Ninda benar-benar terpesona. Luar
biasa hingga ia sulit menggambarkannya. Ninda berbalik menghadap cermin.
Matanya berbinar. Dua pasang kelopak tipis dan gelap menggantung di
punggungnya. Seperti sayap capung dengan ujung meruncing. Mempesona. Ketika
cahaya mengenainya, warna pelangi berpedar dari dua pasang kelopak sayap itu.
Laksana aurora di malam pekat.
Ninda mencoba menggerakkannya. Membuka
dan menutup perlahan. Taburan-taburan bercahaya bagai kerlip bintang tiba-tiba
saja bermunculan. Asalnya sudah pasti dari kepakan sayap yang melekat pada
punggungnya. Rasa takjub semakin bertambah. Luar
biasa, ini benar-benar menakjubkan, Batin Ninda begitu gembira.
“Apa kamu suka?” Sebuah suara
bernada bass membuyarkan keterkaguman Ninda. Seorang pemuda berdiri di ambang
pintu kamarnya. Tangan terlipat di depan dada. Dengan punggung bersandar pada
badan pintu yang terbuka. Senyum maut terumbar. Raut wajahnya sulit diartikan.
“Bagaimana kau bisa masuk?”
Sebuah pertanyaan tercetus dari bibir Ninda. Pemuda itu mengibaskan rambut
mahoni yang menutupi dahinya.
“Itu mudah.” Dia berjalan
menghampiri Ninda. Memutarinyya lalu berdiri di hadapan Ninda. “Cocok untukmu.”
Matanya melirik kelopak mirip sayap di punggung Ninda.
“Terima kasih,” balas Ninda
sarkastis. Ninda turut melirik sesuatu di alik punggung pemuda itu. Kosong.
“Mana sayapmu?”
Pemuda berambut mahoni itu
tersenyum lagi. Ninda sempat terpesona. Matanya tidak terlalu besar. Alis tipis
menempel indah, menambal sempurna wajah tampannya. Hidungnya meruncing ke
depan. Ninda menatap lekat mata merah darah pemuda itu. Berharap dapa membaca
pikirannya. Pemuda itu hanya mengangkat bahu.
“Mungkin… Kau sudah memakainya.
Di punggungmu.”
Ninda melirik sayap hitam
transparan di punggungnya. Dia teringat transaksi beberapa jam lalu.
“Siapa kau?” Ninda terkejut dan memundurkan langkahnya. Matanya
menyorot tajam sosok di depannya.
“Daren Aghata, peri kehancuran.” Sebuah tangan terulur pada Ninda.
Takut-takut ia memandanginya. Enggan membalas. “Aku tak menggigit,” tambah
Daren sembari tersenyum mengejek. Ninda merasa tersindir. Ia meraih kasar
tangan itu.
“Ninda Camila, pelajar.” Tawa Daren meledak. “Bukan hal lucu untuk
ditertawakan!” Ninda tersinggung dengan tawa Daren.
“Baiklah, aku akan serius sekarang,” tutur Daren. Raut wajahnya berubah
seketika. “Kau tertarik menjadi peri?” tawarnya.
“Apa?” Ninda menarik tangannya. Pandangannya menyelidik. “Kau itu apa?”
Ninda seolah baru tersadar bahwa sosok di depannya bukan manusia.
“Peri kehancuran, menghancurkan apa saja yang kusentuh.” Ninda bergidik
ngeri mendengarnya. Ia memandang telapk tangannya. Masih utuh. Perasaannya
lega.
“Tenang, aku bisa mengendalikan diri.” Daren seolah tahu apa yang Ninda
pikirkan.
“Lalu apa maumu?” ketus Ninda.
Daren melenggang melewatinya. Langkah yang ringan dan anggun. Tangannya
terangkat membelai batang pohon cemara di sisi kanannya. “Menawari sesuatu yang
kau inginkan,” tuturnya. Ninda membalikkan badan. Memandang punggung kekar
Daren. Dua pasang kelopak hitam menggantung sempurna.
“Maksudmu?” Ninda masih belum dapat menangkap jelas ucapan Daren.
“Barter!”
***
Anora adalah sebuah negeri peri
yang tersembunyi. Berada di belahan hutan Danyang Tuo. Tak seorang manusia
dapat melihatnya. Tapi kini Ninda dapat melihat dengan jelas dan masuk ke dalam
negeri itu. Mata gadis berambut ikal itu terus berbinar, batinnya tak henti
mengucap pujian pada negeri Anora.
“Indah bukan?” Felix seolah mampu
membaca pikiran Ninda. Padahal Felix dan Ninda baru bertemu satu jam yang lalu.
Dan pria yang juga peri di negeri Anora itu kini menjadi pemandu bagi Ninda.
Daren sengaja menyuruh pria itu untuk menemani Ninda yang tergolong baru dan
karena memang hanya Felix yang dapat Daren percaya.
“Indah sekali di sini. Aku tidak
menyangka ada negeri seindah ini,” jawab Ninda riang. Bagaimana tidak indah dan
mempesona, seluruh hal yang ada di Anora sangat berbeda jauh dari dunia manusia
sebenarnya.
Pepohonan tumbuh rindang dengan
batang besar dan tinggi. Dedaunan berwarna-warni, keemasan, merah seperti daun
maple, jingga, bahkan ungu. Buah yang menggantung dengan berbagai bentuk
menarik, ada yang mirip pepaya mini, apel berwarna jingga, seperti buah mangga
berwarna coklat, dan yang paling unik berbentuk bintang berwarna biru cerah.
Bunga-bunga tak mau kalah tumbuh dengan cantiknya. Mekar sempurna menyerbakkan
aroma wangi ke segala penjuru. Dalam jarak lima puluh meter pun wanginya dapat
tercium.
Semua tertata dengan rapi dan
apik. Pepohonan berbuah tumbuh berjajar membentuk perkebunan dimana beberapa
peri memanen buahnya. Sedangkan bunga-bunganya tumbuh bagai perkebunan teh,
berjajar rapi berurutan. Peri-peri wanita memakai dress berwarna merah membawa
keranjang ukuran sedang, memetik satu per satu tangkai bunga yang mekar
sempurna.
Felix membimbing Ninda masuk ke
negeri Anora lebih dalam. Tepatnya ke perkampungan para peri. Rumah-rumah peri berdiri
tegak beraturan. Para peri tinggal di dalam sebuah pohon besar atau rumah
berbentuk jamur berukuran besar. Unik sekali. Ninda bagai berada di negeri
dongeng yang sering ia baca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar