Mata pemuda itu
terpejam. Senyum yang biasa ia sunggingkan tak terlihat. Tubuh tegapnya kini
terbujur kaku di atas pembaringan rumah sakit. Selang infuse melekat pada salah
satu pergelangan tangannya. Bunyi mesin pendeteksi detak jantung menggema
mengisi keheningan ruang rawatnya. Di salah satu sudut ruang itu seorang wanita
paruh baya menahan tangis. Di sisinya sang suami dengan setia menenangkan. “Tidak
akan terjadi apa-apa.” Itulah yang selalu sang suami ucapkan. Nyaris tak ada
getar kesedihan dalam suaranya. Namun jauh di dalam lubuk hatinya, ia
ketakutan. Ia merasa tidak yakin. Benarkah anaknya akan baik-baik saja.
Vonis dari
dokter yang memeriksa anaknya sudah ia dengar tadi. Ia terpukul hebat.
“Kanker pankreas stadium akhir.”
Bagaimana
mungkin anaknya bisa menderita penyakit mematikan itu? Ia nyari tidak percaya
terhadap pendengarannya sendiri. Mustahil! Selama ini Daffin selalu terlihat
sehat dan baik-baik saja! Ia tidak mau mempercayainya. Itu tidak mungkin!
Oscar menatap
nanar Daffin yang terbaring tak sadarkan diri. Istrinya – Viona – perlahan
mendekati anaknya. Wanita itu masih berlinang air mata. “Kenapa ini harus terjadi
padamu?” Viona menggenggam erat sebelah tangan Daffin. Viona pun sama seperti
Oscar. Dia tidak bisa menerima kenyataan tentang penyakit anaknya. Daffin
adalah satu-satunya anak mereka. Dulu Viona memang sempat hampir mendapatkan
anak kembali. Tapi, tiga bukan setelahnya, Viona keguguran. Dan setelah
diperikasa terdapat peradangan dalam rahimnya yang membuat Viona tidak dapat
hamil kembali. Viona tidak mau kehilangan anak yang paling ia sayangi.
Gerakan kecil
menyentak Viona yang tengah menangis. Jemari Daffin yang ia genggam bergerak.
Viona sedikit lega. “Daffin…” lirihnya. Barang kali sebentar lagi anaknya akan
bangun. Dan benar saja, Daffin perlahan membuka matanya. Dengan mata sayunya,
ia memandangi wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Sayangnya, saat
ini wanita itu menangis.
“Mama…” ucap
Daffin lemah.
Buru-buru Viona
bangkit berdiri. “Ada apa, Sayang? Mama di sini,” balas Viona.
Daffin tersenyum
kecil. “Kenapa Mama menangis?”
Viona
cepat-cepat mengusap air matanya. “Mama nggak nangis kok,” hiburnya. Senyum
yang biasa ia lukis mulai terlihat kembali.
“Daffin buat
Mama sedih ya? Maaf ya, Ma…” lirih Daffin.
Tangis Viona
hampir saja kembali pecah saat mendengar ucapan anaknya itu. Untungya, Oscar
mendadak berdiri di sampingnya. Melingkarkan lengannya erat pada pinggang
Viona.
“Hey, jagoan!
Molor mulu!” tegur Oscar berusaha senormal mungkin.
“Hmm… Papa mau
ikutan nangis juga?” sindir Daffin.
“Enak saja! Mana
mungkin Papa menangis?” balas Oscar tidak terima.
Daffin tersenyum
lebar. Ia cukup terhibur melihat papanya tampak tegar. “Aku rasa Papa tadi
nangis. Iya kan, Ma?” Daffin masih tidak mau kalah dan meminta dukungan dari
mamanya.
Viola tersenyum
pahit lalu mengangguk. “See… aku
benarkan?” ujar Daffin.
“Kenapa kamu
nggak pernah terus terang pada mama dan papa?” Oscar menjadi serius. Senyum di
wajah Daffin lenyap seketika. Dia tahu apa yang dimaksud papanya. Pasti ini
tentang penyakitnya.
“Aku Cuma nggak
mau ngebebani papa dan mama aja. Aku nggak mau kalian sedih,” terang Daffin.
“Justru yang seperti
inilah yang membuat kami sedih… karena kamu nggak mau jujur dari awal!” Tak ada
keramahan sedikit pun di wajah Oscar saat ini. Rahangnya mengeras. Tangannya
terkepal menahan emosi yang siap meledak. Viona mengulurkan tangan dan
menggenggam tangan Oscar. Menenangkan kegusaran suaminya.
“Maaf,” ucap
Daffin penuh penyesalan.
Terdengar
desahan napas panjang Oscar menyahut. “Sudahlah, lebih baik kita biarkan Daffin
beristirahat. Kamu sepertinya juga perlu istirahat, Sayang,” ucapnya pada sang
istri. Viona memandangi anaknya sendu. Ia tidak mau sedikit pun
meninggalkannya.
Daffin dapat
membaca jelas kekhawatiran mamanya. “Papa benar, Mom. Lebih baik Mama pulang
dan beristirahat. Aku akan baik-baik saja.” Senyum tulus Daffin sunggingkan
untuk mamanya.
Viona masih
enggan pergi. Tapi, ia tidak bisa menolak gerak suaminya yang membimbingnya
menjauh dari sisi Daffin. Dengan langkah gontai sepasang suami-istri itu keluar
dari ruang rawat VIP yang mengurung Daffin.
Setelah ini bisa
dipastikan semua orang akan tahu apa yang menimpanya. Daffin belum menyiapkan
diri untuk itu semua. Untuk tatapan iba teman-temannya. Yang lebih pahit adalah
jika Jessica mengetahuinya. Pasti gadis itu akan sangat terluka. Daffin tahu ia
sudah berbuat salah dengan melukainya. Namun, bila mengetahui keadaannya
Jessica akan lebih hancur. Gadis yang sangat dicintainya itu akan melihatnya
mati perlahan. Hhhh. Daffin tersenyum pahit membayangkan itu terjadi.
Krek. Bunyi
derit pintu terbuka menarik kesadaran Daffin dari lamunannya. Sesosok gadis
berambut sebahu muncul. Wajah gadis itu tidak secerah biasanya. Pasti Daffin
yang membuat senyum di wajah cantik gadis itu sirnah. Daffin mencoba untuk
terlihat sangat sehat. Dia tersenyum untuk sahabat setianya, Hana.
“Akhirnya lo
datang,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya yang bebas dari selang infuse.
Hana mendekat balas menggenggam tangan Daffin.
“Gue baru tahu
pagi ini,” sahut Hana. “Bagaimana keadaan lo?” Pertanyaan klise yang pasti akan
ditanyakan oleh semua orang yang menjenguknya. Daffin sudah menyiapkan jawaban
yang tepat.
“Gue sangat
baik. Nggak usah cemas, oke?”
Hana mengangguk.
“Gue tahu, lo pasti akan baik-baik saja.” Hana menyimpan rasa sedihnya dalam
hati. Dia tidak mau membuat Daffin merasa sedih atau bersalah. “Semua orang nyari
lo,” lanjut Hana.
Daffin memandang
lekat manik mata Hana. Membaca apa yang terselip dalam pacaran mata gadis itu. Apa dia sangat sedih? Apa aku sudah
melukainya juga? Sayangnya, tak ada apapun dari manik mata itu kecuali
warna hitam pekat dan pantulan bayangan dirinya yang terlihat pucat. “Benarkah?
Lalu apa yang lo bilang pada semuanya?”
Hana mengangkat
kedua bahunya. “Nggak ada. Gue memilih untuk nggak berdekatan dengan mereka. Lo
tahukan gue nggak bisa berbohong terus-terusan.”
“Hmmm… keputusan
yang tepat. Tapi, gue rasa sebentar lagi mereka bakal tahu. Penyakit gue ini udah
nggak bisa disembunyikan lagi. Apalagi sebentar lagi pasti pemakaman gue akan
digelar. Mereka bakal sangat terkejut.” Daffin terkekeh menertawakan nasib yang
akan menantinya tak lama lagi.
“Jangan berkata
seperti itu. Gue nggak suka lo bicara seperti itu,” protes Hana. Ia meremas
jemari Daffin. Memperlihatkan bahwa dirinya sedang cemas saat ini.
“Kenapa? Itu
kenyataan kan? Aku memang akan…”
“Cukup, Daff.
Jangan diteruskan,” potong Hana cepat.
“Bukankah gue
sudah meminta lo untuk menyiapkan diri menerima ini semua jika yang terburuk
terjadi?”
“Iya… tapi
please jangan membahasnya sekarang. Gue belum siap.”
Daffin menyerah.
“Oke.”
@-@
“Lo lihat Daffin
nggak?” Alex akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sejak beberapa hari ini
bercokol dalam benaknya. Dia merasa sedikit aneh dengan ketidakmunculan
sahabatnya, Daffin. Beberapa mata kuliah dilewatkannya begitu saja tanpa kabar
yang pasti.
Leon yang
ditanya hanya mengangkat bahu. “Lo udah ngehubungin dia?”
“Udah, tapi
HP-nya mati.”
“Ngedatengin
rumahnya gimana?” cetus Leon.
“Kenapa gue
nggak kepikiran dari kemarin ya?” Alex seperti baru saja mendapat pencerahan. “Udah,
yuk!” Alex menarik lengan Leon untuk mengikutinya.
“Eh, kita mau
kemana?” tanya Leon bingung saat sudah berada dalam Volvo hitam milik Alex.
“Ke rumahnya
lah! Kan lo yang ngusulin tadi,” jawab Alex tanpa mengalihkan pandangannya dari
jalan di depannya. Sementara tangannya sibuk memutar kemudi.
Leon nyengir
lebar. “Oh, iya…ya.” Terkadang cowok berambut spike satu ini memang kelewat
lemot.
@-@
Ting Tong…
Sudah tiga kali
Alex menekan bel pintu rumah bercat serba putih itu, tapi tak kunjung
mendapatkan balasan. Dia mulai tidak sabar menghentakkan kakinya kesal. “Kemana
sih semua orang?”
“Pada pergi
kali,” sahut Leon yang berdiri di samping Alex.
Alex hendak
membuka mulut menanggapi Leon. Namun, urung ia lakukan ketika pintu di depannya
terbuka. Seorang wanita tua menyambutnya. Bi Mirna, pembantu Daffin yang masih
setia bekerja pada tuannya.
“eh, Den Alex
sama Den Leon,” seru wanita tua itu berbinar.
“Kok lama sih,
Bi? Daffin ada nggak?” buru Alex yang sudah tidak sabar.
Bi Mirna
memamerkan giginya yang sudah tidak lengkap karena termakan usia itu. “Hehe,
maaf Den. Bibi di belakang tadi lagi nonton ftv, jadi nggak denger,” terangnya.
“Daffin dimana,
Bi?” Leon mengulang pertanyaan Alex yang belum sempat dijawab Bi Mirna.
“Lho emang Aden
pada belum tahu?” sahut Bi Mirna.
Alex dan Leon
saling pandang tidak mengerti. “Emang kenapa, Bi?” tanya Alex dengan kening
berkerut.
“Den Daffin kan
di rumah sakit. Sudah hampir seminggu ini lho,” jawab Bi Mirna.
“Sakit apa? Kok
kita nggak diberi tahu?” Kali ini Leon yang bertanya dengan nada memprotes.
“Aduh, Bibi
kurang tahu Den. Nyonya sama tuan nggak bilang. Tapi kayaknya serius banget
sakitnya, Den. Nyonya kelihatan sedih banget tiap kali habis pulang dari rumah
sakit. Nangis terus. Tuan juga jadi lebih banyak murung.”
