“Daff, kamu
mencintaiku kan?” Jessica kembali menggenggam kedua tangan Daffin. Suaranya
lembut dan parau.
“Tidak, Jess.”
Daffin mengatakan dengan pilu tanpa menatap Jessica.
“BOHONG!” teriak
Jessica. “Tatap aku dan katakan itu bohong!”
Rahang Daffin
mengeras, menyentakan genggaman tangan Jessica dengan kasar. “Itu benar, Jess.
Aku tidak mencintaimu lagi,” tegasnya seraya menatap Jessica tajam. Sebuah
tatapan dingin yang tidak pernah Jessica terima. Badan gadis itu lemas
seketika.
“Lalu… ini semua
apa?” gumam Jessica.
“Kamuflase, gue
nggak pengen lo terlalu sedih. Itu saja.” Nada ucapan Daffin berubah. Bukan
aku-kamu lagi. Ia berbicara dengan nada dingin dan kasar. “Sudahlah, Jess. Lo
cantik, lo bisa dapat cowok yang lebih baik dari gue. Nggak usah sedih, oke.”
Daffin memasang topeng dinginnya. Berkata seolah ia tidak terluka. Jessica
terdiam dengan pandangan kosong. “Well, hanya itu yang pengen gue omongin. Gue
pulang dulu.” Dengan memendam getir luka di hatinya, Daffin membalikkan badan
meninggalkan Jessica yang masih terpukul.
***
Pergi……
Yeah, akhirnya
kusadari aku bukan apa-apa tanpamu
Aku sangat
bersalah, maafkan aku
Daffin terduduk
di atas tempat tidur dengan kedua tangan menutup wajah. Kepalanya terasa berat
tapi sama sekali tak dipedulikannya. Rasa sakit fisik yang ia rasakan bukanlah
apa-apa dibandingkan luka yang baru saja ia toreh. Tangan kanannya ia angkat di
depan dada. Meremas T-shirt hitam yang ia pakai tepat pada bagian dadanya.
Entah untuk apa. Dadanya terasa sesak, sakit.
Seperti pasang,
hatiku hancur
Seperti angin,
hatiku terguncang
Seperti asap,
cintaku memudar
Ini tak pernah
terhapus seperti tattoo
Aku mendesah dan
tanah terguncang
Hatiku penuh
debu (Katakan selamat tinggal)
“Arrrrgghh!”
Teriakan keras ia lontarkan dibarengi dengan gerak tubuh berputar, tangan
menyambar seprai dan selimut di dekatnya. Membuat benda itu terlempar
berantakan. Tak ubahnya dengan beberapa benda di kamarnya yang sudah tergeletak
tak beraturan di lantai. Tubuh Daffin merosot ke lantai. Lututnya ia gunakan
sebagai tumpuan. Rasa bersalah yang teramat dalam. Ya, itu yang ia rasakan saat
ini. Sangat menyesal dan bersalah atas apa yang sudah ia lakukan.
“Ini nggak adil
buat gue!” gumamnya. Mata pria blesteran bule itu memerah. Daffin merasa
kehidupan sangat tidak adil memperlakukannya. Ketika kebahagiaan itu berada
tepat di hadapannya, ia harus melepasnya. Ia harus merelakannya dengan cara
menyakitkan.
Tok tok tok.
“Daffin, sayang… kamu baik-baik saja?” Suara lembut yang terdengar cemas
terdengar dari balik pintu kamarnya. Agaknya ulah Daffin kali ini terdengar
jelas oleh mamanya. Wanita paruh baya yang sudah melahirkan dan merawatnya itu
berdiri di depan pintu dengan tangan terangkat bersiap mengetuk pintu kamar
Daffin lagi. Tok tok tok. “Daffin..buka pintunya!”
Daffin sama
sekali tak menyahut. Tok tok tok. Suara ketukan itu makin keras. Kali ini bukan
seorang wanita, melainkan seorang pria berdiri di samping wanita tadi. Gurat
kecemasan yang sama terlihat di wajah mereka.
“Biar aku dobrak
saja,” seru pria itu. Ia melangkah mundur, mengambil ancang-ancang. Krek.
Terlambat. Pintu yang akan ia dobrak terbuka lebih dulu. Tampak seorang pria
muda dengan wajah pucat, lesu dan tak bersemangat.
“Daffiiinn!”
pekik sang wanita paruh baya. “Kamu kenapa, Sayang?” Tangan lembut wanita itu
sudah menempel di pipi Daffin.
“Nggak apa-apa,
Ma. Daffin hanya kecapekan,” dusta Daffin.
“Mama ambilkan
vitamin ya?” Daffin mengangguk. Lalu mamanya segera beranjak meninggalkannya.
Kini hanya tinggal ia dan papanya. Pria paruh baya itu membuka pintu kamar
Daffin lebih lebar. Menjulurkan kepalanya masuk. Keadaan kamar Daffin jauh dari
kesan rapi. Berbagai barang berceceran di lantai. Daffin membuang muka,
menyesali tindakannya sendiri.
“Kalau ada
masalah selesaikan baik-baik, jangan sampai membuat mamamu cemas.” Papa Daffin
sama sekali tidak mengomelinya. Ya, pria paruh baya itu agaknya sudah sangat
mengerti dengan sifat anaknya itu. Tak mau memaksa.
Daffin
mengangguk. Dengan caranya bersikap tidak normal, lain dari biasanya hanya akan
membuat orang-orang di sekitarnya semakin cemas. Tak ada gunanya menyesali
semua yang sudah terjadi. Daffin pasrah dengan hidupnya. Ia berjalan gontai
menuju ruang makan. Sementara itu, papanya – Oscar mengekor di belakangnya.
***
Yeah, aku pikir
aku tak akan mampu tuk hidup sehari pun tanpamu
Tapi dari apa
yang diharapkan, kudapatkan diriku cukup baik-baik saja menjadi diri sendiri
Kau tak menjawab
apapun seraya kumenangis “Aku merindukanmu”
Kuberharap utuk
sebuah harapan yang sia-sia tapi sekrang ini tak berguna
Jessica bagai
mayat hidup, berjalan melewati koridor fakultasnya dengan pandangan kosong.
Wajahnya pucat, nyaris tanpa make-up. Beberapa orang yang ia lewati
memandanginya dengan penuh keheranan. Ini bukan Jessica sang primadona kampus
yang mereka kenal. Sebagian lain berbisik-bisik membicarakan nasib Jessica yang
malang. Ya, desas-desus putusnya hubungan Jessica dan Daffin sudah menyebar
hampir di seluruh penjuru kampus. Tidak heran untuk orang sepopuler mereka
berdua. Dalam hitungan jam saja berita itu sudah menyebar hebat.
“Kasihan ya Jessica.”
“Dia pantas mendapatkannya… Daffin tak cocok untuknya!”
“Ini nih akibat terlalu sombong, akhirnya sahabatnya
sendiri menusuk dia dari belakang!”
Samar-samar
Jessica masih mampu mendengarkan cercaan orang tentangnya. Ia tak
mempedulikannya. Baginya itu tidaklah penting. Hatinya terlalu lelah untuk
memanggapi semua itu. Namun saat ia mendengar sebuah nama tak asing disebut
bersamaan dengan nama Daffin, hatinya bergejolak ingin tahu. Dia tak pernah
berharap apa yang didengarnya itu benar.
“Daffin memang lebih cocok dengan Hana yang kalem.”
“Apa lo bilang
tadi?” Kini Jessica berdiri di hadapan tiga orang gadis yang sejak tadi membicarakan
tentang nasib hubungannya dengan Daffin. Tatapan tajam Jessica tertuju pada
seorang gadis berambut pendek yang bersuara paling akhir. Gadis itu bergerak
mundur. Ia merasa Jessica akan membunuhnya jika ia bersuara lagi. “Tadi lo
bilang apa?” Jessica mengulangi pertanyaannya dengan nada tinggi.
Bungkam, tak ada
satu pun yang menjawab pertanyaan Jessica. Lidah gadis yang ditanyai Jessica pun
keluh. “Ulangi sekali lagi!” ulang Jesscia dengan nada memaksa dan dibarengi cengkeraman
erat pada lengan gadis berambut pendek. Gadis itu meringis kesakitan.
“Jess…sakit,”
erangnya. Jessica tak peduli. Dia sedang kalap saat ini.
“Tadi lo bilang
apa, Hah?” Wajah Jessica hanya berjarak beberapa senti dari gadis itu. Sedangkan
kedua gadis lainnya tak mau ikut campur. Mereka hanya melihat ketakutan. “Cepat
ulangi ucapan lo itu tadi!”
“Itu…em.. itu
Jess… Daffin sama… Hana…” Sambil menahan rasa sakit pada lengannya gadis berambut
pendek mencoba menjawab pertanyaan Jessica dengan terbata. “Mereka…anu…mereka…”
“Jessi!” Seruan
seorang pria dari arah belakang Jessica menghentikan ucapan gadis berambut
pendek. “Lepasin cewek itu, Jess… jangan bikin keonaran di kampus. Lo bisa kena
masalah kalau begitu,” tegur pria itu.
“Nggak, Lex. Gue
pengen dengar apa yang mereka katakan tadi,” tolak Jessica.
“Iya, tapi nggak
kayak gini caranya.” Akhirnya Alex menarik paksa Jessica untuk menjauhi ketiga
gadis yang diinterogasinya.
“Lex, apa yang
orang-orang katakan itu benar?” Jessica menghentikan langkahnya setelah
terlebih dulu ia menepis tangan Alex yang menyeretnya. Alex pun membalikan
badan memandang Jessica. Gadis itu terlihat rapuh saat ini. “Lex, jawab gue!”
ulang Jessica.
Alex menunduk
lemah. Ia tak tahu harus menjawab apa. Kenyataan yang terjadi akan sangat
menyakiti Jessica. “Lex, please jawab gue!”
“Jess… itu… gue
nggak tahu,” dusta Alex.
“Lo bohong!
Jujur sama gue, Lex. Lo teman gue kan?”
Alex terdiam
memalingkan muka. “Oke, gue ngerti sekarang. Semua itu benar kan? Dari cara lo
nggak menjawab pertanyaan gue, itu sudah ngejawab semuanya.”
Jessica menarik
kesimpulan sendiri. Matanya dibanjiri dengan lapisan bening yang kini jatuh
mengenai pipinya. Gadis cantik itu membalikkan badan meninggalkan Alex. Hatinya
terluka saat ini. Sedangkan, Alex tak berdaya, tak mampu berbuat apa-apa.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar