Sabtu, 01 Juni 2013

LOVE YOUNGER *PART 3


Tidak ada setelan jas yang dikenakannya. Tidak seperti biasanya, ia hanya memakai pakaian kasual, T-shirt Polo berkerah warna putih dan celana tga per empat warna hitam. Padahal ini bukan hari libur. Penampilannya kali ini membuatnya lebih muda beberapa tahun. Seolah dia menjelma kembali menjadi mahasiswa tingkat dua.

Setelah menyekakan jel rambut ke sela rambut hitamnya, Dhimas keluar dari kamarnya. Hari ini ia akan bolos bekerja. Semua jadwal meeting dan pertemuannya sudah dicancel. Sedangkan, semua pekerjaan yang membutuhkan penanganan cepat sudah ia alihkan untuk dikerjakan oleh Alan, wakil direktur sekaligus sahabatnya. Meski ia tidak merasa cukup yakin meninggalkan pekerjaan di hari kerja seperti ini, tapi dia tidak punya pilihan. Waktunya untuk menyenangkan gadis itu hanya tinggal beberapa hari. Mungkin tidak kurang dari seminggu. Hari ini ia akan meluangkan waktu sehariannya untuk gadis itu. Sebagai permintaan maaf atas perlakuan kasarnya beberapa hari lalu, niatan Dhimas.

Tok tok tok. Dhimas mengetukkan tangan kanannya yang terkepal pada pintu di depannya. Ia yakin gadis itu belum pergi ke meja makan.

Hanya membutuhkan waktu satu menit dan pintu terbuka. Seorang gadis mengenakan dress berenda warna putih berlengan pendek mengernyit keherananan menatap Dhimas. Dia tidak mengira Dhimas akan berdiri di depan pintu kamarnya sepagi ini. Dan lihat, pakaian yang dikenakannya sangat berbeda dari yang biasa gadis itu lihat. Alih-alih terpesona, dia menanyakan keperluan Dhimas. “Ada apa, Om?”

“Apa acaramu hari ini?”

“Aku akan berjalan-jalan dengan teman baruku.” Tanpa keraguan Nela menjawab.

Kecerahan raut wajah Dhimas berubah muram. “Kau punya teman?”

“Ya, kemarin aku berkenalan dengan mahasiswa sini yang kebetulan orang Indonesia juga,” terang Nela.

Selama ini Dhimas bersikap tidak peduli, tidak tahu apa yang dilakukan gadis itu. “Oh, begitu,” gumamnya kecewa. “Ya, sudah… selamat bersenang-senang.”

Nela dibuat melongo tidak mengerti. Pria itu datang tiba-tiba dan pergi dengan cepat tanpa sempat mrengutarakan keperluannya. Hari ini Om Dhimas bersikap aneh. Nela tidak bisa memungkiri itu. Dhimas memang terlihat aneh hai ini.
#*#

Singapore Flyer, Esplanade, Singapore Zoo, Singapore Science Center, dan Chinese Garden menjadi tempat yang dikunjungi Nela dan Armand selama seharian mereka bersama. Nela cukup menikmatinya. Ini seperti sebuah tur keliling Singapura dengan seorang guide manis. Mereka banyak bertukar cerita. Nela seolah mendapatkan teman curhat baru. Semua beban pikirannya sirna seketika. Ya, Nela memang tidak segan-segan menumpahkan segala isi pikiran dan perasaaannya kepada Armand. Termask mengenai Dhimas.

“Jadi menrut Kakak, apa yang paling dinginkan pria seusia Om Dhimas itu?” Nela mulai mengeluarkan pertanyaan yang sudah ia simpan selama seminggu lebih ini.

Armand memegang dagunya dengan sebelah tangan. Tampak sedang berpikir. “Komitmen yang lebih serius mungkin.” Dia hanya bisa memberikan dugaannya. Umurnya baru memasuki dua puluhan, tingkat dewasa awal. Armand belum bisa berpikiran sejauh yang dipikirkan orang-orang setipe Dhimas. Pria dalam cerita Nela itu termasuk pria dalam kategori ‘wow’. Muda, tampan, keren, sukses, kaya, pekerja keras, dan workaholic. Berbanding terbalik dengan apa yang Armand miliki.

“Sejauh yang akuketahui dari media, Dhimas yang kau ceritakan itu memang tidak pernah berhubungan atau terlibat dengan wanita. Yang selalu diberitakan hanya tentang kesuksesannya. Mungkin Dhimas seorang yang pemilih. Dia tipe yang tidak mau seara sembrono memilih pasangan.” Armand kembali berargumen. Nela mendengarkan dengan baik.

“Jadi, apa yang perlu aku lakukan agar lebih dekat dengannya?”

Armand tersenyum tipis. “Pria seperti Dhimas butuh pribadi wanita yang kuat dan matanng di sisinya. Yang bisa mentoleransi kesibukannya, pekerjaannya, dan juga segala hal dalam lingkungannya. Kriteria yang dia cari bukan wanita yang mudah untuk dipacari tapi lebih pada wanita yang bisa dia nikahi. Apa kamu yakin untuk tetap maju mendekatinya? Kau serius dengan perasaanmu itu?”

Nela mengangguk mengiyakan. “Seribu persen sangat serius!” ucapnya penuh keyakinan.

Armand terlihat sedikit kecewa mendengarnya. “Oh, come on Nela… usiamu baru tujuh belas dan kamu mengatakan serius menyukai seseorang yang sudah matang? Masa mudamu masih panjang, Cantik,” desisinya.

“Ya, mungkin kamu menganggapku bodoh dengan melakukan ini, tapi aku bersungguh-sungguh. Sejak pertama kali aku melihatnya, mataku satu kali pun tidak bisa berpaling. Ini adalah cinta pertamaku dan aku bersungguh-sungguh. Mungkin akan menjadi yang terakhir juga.” Nela terlihat menggebu.

Armand mendesah frustasi. “Baiklah. Terserah kamu. Semoga kamu beruntung.”

Menit-menit berikutnya mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Memandang pada langit luas dan hamparan kebiruan lautan. Tak ada yang berbicara lagi.
#*#

Pada pukul enam petang, Armand mengantar Nela ke kediaman Bimantara. Dia memilih untuk tidak masuk. Sedan silver pinjamannya hanya berhenti di depan pagar rumah mediterania itu dan menurunkan salah satu penumpangnya.

“Terima kasih untuk jalan-jalan hari ini. Aku sangat senang,” ucap Nela, berdiri di depan pagar dengan tatapan penuh pengawasan dari sekuriti keluarga Bimantara.

Armand sedikit melengkungkan bibirnya ke atas. Tak membalas dengan kata-kata. Hanya senyuman kecil. Nela pun berbalik bersiap melangkah masuk.

“Tunggu!” Armand tiba-tiba menahannya. Nela menoleh, kernyitan kecil menggantung di dahinya. “Bisakah besok kita bertemu lagi. Aku ingin mengajakmu menikmati keindahan Singapura ketika malam. Sebagai perayaan perpisahan kita,” pintanya sangat.

Nela tak bisa menolak. Ia mengangguk pelan dan Armand bersorak senang. “Pukul tujuh malam aku akan menjemputmu,” ucapnya. Langkah kaki Armand bergitu ringan masuk kembali ke dalam mobilnya. Nela memandangi kepergian sedan silver dan pengemudinya lalu ia kembali melangkahkan kaki memasuki pagar besi di hadapannya.
#*#

Sepasang mata menatap sengit dari balik jendela ruang tamu. Pemandangan di balik pagar rumahnya memanaskan hatinya. Panas? Pria itu tersadar oleh respon tak wajar yang terjadi pada dirinya. Pikirannya berubah seketika. Dia tidak mau terlalu mempermasalahkan pemandangan baru itu. Memangnya siapa dia? Posisinya tidak akan cukup untuk marah.

Meski begitu sepasang matanya masih belum berpindah dari mengamati seorang gadis remaja yang berjalan riang memasuki rumah. Senandung ringan dari sebuah lagu – yang entah tak diketahui oleh si pria judulnya apa – mengiringi langkah gadis itu.

Mungkin gadis itu terlalu senang atau mungkin sosok pria itu yang terlalu tersembunyi di dekat jendela sampai-sampai gadis itu tidak menyadari keberadaan sepasang mata yang menatap tajam. Hingga akhirnya satu teguran nyaring menghentikan langkah sang gadis. “Harimu menyenangkan?” Bukan sebuah pernyataan yang keluar, tapi pertanyaan ringan dan serius.

Nela menoleh mencari sumber suara. Di dekat jendela kaca besar yang tertutupi kain putih transparan seorang pria melipat kedua tangan di dada dengan mata tajam menatapnya. “O..Om Dhimas?” Nela terkejut mendapati sosok itu.

“Sepertinya kamu menikmati harimu?” ujar Dhimas ketus, menggeser kakinya ke dekat sofa lalu menghempas duduk.

Nela tidak menangkap keanehan apapun dalam nada dingin Dhimas. Memang seperti itu kan Dhimas selama ini bersikap terhadapnya. “Tentu saja. Aku mengunjungi banyak tempat,” jawab Nela, tersenyum bahagia.

“Senang mendengarnya.”

“Om tidak ke kantor?” Dari pakaian Dhimas yang masih sama seperti pagi tadi, Nela memastikan tebakannya benar.

Dhimas berdecak kesal. Bagaimana mungkin dia ke kantor sementara dia mengambil cuti hari ini. Alan pasti akan menertawakan kebodohannya. “Aku libur hari ini.”

Nela membulatkan mulutnya sambil berseru “Oh” panjang. Sedikit rasa kecewa menjalar perlahan. Kenapa di saat libur Dhimas tidak memilih menghabiskan waktu bersamanya? Nela ingin menyuarakan kekecewaannya itu, tapi dia terlalu takut menyinggung Dhimas. Nela sudah berjanji akan bersikap baik selama hari-hari terakhir liburannya. Ia tidak mau merusak semua itu. “Apa yang Om lakukan hari ini?” tanyanya garing.

“Di rumah, bersantai dengan pekerjaan kecil,” jawab Dhimas cuek, menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa sambil memejamkan mata selama beberapa detik. Dia butuh sesuatu yang dingin untuk membuat nada ucapannya terdengar normal.

Nela mengamati Dhimas, menunggu tapi tak ada pembicaraan lagi. Hingga ia menarik kesimpulan pembicaraan sudah selesai dan ia bisa menyinggir segera. Nela manaiki anak tangga menuju kamarnya.

Saat membuka mata Dhimas mendapati kekecewaan (lagi), untuk kesekian kalinya di hari yang sama.
*#*#

Tok tok tok!

Ketukan keras menarik kesadaran Nela dari istirahat singkatnya. Memaksakan diri gadis itu menghampiri pintu. Rambutnya dibiarkan kusut tidak ia sisir. Ceklek.

“Tuan menyuruh saya memberikan ini pada Anda, Nona.” Seorang pelayan wanita, tiga puluhan membawa gantungan tertutup plastik hitam di tangan kanannya. Nela menggeser tubuhnya, memberi sela pada pelayan itu agar bisa masuk. Setelah meletakkan bedan yang dibawanya di atas tempat tidur Nela, pelayan wanita itu keluar.

Nela berdiri di depan benda yang baru saja diterimanya. Sebuah baju, bisa ia duga seperti itu dari bentuk dan kemasannya. Tak sabar, Nela menarik resleting plastik itu. Warna biru laut kesukaannya terlihat sedikit. Saat Nela menyibak keseluruhan plastik dari gantungannya barulah Nela tahu benda biru laut itu adalah sebuah gaun model cocktail tanpa lengan. Nela mengangkat gantungan gaun itu. Secarik kertas melayang jatuh ke lantai. Gadis itu memungutnya lalu membaca.

Bersiaplah dalam 30 menit. Kita makan malam di luar!

Pesan singkat mengejutkan sekaligus menggembirakan. Nela tidak bisa menutupi kegembiraannya. Ia melompat-lompat kegirangan. Makan malam bersama Dhimas hanya ada dalam catatan rencananya yang tidak pernah ia duga akan terwujud. Bagaikan mimpi.

Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit Nela telah siap dengan gaun cocktail biru lautnya. Ia melangkah elegan menuruni tangga. Binar kegembiraan di matanya semakin cerah saat ia melihat Dhimas dengan setelan tuxedo hitam. Begitu pas melekat di tubuh dan membuat pria itu semakin terlihat ‘wow’.

“Astaga… demi keindahan di dunia ini… Om tampan sekali,” pekik Nela gembira. Dhimas malah membuang muka.

“Ayo, kita sudah hampir terlambat!” Pria bertuxedo hitam itu mendahului Nela, berjalan di depan. “Tunggu!”

Bruk!

Baru lima langkah berjalan Dhimas berhenti mendadak. Alhasil Nela menabrak punggung Dhimas. Gadis itu meringis mengelus dahinya.

“Lepaskan sepatumu itu!”

Nela terkejut, Dhimas berjongkok di depannya. Tapi ia menurut, melepas sepatu flat putih yang dikenakannya. Dhimas mengganti sepatu flat Nela dengan highhells lima senti berwarna senada sesuai gaun yang dikenakan Nela. Bahkan Dhimas memasangkan sukarela, melilitkan tali spaghetti di pergelangan kaki Nela. Ini benar-benar terlihat seperti mimpi. Batin Nela meletup-letup saking girangnya.

“Kamu nggak punya masalah dengan highheels kan?” tana Dhimas seraya menegakkann tubuhnya, berdiri begitu dekat dengan Nela. Gadis itu bisa mencium aroma maskulin yang merebak sampai ke hidungnya.

“Iy-iya,” jawab Nela terbata. Lima senti tidak terlalu tinggi. Nela rasa masih bisa mengatasinya. Detik berikutnya Dhimas sudah berjalan di depannya lagi.
***

Samir membawa Mercedes hitam yang dikendarainya melintasi jalanan Singapura. Ketenangan selalu terlihat dalam raut wajahnya. Sementara itu dua orang manusia yang duduk di jok belakang tampak hening. Tidak sepenuhnya hening sebenarnya. Nela sesekali berceloteh riang yang ditanggapi Dhimas dengan gumaman singkat.

Lima menit kemudian Mercedes Bens itu berhenti tepat di depan Ritz Calton hotel. Seorang pria berseragam menghampiri mobil dan membuka pintu bagian belakang. Dhimas turun diikuti Nela.

“Kita akan makan malam di sini?” tanya Nela. Sejak tadi pertanyaan itu tidak pernah dijawab Dhimas.

Bukan menjawab, Dhimas malah menyodorkan lengannya pada Nela. Sontak Nela melingkarkan lengannya di lengan kiri Dhimas. Mereka melangkah bersamaan masuk ke dalam hotel.

Nela pikir dia dan Dhimas akan makan di dalam restoran hotel Ritz. Dugaannya salah. Mereka malah masuk ke dalam ballroom yang dipenuhi kaum sosialita. Nela terkejut. Bibirnya jadi kelu untuk bertanya.

“Aku akan menjelaskan setelah kita duduk,” bisik Dhimas yang membaca mimik muka Nela.

Dhimas membimbing Nela ke sebuah meja bundar di tengah ruangan. Langkah mereka sempat tertunda oleh sapaan beberapa orang yang mereka lewati. Sudah tentu orang-orang itu menyapa Dhimas, bukan Nela.

“Ini acara pengumpulan dana untuk mendanai anak-anak putus sekolah di Indonesia yang diadakan KBRI dan beberapa pengusaha keturunan Indonesia. Aku baru mendapatkan pemberitahuannya satu jam lalu dari Alan. Mama sedang mengunjungi Kiran, jadi aku terpaksa mengajakmu.” Dhimas menepati janji, memberi penjelasan setelah mereka duduk.

Sayangnya selain membuat Nela semakin mengerti, penjelasan Dhimas itu juga membuatnya kecewa. Jadi mengajaknya karena keterpaksaan? Binar keceriaan di mata Nela meredum seketika. Hanya keterpaksaan, ulangnya dalam hati.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Dhimas, melihat Nela lesu.

Gadis itu mengangguk seraya menyunggingkan senyum paksa.

“Jika kamu tidak nyaman berada di sini, katakan saja. Kita akan segera menyingkir dari tempat ini,” bisik Dhimas.

Nela menggeleng. Bukan acaranya yang membuatnya murung, tapi apa yang sudah dikatakan Dhimas. “Aku baik-baik saja dan bisa menyesuaikan diri.”

Dhimas mengangguk paham dan mengalihkan pandangan pada podium di depan. Acaranya sudah dimulai.

Satu jam berjalan lambat. Acara inti sudah terlewati, berganti dengan acara hiburan. Salah satu band pengisi acara menyenandungkan lagu andalannya di depan panggung. Beberapa orang meninggalkan tempat duduknya untuk menghampiri rekan atau kolegan bisnis yang mereka kenal. Begitu pula dengan Dhimas. Sedangkan, Nela tidak tertarik untuk membaur. Dia hanya akan menjadi patung jika berdiri di samping Dhimas.

“Kamu datang besama siapa?” Seorang pria tiba-tiba duduk di samping Nela. Gadis itu mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk lesu. Seorang pria memakai setelah jas putih. Wajahnya ramah menyunggingkan senyum.

Pandangan Nela pun beralih pada Dhimas yang berdiri tidak jauh darinya. Memberi jawaban lewat kode.

“Dhimas Bimantara?” Pria itu menebak. Nela mengangguk. “Aku tidak pernah melihatmu?” tambah pria itu.

Nela menarik senyum kecil. “Aku hanya berlibur di sini.”

“Jadi… kekasih Dhimas Bimantara tidak tinggal di sini? Pantas saja dia tidak pernah terlihat dengan seorang wanita kecuali dengan ibunya.”

Nela tersenyum geli. Baru kali ini dia dianggap sebagai kekasih Dhimas. Biasanya saat mereka jalan bersama, Nela hanya akan dianggap sebagai adik.

“Berapa lama kalian pacaran?” selidik pria itu.

“Kami baru mengenal enam bulan yang lalu,” jawab Nela jujur. Pria itu mengernyit keheranan.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Thomas?”

Pria yang bernama Thomas sontak menoleh. Dhimas sedang berdiri menatap tajam. “Hehe… hanya sekedar menyapa pacarmu. Kamu pecemburu sekali!” balas Thomas.

Dhimas memutar kepalanya, memandang Nela. Sepasang matanya berbicara mempertanyakan keadaan Nela. Gadis itu menyahut dengan senyuman dan anggukan kepala. “Jangan coba-coba mengganggunya,” desisi Dhimas pada Thomas.

“Kamu pelit sekali. Sejak dulu tidak pernah mau menceritakan masalah pribadimu.” Thomas mencibir.

“Untuk konsumsi public? Jelas tidak akan pernah!” ujar Dhimas ketus. “Kita pulang,” lanjutnya berkata pada Nela seraya mengulurkan tangan kanannya. Gadis itu balas menaruh tangannya di atas tangan kanan Dhimas. Tanpa aba-aba Nela ditarik mengikuti langkah lebar Dhimas, pergi menjauhi Thomas.

“Harusnya kamu menjauhi pria itu,” tutur Dhimas setelah keluar dari ballroom.

“Kenapa?” Nela susah payah menyamakan langkah.

“Dia itu pimpinan majalah gossip. Kalau kamu berbicara dengannya bisa-bisa besok pagi ucapanmu menjadi headline di majalahnya. Kamu tidak berbicara macam-macam kan?”

Nela menggeleng kuat. Tentu saja tidak. Memangnya dia bisa bicara apa dengan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Nela tidak bodoh!

Dhimas menghela napas lega. “Syukurlah.”
##*




Dalam waktu singkat Dhimas dan Nela sudah kembali berada di dalam Mercedes Benz yang dikemudikan Pak Samir. Melewati jalan yang berbeda. Nela tidak tahu kemana mobil yang ditumpanginya ini akan berhenti. Sampai lima belas menit kemudian mobil itu berhenti di Bimantara Tower. Gedung dua puluh lantai, tempat kantor Dhimas berada.

“Kenapa kita ke sini, Om?” tanya Nela heran.

“Ada beberapa dokumen yang harus kuambil,” terang Dhimas. Lagi-lagi ia melangkah lebar. Nela bersusah payah mengikuti langkah itu. Beberapa kali ia hampir tersandung oleh langkahnya sendiri.

“Kenapa tidak menyuruh orang?” Bukankah itu yang biasa dilakukan orang kaya, memerintah, pikir Nela.

“Ini sudah malam. Aku tidak mau merepotkan orang.”

Nela berbinar kagum. Dia tidak salah pilih orang. Tampan, kaya dan baik hati. Apalagi yang kurang dari pria ini?

Nela memperhatikan dengan seksama ketika Dhimas merogoh kantung celana kanannya, mengeluarkan suatu benda yang diduga kunci. Dan benar, itu memang kunci. Lalu Dhimas memasukkan kunci itu ke dalam lubang pintu ruangannya.

Gelap menyambut keduanya. Dhimas bergerak ke samping mencari saklar. Klik. Terang benderang seketika. Nela tersenyum. Senang bisa mendapati wajah tampan itu dalam pandangannya.

Dhimas tidak berkata apapun. Pria itu tenggelam dalam meja kerjanya. Entah melakukan apa, Nela tidak terlalu ingin tahu. Nela lebih tertarik menghampiri jendela kaca ruangan Dhimas. Pemandangan malam kota SIngapura terlihat jelas. Lampu kerlap-kerlip warna-warni. Bagai bintang berbagai warna yang tumbuh di atas bumi. Ini kesempatan langka yang tidak akan bisa dengan mudah didapatnya lagi. Nela tidak mau menyia-nyiakannya. “Apa ada tangga menuju atap gedung ini?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari pemandangan kota Singapura.

Dhimas menghentikan kegiatannya membaca sebuah laporan di mejanya. Dia menoleh. “Ada, lewat tangga darurat di ujung koridor sebelah kanan,” jawabnya.

Tanpa membalas, Nela melangkah keluar. Langkah mungilnya menelusuri koridor sebelah kanan lantai dua puluh sampai di ujung, membuka pintu darurat lalu menaiki anak tangga. Sebuah pintu menyambutnya rapat. Sediki susah dibuka. Mungkin karena jarang ada yang menggunakannya.  

Hembusan angin kencang menerpa tubuh Nela. Angin malam yang dingin. Ia bergindik, memeluk tubuhnya sendiri. Gaun tanpa lengan yang dikenakannya memudahkan dinginnya angin malam menyentuh kulit bahu dan punggungnya. Nela tidak jera, tetap melangkah ke bagian tengah atap. Pemandangan malam secara gamblang di depannya kini, tanpa penghalang kaca. Indah sampai ia tidak bisa mengungkapkan dengan kata yang lain.

“Kamu bisa masuk angin.” Mendadak kulit bahunya tertutupi sebuah jas hitam dan seorang pria yang ia kagumi berdiri di sampingnya. Menghadap ke depan sama seperti Nela. Mereka berdua sama-sama memandangi kota Singapura.

“Indah, bukan?” gumam Nela setelah beberapa menit mereka mengisi dengan keheningan. Dhimas mengangguk membenarkan. “Ini malam terindah yang pernah aku lewatkan di sini,” tambah Nela.

Kontan Dhimas menoleh. Memandangi Nela sampai gadis itu ikut menoleh memandangnya. Pandangan mata keduanya bertautan. “Terima kasih, Om.” Ucapan tulus mengawali aksi Nela berikutnya.

Dhimas tersentak. Gadis itu memeluknya hangat. Kedua tangan Dhimas ragu-ragu terangkat. Bimbang antara membalas atau berdiam diri. Namun akhirnya kedua tangan itu memutuskan untuk membalas. Mengeratkan, menempel pada punggung mungil, memeluknya. Suara bising lalu lintas di bawah sana sirna, menguap entah kemana. Desiran dinginnya angin bagaikan belaian angin musim semi. Menghangatkan setiap jengkal tubuh kedua manusia berbeda jenis itu. Semua mendadak sunyi. Moment berharga terlewatkan dalam keheningan karena keduanya saling meresapi apa yang mereka rasakan. Perasaan nyaman dan hangat.
#*#

Untuk kesekian kali Dhimas menggelengkan kepala keras. Mengusir pemikiran yang singgah dalam benaknya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi dan matanya masih belum dapat terpejam. Sepanjang jam tidurnya Dhimas membuka mata menatap langit-langit kamarnya. Membiarkan cahaya keremangan masuk memenuhi penglihatan. Keremangan, pencahayaan, atau hujan di luar sana bukanlah penyebab Dhimas tidak bisa tidur. Semua itu dikarenakan pikirannya sendiri. Seseorang sudah mengusik akal dan perasaannya.

Dhimas bergerak, memiringkan tubuhnya. Pilihannya hanya dua, pikirnya. Membiarkan semua mengalir apa adanya atau dia harus segera mengenyahkannya. Membiarkannya? Tidak, tidak! Badannya berpindah, bangkit terduduk di atas tempat tidur. Logikanya mengatakan tidak untuk membiarkan perasaannya berkembang terlalu jauh. Sementara itu jika mengenyahkannya, hatinya tidak rela. Pilihan yang sulit.

Dia seperti sedang dihadapkan pada dua mangkuk dan harus menelan salah satunya. Satu berisi jengkol dengan baunya yang busuk dan satu lagi berisi penuh cairan memabukan, sake.

Memakan jengkol akan membuat mulut dan badannya bau. Orang-orang akan menjauh darinya, mencibir, mengejek, bahkan mungkin menertawakan. Sedangkan meminum sake akan membuat dia mabuk. Rasanya memang manis, tapi setelah itu dia akan kehilangann control dan kesadaran. Entah akan jadi apa dia nanti. Ini benar-benar sulit, batin Dhimas.

Untuk mengakui apa ang dia rasakan saat ini saja Dhimas tidak sanggup, apalagi jika harus disuruh menjalaninya.

Jenuh dengan pikirannya sendiri, Dhimas bangkit keluar dari kamarnya. Mengosongkan pikiran, membiarkan kakinya membawa tubuh bimbang itu entah kemana. Sampai dia tersadar, tubuhnya sudah berdiri di sebuah kamar yang ingin ia hindari. Bukannya bertindak menjauh, tangannya malah bergerak menyentuh handel pintu dan membukanya. Gelap yang ada. Pencahayaan hanya sebuah lampu kecil di samping tempat tidur. Lampu itu membuat Dhimas dapat melihat tubuh mungil tergolek nyenyak dalam tidurnya. Dhimas mendekat, duduk di samping tempat tidur. Spontan tangan kanannya terangkat, menyentuh helaian rambut yang menutupi sebagian wajah malaikat terlelap. Wajah itu begitu polos dalam tidurnya. Meski begitu keceriaan masih terlihat. Malaikat mungil yang bandel, batin Dhimas. “Tidur saja masih bisa tersenyum lebar,” bisiknya. Sukses menyibak helaian rambut sang malaikat mungil, tangan Dhimas berpindah membelai. Menelusuri rambut, pelipis, pipi, dagu, sampai pada bibir bawah merah muda.

“Kalau saja…” ujarnya menggantung, meneruskan dalam hati. Kalau saja kamu tidak terlalu belia, mungkin aku sudah merengkuhmu, menengguk manisnya bibirmu ini. Dhimas tanpa sadar menyunggingkan senyum tipis. Pikirannya sungguh kacau. “Kamu sudah membuat hidupku terusik oleh kehadiranmu,” bisiknya nyaris tak terdengar.
*#*