Kamis, 05 Juli 2012

Haruharu (3)


“Daff, kamu mencintaiku kan?” Jessica kembali menggenggam kedua tangan Daffin. Suaranya lembut dan parau.
“Tidak, Jess.” Daffin mengatakan dengan pilu tanpa menatap Jessica.
“BOHONG!” teriak Jessica. “Tatap aku dan katakan itu bohong!”
Rahang Daffin mengeras, menyentakan genggaman tangan Jessica dengan kasar. “Itu benar, Jess. Aku tidak mencintaimu lagi,” tegasnya seraya menatap Jessica tajam. Sebuah tatapan dingin yang tidak pernah Jessica terima. Badan gadis itu lemas seketika.
“Lalu… ini semua apa?” gumam Jessica.
“Kamuflase, gue nggak pengen lo terlalu sedih. Itu saja.” Nada ucapan Daffin berubah. Bukan aku-kamu lagi. Ia berbicara dengan nada dingin dan kasar. “Sudahlah, Jess. Lo cantik, lo bisa dapat cowok yang lebih baik dari gue. Nggak usah sedih, oke.” Daffin memasang topeng dinginnya. Berkata seolah ia tidak terluka. Jessica terdiam dengan pandangan kosong. “Well, hanya itu yang pengen gue omongin. Gue pulang dulu.” Dengan memendam getir luka di hatinya, Daffin membalikkan badan meninggalkan Jessica yang masih terpukul.
***

Pergi……
Yeah, akhirnya kusadari aku bukan apa-apa tanpamu
Aku sangat bersalah, maafkan aku

Daffin terduduk di atas tempat tidur dengan kedua tangan menutup wajah. Kepalanya terasa berat tapi sama sekali tak dipedulikannya. Rasa sakit fisik yang ia rasakan bukanlah apa-apa dibandingkan luka yang baru saja ia toreh. Tangan kanannya ia angkat di depan dada. Meremas T-shirt hitam yang ia pakai tepat pada bagian dadanya. Entah untuk apa. Dadanya terasa sesak, sakit.

Seperti pasang, hatiku hancur
Seperti angin, hatiku terguncang
Seperti asap, cintaku memudar
Ini tak pernah terhapus seperti tattoo
Aku mendesah dan tanah terguncang
Hatiku penuh debu (Katakan selamat tinggal)

“Arrrrgghh!” Teriakan keras ia lontarkan dibarengi dengan gerak tubuh berputar, tangan menyambar seprai dan selimut di dekatnya. Membuat benda itu terlempar berantakan. Tak ubahnya dengan beberapa benda di kamarnya yang sudah tergeletak tak beraturan di lantai. Tubuh Daffin merosot ke lantai. Lututnya ia gunakan sebagai tumpuan. Rasa bersalah yang teramat dalam. Ya, itu yang ia rasakan saat ini. Sangat menyesal dan bersalah atas apa yang sudah ia lakukan.
“Ini nggak adil buat gue!” gumamnya. Mata pria blesteran bule itu memerah. Daffin merasa kehidupan sangat tidak adil memperlakukannya. Ketika kebahagiaan itu berada tepat di hadapannya, ia harus melepasnya. Ia harus merelakannya dengan cara menyakitkan.
Tok tok tok. “Daffin, sayang… kamu baik-baik saja?” Suara lembut yang terdengar cemas terdengar dari balik pintu kamarnya. Agaknya ulah Daffin kali ini terdengar jelas oleh mamanya. Wanita paruh baya yang sudah melahirkan dan merawatnya itu berdiri di depan pintu dengan tangan terangkat bersiap mengetuk pintu kamar Daffin lagi. Tok tok tok. “Daffin..buka pintunya!”
Daffin sama sekali tak menyahut. Tok tok tok. Suara ketukan itu makin keras. Kali ini bukan seorang wanita, melainkan seorang pria berdiri di samping wanita tadi. Gurat kecemasan yang sama terlihat di wajah mereka.
“Biar aku dobrak saja,” seru pria itu. Ia melangkah mundur, mengambil ancang-ancang. Krek. Terlambat. Pintu yang akan ia dobrak terbuka lebih dulu. Tampak seorang pria muda dengan wajah pucat, lesu dan tak bersemangat.
“Daffiiinn!” pekik sang wanita paruh baya. “Kamu kenapa, Sayang?” Tangan lembut wanita itu sudah menempel di pipi Daffin.
“Nggak apa-apa, Ma. Daffin hanya kecapekan,” dusta Daffin.
“Mama ambilkan vitamin ya?” Daffin mengangguk. Lalu mamanya segera beranjak meninggalkannya. Kini hanya tinggal ia dan papanya. Pria paruh baya itu membuka pintu kamar Daffin lebih lebar. Menjulurkan kepalanya masuk. Keadaan kamar Daffin jauh dari kesan rapi. Berbagai barang berceceran di lantai. Daffin membuang muka, menyesali tindakannya sendiri.
“Kalau ada masalah selesaikan baik-baik, jangan sampai membuat mamamu cemas.” Papa Daffin sama sekali tidak mengomelinya. Ya, pria paruh baya itu agaknya sudah sangat mengerti dengan sifat anaknya itu. Tak mau memaksa.
Daffin mengangguk. Dengan caranya bersikap tidak normal, lain dari biasanya hanya akan membuat orang-orang di sekitarnya semakin cemas. Tak ada gunanya menyesali semua yang sudah terjadi. Daffin pasrah dengan hidupnya. Ia berjalan gontai menuju ruang makan. Sementara itu, papanya – Oscar mengekor di belakangnya.
***

Yeah, aku pikir aku tak akan mampu tuk hidup sehari pun tanpamu
Tapi dari apa yang diharapkan, kudapatkan diriku cukup baik-baik saja menjadi diri sendiri
Kau tak menjawab apapun seraya kumenangis “Aku merindukanmu”
Kuberharap utuk sebuah harapan yang sia-sia tapi sekrang ini tak berguna

Jessica bagai mayat hidup, berjalan melewati koridor fakultasnya dengan pandangan kosong. Wajahnya pucat, nyaris tanpa make-up. Beberapa orang yang ia lewati memandanginya dengan penuh keheranan. Ini bukan Jessica sang primadona kampus yang mereka kenal. Sebagian lain berbisik-bisik membicarakan nasib Jessica yang malang. Ya, desas-desus putusnya hubungan Jessica dan Daffin sudah menyebar hampir di seluruh penjuru kampus. Tidak heran untuk orang sepopuler mereka berdua. Dalam hitungan jam saja berita itu sudah menyebar hebat.
“Kasihan ya Jessica.”
“Dia pantas mendapatkannya… Daffin tak cocok untuknya!”
“Ini nih akibat terlalu sombong, akhirnya sahabatnya sendiri menusuk dia dari belakang!”
Samar-samar Jessica masih mampu mendengarkan cercaan orang tentangnya. Ia tak mempedulikannya. Baginya itu tidaklah penting. Hatinya terlalu lelah untuk memanggapi semua itu. Namun saat ia mendengar sebuah nama tak asing disebut bersamaan dengan nama Daffin, hatinya bergejolak ingin tahu. Dia tak pernah berharap apa yang didengarnya itu benar.
“Daffin memang lebih cocok dengan Hana yang kalem.”
“Apa lo bilang tadi?” Kini Jessica berdiri di hadapan tiga orang gadis yang sejak tadi membicarakan tentang nasib hubungannya dengan Daffin. Tatapan tajam Jessica tertuju pada seorang gadis berambut pendek yang bersuara paling akhir. Gadis itu bergerak mundur. Ia merasa Jessica akan membunuhnya jika ia bersuara lagi. “Tadi lo bilang apa?” Jessica mengulangi pertanyaannya dengan nada tinggi.
Bungkam, tak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Jessica. Lidah gadis yang ditanyai Jessica pun keluh. “Ulangi sekali lagi!” ulang Jesscia dengan nada memaksa dan dibarengi cengkeraman erat pada lengan gadis berambut pendek. Gadis itu meringis kesakitan.
“Jess…sakit,” erangnya. Jessica tak peduli. Dia sedang kalap saat ini.
“Tadi lo bilang apa, Hah?” Wajah Jessica hanya berjarak beberapa senti dari gadis itu. Sedangkan kedua gadis lainnya tak mau ikut campur. Mereka hanya melihat ketakutan. “Cepat ulangi ucapan lo itu tadi!”
“Itu…em.. itu Jess… Daffin sama… Hana…” Sambil menahan rasa sakit pada lengannya gadis berambut pendek mencoba menjawab pertanyaan Jessica dengan terbata. “Mereka…anu…mereka…”
“Jessi!” Seruan seorang pria dari arah belakang Jessica menghentikan ucapan gadis berambut pendek. “Lepasin cewek itu, Jess… jangan bikin keonaran di kampus. Lo bisa kena masalah kalau begitu,” tegur pria itu.
“Nggak, Lex. Gue pengen dengar apa yang mereka katakan tadi,” tolak Jessica.
“Iya, tapi nggak kayak gini caranya.” Akhirnya Alex menarik paksa Jessica untuk menjauhi ketiga gadis yang diinterogasinya.
“Lex, apa yang orang-orang katakan itu benar?” Jessica menghentikan langkahnya setelah terlebih dulu ia menepis tangan Alex yang menyeretnya. Alex pun membalikan badan memandang Jessica. Gadis itu terlihat rapuh saat ini. “Lex, jawab gue!” ulang Jessica.
Alex menunduk lemah. Ia tak tahu harus menjawab apa. Kenyataan yang terjadi akan sangat menyakiti Jessica. “Lex, please jawab gue!”
“Jess… itu… gue nggak tahu,” dusta Alex.
“Lo bohong! Jujur sama gue, Lex. Lo teman gue kan?”
Alex terdiam memalingkan muka. “Oke, gue ngerti sekarang. Semua itu benar kan? Dari cara lo nggak menjawab pertanyaan gue, itu sudah ngejawab semuanya.”
Jessica menarik kesimpulan sendiri. Matanya dibanjiri dengan lapisan bening yang kini jatuh mengenai pipinya. Gadis cantik itu membalikkan badan meninggalkan Alex. Hatinya terluka saat ini. Sedangkan, Alex tak berdaya, tak mampu berbuat apa-apa.
***

Tidak ada komentar: