Sabtu, 07 Juli 2012

A Pair Of Wings (1)




Ninda benar-benar terpesona. Luar biasa hingga ia sulit menggambarkannya. Ninda berbalik menghadap cermin. Matanya berbinar. Dua pasang kelopak tipis dan gelap menggantung di punggungnya. Seperti sayap capung dengan ujung meruncing. Mempesona. Ketika cahaya mengenainya, warna pelangi berpedar dari dua pasang kelopak sayap itu. Laksana aurora di malam pekat.
Ninda mencoba menggerakkannya. Membuka dan menutup perlahan. Taburan-taburan bercahaya bagai kerlip bintang tiba-tiba saja bermunculan. Asalnya sudah pasti dari kepakan sayap yang melekat pada punggungnya. Rasa takjub semakin bertambah. Luar biasa, ini benar-benar menakjubkan, Batin Ninda begitu gembira.
“Apa kamu suka?” Sebuah suara bernada bass membuyarkan keterkaguman Ninda. Seorang pemuda berdiri di ambang pintu kamarnya. Tangan terlipat di depan dada. Dengan punggung bersandar pada badan pintu yang terbuka. Senyum maut terumbar. Raut wajahnya sulit diartikan.
“Bagaimana kau bisa masuk?” Sebuah pertanyaan tercetus dari bibir Ninda. Pemuda itu mengibaskan rambut mahoni yang menutupi dahinya.
“Itu mudah.” Dia berjalan menghampiri Ninda. Memutarinyya lalu berdiri di hadapan Ninda. “Cocok untukmu.” Matanya melirik kelopak mirip sayap di punggung Ninda.
“Terima kasih,” balas Ninda sarkastis. Ninda turut melirik sesuatu di alik punggung pemuda itu. Kosong. “Mana sayapmu?”
Pemuda berambut mahoni itu tersenyum lagi. Ninda sempat terpesona. Matanya tidak terlalu besar. Alis tipis menempel indah, menambal sempurna wajah tampannya. Hidungnya meruncing ke depan. Ninda menatap lekat mata merah darah pemuda itu. Berharap dapa membaca pikirannya. Pemuda itu hanya mengangkat bahu.
“Mungkin… Kau sudah memakainya. Di punggungmu.”
Ninda melirik sayap hitam transparan di punggungnya. Dia teringat transaksi beberapa jam lalu.

“Siapa kau?” Ninda terkejut dan memundurkan langkahnya. Matanya menyorot tajam sosok di depannya.
“Daren Aghata, peri kehancuran.” Sebuah tangan terulur pada Ninda. Takut-takut ia memandanginya. Enggan membalas. “Aku tak menggigit,” tambah Daren sembari tersenyum mengejek. Ninda merasa tersindir. Ia meraih kasar tangan itu.
“Ninda Camila, pelajar.” Tawa Daren meledak. “Bukan hal lucu untuk ditertawakan!” Ninda tersinggung dengan tawa Daren.
“Baiklah, aku akan serius sekarang,” tutur Daren. Raut wajahnya berubah seketika. “Kau tertarik menjadi peri?” tawarnya.
“Apa?” Ninda menarik tangannya. Pandangannya menyelidik. “Kau itu apa?” Ninda seolah baru tersadar bahwa sosok di depannya bukan manusia.
“Peri kehancuran, menghancurkan apa saja yang kusentuh.” Ninda bergidik ngeri mendengarnya. Ia memandang telapk tangannya. Masih utuh. Perasaannya lega.
“Tenang, aku bisa mengendalikan diri.” Daren seolah tahu apa yang Ninda pikirkan.
“Lalu apa maumu?” ketus Ninda.
Daren melenggang melewatinya. Langkah yang ringan dan anggun. Tangannya terangkat membelai batang pohon cemara di sisi kanannya. “Menawari sesuatu yang kau inginkan,” tuturnya. Ninda membalikkan badan. Memandang punggung kekar Daren. Dua pasang kelopak hitam menggantung sempurna.
“Maksudmu?” Ninda masih belum dapat menangkap jelas ucapan Daren.
“Barter!”
***

Anora adalah sebuah negeri peri yang tersembunyi. Berada di belahan hutan Danyang Tuo. Tak seorang manusia dapat melihatnya. Tapi kini Ninda dapat melihat dengan jelas dan masuk ke dalam negeri itu. Mata gadis berambut ikal itu terus berbinar, batinnya tak henti mengucap pujian pada negeri Anora.
“Indah bukan?” Felix seolah mampu membaca pikiran Ninda. Padahal Felix dan Ninda baru bertemu satu jam yang lalu. Dan pria yang juga peri di negeri Anora itu kini menjadi pemandu bagi Ninda. Daren sengaja menyuruh pria itu untuk menemani Ninda yang tergolong baru dan karena memang hanya Felix yang dapat Daren percaya.
“Indah sekali di sini. Aku tidak menyangka ada negeri seindah ini,” jawab Ninda riang. Bagaimana tidak indah dan mempesona, seluruh hal yang ada di Anora sangat berbeda jauh dari dunia manusia sebenarnya.
Pepohonan tumbuh rindang dengan batang besar dan tinggi. Dedaunan berwarna-warni, keemasan, merah seperti daun maple, jingga, bahkan ungu. Buah yang menggantung dengan berbagai bentuk menarik, ada yang mirip pepaya mini, apel berwarna jingga, seperti buah mangga berwarna coklat, dan yang paling unik berbentuk bintang berwarna biru cerah. Bunga-bunga tak mau kalah tumbuh dengan cantiknya. Mekar sempurna menyerbakkan aroma wangi ke segala penjuru. Dalam jarak lima puluh meter pun wanginya dapat tercium.
Semua tertata dengan rapi dan apik. Pepohonan berbuah tumbuh berjajar membentuk perkebunan dimana beberapa peri memanen buahnya. Sedangkan bunga-bunganya tumbuh bagai perkebunan teh, berjajar rapi berurutan. Peri-peri wanita memakai dress berwarna merah membawa keranjang ukuran sedang, memetik satu per satu tangkai bunga yang mekar sempurna.
Felix membimbing Ninda masuk ke negeri Anora lebih dalam. Tepatnya ke perkampungan para peri. Rumah-rumah peri berdiri tegak beraturan. Para peri tinggal di dalam sebuah pohon besar atau rumah berbentuk jamur berukuran besar. Unik sekali. Ninda bagai berada di negeri dongeng yang sering ia baca.

Tidak ada komentar: