketukan itu makin keras. Kali ini bukan seorang wanita, melainkan seorang pria berdiri di samping wanita tadi. Gurat kecemasan yang sama terlihat di wajah mereka.
“Biar aku dobrak saja,” seru pria itu. Ia melangkah mundur, mengambil ancang-ancang. Krek. Terlambat. Pintu yang akan ia dobrak terbuka lebih dulu. Tampak seorang pria muda dengan wajah pucat, lesu dan tak bersemangat.
“Daffiiinn!” pekik sang wanita paruh baya. “Kamu kenapa, Sayang?” Tangan lembut wanita itu sudah menempel di pipi Daffin.
“Nggak apa-apa, Ma. Daffin hanya kecapekan,” dusta Daffin.
“Mama ambilkan vitamin ya?” Daffin mengangguk. Lalu mamanya segera beranjak meninggalkannya. Kini hanya tinggal ia dan papanya. Pria paruh baya itu membuka pintu kamar Daffin lebih lebar. Menjulurkan kepalanya masuk. Keadaan kamar Daffin jauh dari kesan rapi. Berbagai barang berceceran di lantai. Daffin membuang muka, menyesali tindakannya sendiri.
“Kalau ada masalah selesaikan baik-baik, jangan sampai membuat mamamu cemas.” Papa Daffin sama sekali tidak mengomelinya. Ya, pria paruh baya itu agaknya sudah sangat mengerti dengan sifat anaknya itu. Tak mau memaksa.
Daffin mengangguk. Dengan caranya bersikap tidak normal, lain dari biasanya hanya akan membuat orang-orang di sekitarnya semakin cemas. Tak ada gunanya menyesali semua yang sudah terjadi. Daffin pasrah dengan hidupnya. Ia berjalan gontai menuju ruang makan. Sementara itu, papanya – Oscar mengekor di belakangnya.
***

Yeah, aku pikir aku tak akan mampu tuk hidup sehari pun tanpamu
Tapi dari apa yang diharapkan, kudapatkan diriku cukup baik-baik saja menjadi diri sendiri
Kau tak menjawab apapun seraya kumenangis “Aku merindukanmu”
Kuberharap utuk sebuah harapan yang sia-sia tapi sekrang ini tak berguna

Jessica bagai mayat hidup, berjalan melewati koridor fakultasnya dengan pandangan kosong. Wajahnya pucat, nyaris tanpa make-up. Beberapa orang yang ia lewati memandanginya dengan penuh keheranan. Ini bukan Jessica sang primadona kampus yang mereka kenal. Sebagian lain berbisik-bisik membicarakan nasib Jessica yang malang. Ya, desas-desus putusnya hubungan Jessica dan Daffin sudah menyebar hampir di seluruh penjuru kampus. Tidak heran untuk orang sepopuler mereka berdua. Dalam hitungan jam saja berita itu sudah menyebar hebat.
“Kasihan ya Jessica.”
“Dia pantas mendapatkannya… Daffin tak cocok untuknya!”
“Ini nih akibat terlalu sombong, akhirnya sahabatnya sendiri menusuk dia dari belakang!”
Samar-samar Jessica masih mampu mendengarkan cercaan orang tentangnya. Ia tak mempedulikannya. Baginya itu tidaklah penting. Hatinya terlalu lelah untuk memanggapi semua itu. Namun saat ia mendengar sebuah nama tak asing disebut bersamaan dengan nama Daffin, hatinya bergejolak ingin tahu. Dia tak pernah berharap apa yang didengarnya itu benar.
“Daffin memang lebih cocok dengan Hana yang kalem.”
“Apa lo bilang tadi?” Kini Jessica berdiri di hadapan tiga orang gadis yang sejak tadi membicarakan tentang nasib hubungannya dengan Daffin. Tatapan tajam Jessica tertuju pada seorang gadis berambut pendek yang bersuara paling akhir. Gadis itu bergerak mundur. Ia merasa Jessica akan membunuhnya jika ia bersuara lagi. “Tadi lo bilang apa?” Jessica mengulangi pertanyaannya dengan nada tinggi.
Bungkam, tak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Jessica. Lidah gadis yang ditanyai Jessica pun keluh. “Ulangi sekali lagi!” ulang Jesscia dengan nada memaksa dan dibarengi cengkeraman erat pada lengan gadis berambut pendek. Gadis itu meringis kesakitan.
“Jess…sakit,” erangnya. Jessica tak peduli. Dia sedang kalap saat ini.
“Tadi lo bilang apa, Hah?” Wajah Jessica hanya berjarak beberapa senti dari gadis itu. Sedangkan kedua gadis lainnya tak mau ikut campur. Mereka hanya melihat ketakutan. “Cepat ulangi ucapan lo itu tadi!”
“Itu…em.. itu Jess… Daffin sama… Hana…” Sambil menahan rasa sakit pada lengannya gadis berambut pendek mencoba menjawab pertanyaan Jessica dengan terbata. “Mereka…anu…mereka…”
“Jessi!” Seruan seorang pria dari arah belakang Jessica menghentikan ucapan gadis berambut pendek. “Lepasin cewek itu, Jess… jangan bikin keonaran di kampus. Lo bisa kena masalah kalau begitu,” tegur pria itu.
“Nggak, Lex. Gue pengen dengar apa yang mereka katakan tadi,” tolak Jessica.
“Iya, tapi nggak kayak gini caranya.” Akhirnya Alex menarik paksa Jessica untuk menjauhi ketiga gadis yang diinterogasinya.
“Lex, apa yang orang-orang katakan itu benar?” Jessica menghentikan langkahnya setelah terlebih dulu ia menepis tangan Alex yang menyeretnya. Alex pun membalikan badan memandang Jessica. Gadis itu terlihat rapuh saat ini. “Lex, jawab gue!” ulang Jessica.
Alex menunduk lemah. Ia tak tahu harus menjawab apa. Kenyataan yang terjadi akan sangat menyakiti Jessica. “Lex, please jawab gue!”
“Jess… itu… gue nggak tahu,” dusta Alex.
“Lo bohong! Jujur sama gue, Lex. Lo teman gue kan?”
Alex terdiam memalingkan muka. “Oke, gue ngerti sekarang. Semua itu benar kan? Dari cara lo nggak menjawab pertanyaan gue, itu sudah ngejawab semuanya.”
Jessica menarik kesimpulan sendiri. Matanya dibanjiri dengan lapisan bening yang kini jatuh mengenai pipinya. Gadis cantik itu membalikkan badan meninggalkan Alex. Hatinya terluka saat ini. Sedangkan, Alex tak berdaya, tak mampu berbuat apa-apa.
***