Alex dan Leon
jadi bertanya-tanya bercampur cemas. Sakit apa yang diderita sahabat mereka
sampai bisa membuat kedua orang tuanya bersedih?
“Bibi tahu rumah
sakitnya dimana?” Alex mencari tahu lebih lanjut.
“Tahu, Den. Rumah
sakit Imperial, tapi ruangannya apa Bibi nggak tahu.”
Alex mengangguk.
Tidak masalah, yang penting tempatnya tahu, pikirnya. “Ya, udah. Kita cabut
dulu, Bi,” pamitnya.
Bi Mirna
mengangguk. “Hati-hati, Den.” Wanita tua itu kembali menutup pintu rumah
majikannya setelah bayangan kedua tamunya menghilang.
@-@
Alex dan Leon
setengah berlari menyusuri koridor rumah sakit. Mereka berdua sudah tidak sabar
melihat dan mengetahui apa yang menimpa sahabatnya, Daffin.
Di kamar 20A
mereka berhenti bersamaan. Alex memutar handel pintunya. Ia yang pertama masuk.
Matanya membelalak mendapati tubuh Daffin terbaring di atas kasur putih dengan
alat-alat medis menempel pada tubuhnya. Begitu pula dengan ekspresi yang
ditunjukkan Leon ketika melihat Daffin.
Mereka sulit
mempercayai penglihatannya. Daffin terlihat berubah. Tubuhnya kurus. Wajahnya
pucat seperti mayat. Rambutnya yang biasa rapi jadi acak-acakan. Seperti bukan
Daffin sang cowok polpuler di kampus.
“Kita salah
ruangan?” seru Leon.
Alex menggeleng
pelan. “Dia Daffin, teman kita,” ucapnya tanpa keraguan sedikit pun.
Dahi Leon makin
berkerut. “Tapi… orang ini lebih mirip mayat daripada Daffin.” Keduanya lalu
terdiam memandangi Daffin begitu lekat. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Mau sampai
kapan sih kalian mandangin gue kayak begitu? Naksir ya?”
Alex dan Leon
terkesima mendengar komentar yang mendadak muncul. Mata Daffin yang terpejam
sudah membuka. Ucapannya sedikit kabur karena masker oksigen yang membantu
pernapasannya. Meski begitu Alex dan Leon dapat menangkap jelas apa yang
diucapkan Daffin.
“Lo pura-pura
tidur?” sungut Alex.
“Lo pikir gue
bisa tidur nyenyak kalau di dekat gue ada orang yang ngatain gue mayat?
Jelas-jelas gue masih hidup,” balas Daffin.
Alex dan Leon
terkekeh. “Dia masih sehat kayaknya, Lex,” sahut Leon.
Alex mengangguk
setuju.
“Ngapain sih
kalian kemari?” tanya Daffin.
“Wah, kayaknya
kehadiran kita nggak diinginkan, Lex,” dengus Leon. “Padahal kita tadi hampir
mati konyol gara-gara cemasin dia.”
“Tauk tuh! Makhluk
nggak tahu terima kasih.” Alex menambahi tak kalah sengit.
Daffin mengulum
senyum. Tidak sedikit pun merasa kesal dengan cibiran pedas teman-temannya. “So,
dari mana kalian tahu gue di sini?”
“Tadi kita ke
rumah lo. Si Alex tuh kangen berat sama lo…Aw!” Belum selesai perkataan Leon,
Alex sudah mendaratkan jitakan kerasa ke atas kepalanya. Leon meringis
kesakitan sambil mengelus bekas jitakan Alex.
“Bi Mirna yang
bilang. Emang lo sakit apa?” tanya Alex.
Daffin
mengalihkan pandangannya kearah lain. Salah satu cara dia agar kedua temannya
tidak dapat membaca beban pikiran yang ia sembunyikan. “Cuma tipes dikit,”
dustanya. Alex mengernyit. Tidak mungkin tipes sampai seperti ini, pikirnya.
“Jangan berusaha
bohongin kita deh,” ujar Alex.
Daffin tersenyum
kecut. “Lo-lo pada udah puas kan lihat gue? Gue mau tidur lagi!” Daffin
berusaha mengalihkan perhatian.
“Well, kalau lo
nggak mau cerita nggak masalah. Kita bisa cari tahu ke tempat lain.” Alex tidak
terlalu memperdebatkan keinginan Daffin untuk tidak berkata jujur. Lebih baik
mencari tahu ke tempat lain. Dia bisa bertanya pada orang tua Daffin atau
dokter. Alex membalikkan badan dan melangkah menuju pintu. Tapi saat akan
mencapai pintu, ucapan Daffin menghentikan langkahnya.
“Gue harap lo
nggak ngasih tahu ini ke Jessica. Gue nggak mau dia tahu.”
Alex menoleh.
Begitu juga Leon yang mengekorinya. “Kenapa?” tanya Alex.
“Dia bakal
sangat terpukul kalau tahu. Please, gue mohon jangan kasih tahu dia,” pinta
Daffin.
Alex mengangguk
meski tidak tahu apakah Daffin dapat melihat anggukan kepalanya itu. “Gue
usahain,” tuturnya. Ia dan Leon pun keluar dari kamar rawat Daffin.
Meninggalkan sahabatnya yang tengah terbaring sakit.
@-@
Hana menatap
makan malamnya tanpa berminat untuk menyentuhnya. Malas dan tidak berselera.
Bukan karena makanan apa yang disajikan, melainkan karena perasaannya sedang
kacau saat ini. Bagaimana mungkin dia bisa dengan tenangnya makan sementara
orang yang sangat ia sayangi sedang terbaring di rumah sakit, menyambut maut
yang sebentar lagi akan datang. Memikirkan keadaan Daffin membuat Hana sulit
menarik ujung bibirnya ke atas. Candaan teman-teman kuliahnya yang dilontarkan
sewaktu kuliah pun tidak ia gubris. Hana lebih sering melamun di kelas selama
beberapa hari ini.
“Lo lagi sakit?”
tegur Lesnar pada adiknya. Dia merasa sikap adiknya aneh akhir-akhir ini. Sering
melamun, tidak bersemangat, lesu, dan mungkin Hana menangis diam-diam. Tebakan
Lesnar itu tidak mungkin salah. Dia dapat melihat jelas buktinya dari kelopak
bawah mata Hana yang membengkak dan tampak hitam mungkin karena tidak tidur. Itu
mencirikan bahwa adiknya sedang frustasi oleh sebuah masalah. “Kita ke dokter
sekarang,” tutur Lesnar karena sejak tadi pertanyaannya tidak dijawab.
Hana menggeleng
cepat. “Gue baik-baik aja kok. Gue sehat!”
“Tapi gue lihat
lo lagi nggak baik,” balas Lesnar.
“Lo salah lihat
kali.”
“Nggak! Gue
nggak salah!” Lesnar masih kekeh dengan argumennya. “Apa lo lagi ada masalah?”
tambahnya.
Hana menggeleng
lagi. “Nggak ada,” jawabnya singkat.
“Apa Daffin
nyakitin lo kayak yang dia lakuin sama Jessi?” tebak Lesnar.
“Daffin baik
sama gue,” bela Hana.
“Lo nutupin
sesuatu dari gue.” Lesnar dapat membacanya dari pancaran mata Hana. Ucapannya
tidak salah. Adiknya sedang dilanda masalah yang cukup berat.
Daripada harus
bergulat dengan perbincangan yang terus menariknya untuk jujur, Hana memilih
untuk menyingkir. Yah, segera menyingkir sejauh mungkin. “Gue ngantuk. Selamat malam, Kak!” tandasnya
seraya bangkit meninggalkan Lesnar.
Gue harus cari tahu!
Batin Lesnar sambil memandangi punggung Hana yang mulai menjauh dari
pandangannya.