Sabtu, 11 Mei 2013

LOVE YOUNGER *Part 1



Sepasang pengantin itu berdiri di pelaminan dengan wajah bahagia. Orang-orang menghampiri keduanya, menyalami sekaligus memberi ucapan selamat. Sang mempelai pria berulang kali melirik wanita di sebelahnya. Wanita itu cantik sekali malam ini. Ia bahagia bisa menjadi suaminya. Impiannya untuk mempersunting wanita di sebelahnya akhirnya tercapai. 

Kiran merasakan lirikan aneh pria yang sudah menjadi suaminya itu. Ada perasaan risih. Ia tidak biasa dipandangi seperti itu. apa dandanannya aneh? luntur? atau kebayanya tidak cocok? Kiran sudah berpikiran negatif mengenai arti pandangan suaminya. "Ada yang aneh ya?" bisik Kiran pada suaminya saat orang yang menyalaminya tidak ada.

Junot tersenyum manis. "Kamu cantik, Sayang."

Kiran merona seketika. Selain karena pujian dari Junot, ia malu karena itu pertama kalinya Junot memanggilnya sayang.

"Lebih cantik lagi saat kamu merona seperti ini, aku suka," bisik Junot tepat di telinga Kiran. muka Kiran semakin merah saja. Semua orang terpana melihat kemesraan sepasang pengantin itu. Mereka mengira Junot sedang mencium pipi istrinya. Membuat orang-orang iri saja.

"Aih, kalian ini... jangan mengumbar kemesraan di depan umum, bikin iri orang saja!" cibir Sabila, menghampiri pasangan itu. Junot memelototi sahabatnya itu.

"Suka-suka dong! Ganggu orang bahagia saja!" balasnya sengit.

"Ishhh.... awas ya kalau kamu mengadu padaku lagi saat Kiran meninggalkanmu."

"peduli amat! Kiran nggak akan meninggalkanku lagi!" Junot memandang Kiran di sampingnya. "Benarkan, Sayang?" ujarnya meminta pembelaan.

Kiran hanya tersenyum. Lucu sekali kedua sahabat yang dulu ia kira sepasang kekasih. Tingkah mereka seperti anak kecil yang saling berebut mainan, kekanak-kanakan.


Sementara itu sepasang mata pria memandangi kedua mempelai itu dengan binar tak kalah bahagia. Akhirnya dia bisa menikahkan adiknya. Ibunya pun juga terlihat bahagia di sudut lain ballroom hotel tempat resepsi. 

"Om, suatu saat nanti nikah ya sama aku!" Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut seorang gadis berusia tujuh belas tahun. Sontak pria yang diajaknya bicara melongo tak percaya,terkejut. Senyuma di wajahnya hilang seketika.

"Hah?" 

"Janji ya, Om?" Gadis itu memperlihatkan deretan putihnya. Dengan sangat percaya diri meminta sesuatu yang hampir mustahil diwujudkan di masa depan. 

"Eh?" Si pria kebingungan menjawab. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil memandang sekelilingnya, gelisah. 

"Nela... Nela!" 

"Hah? Ada mama!" Tiba-tiba saja sang gadis belia mendekat pada si pria, bersembunyi di balik punggung tegap. "Om, jangan bilang sama mama!" bisiknya lirih. 

Si pria tidak menyahut. Dia bersikap santai. Beberapa detik kemudian seorang wanita berumur hampir empat puluhan mendekatinya. 

"Eh, kakak iparnya Junot kan?" tanya wanita itu. Padahal mereka sudah bertemu tiga kali, tapi ia masih merasa tidak yakin dengan sosok di hadapannya. 

Pria itu mengangguk sambil mengulurkan tangannya. "Dhimas Andro Bimantara," ucapnya memperkenalkan diri. 

"Anita, kakak sulungnya Fara," balas wanita itu. "Oh, ya kamu lihat gadis umur tujuh belasan pakai kebaya biru lewat sini tidak?" tanyanya. 

Dhimas menggeleng meski dia tahu siapa gadis yag dimaksud itu. 

"Ya, ampun... kemana sih itu anak. Kalau begini gimana aku bisa pulang?" gumam Anita sebal. 

"Memang kenapa Mbak terburu-buru? acaranya kan belum selesai." 

"Aku harus menunggui suamiku di rumah sakit. Dia sedang dirawat karena habis operasi kemarin," terang Anita. 

"Oh." Dhimas membulatkan mulutnya sambil menimang-nimang keputusan yang tepat. "Mbak pulang saja dulu, biar nanti aku yang mencari gadis itu..em..." 

"Nela!" potong Anita ketika meliha Dhimas bingung meneruskan kata-katanya. 

"Ya, Nela. Biar nanti aku yang mengantarnya," saran Dhimas. 

"Tapi aku tidak mau merepotkanmu." Anita tidak enak hati. 

"Tidak apa. Mbak kan sedang repot." Dhimas berusaha meyakinkan. 

"Baiklah. Sebelumnya terima kasih sudah mau membantuku. Anak itu memang sedikit bandel." 

Dhimas tersenyum maklum. Di usia muda seperti itu memang tidak mengherankan kalau bersikap bandel seperti itu. Ia pun pernah mengalaminya. 

"Ya, sudah.. aku pulang dulu." Anita pun beranjak meninggalkan Dhimas. 

Tida lama seorang gadis yang sedang dicari-cari meyembulkan kepalanya dari balik punggung Dhimas. Cengiran lebar menghiasi wajahnya. "Yes! Mama udah pergi," soraknya gembira. 

"Senang ya membuat ibumu kesusahan?" cibir Dhimas berkacak pinggang. 

"Hehe.. eh, tadi Om beneran kan mau mengantarkan aku pulang? Asyik.. Hmppt!" Nela makin gembira. Dia hampir berteriak menarik perhatian orang kalau saja Dhimas tidak segera membungkam mulutnya. 

"Bisa tidak kamu  tidak membuat keonaran sekali saja?" geram Dhimas setengah berbisik. ia pun melepaskan bekapan tangannya di mulut Nela. 

"Hehe... maaf Om. Habisnya aku senang bisa sama Om lama." Tidak ada rasa bersalah sedikit pun di wajah Nela. Gadis itu terlihat santai, tampak menikmati kebersamaannya bersama Dhimas. 

"Huh!" Dhimas mendengus kesal. Namun tiba-tiba saja gadis itu melakukan hal tak terduga kepadanya.

Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di pipi kanan Dhimas. "Makasih ya, Om!" 

Pria itu terperanjat. Tidak mampu berkata-kata.
@-@

6 Bulan kemudian...

Gadis itu masih memamerkan senyuman di wajahnya. Sejak kakinya melangkah untuk pertama kali di negara asing yang saat ini ia kunjungi sampai tiba di depan sebuah rumah bergaya mediterania. Sopir taksi yang mengantarnya sempeleng kepala, mengira gadis itu memiliki masalah kejiwaan. Namun, bukan Nela kalau masalah sepele seperti itu ia tanggapi. Nela dengan cuek dan percaya dirinya bersikap santai.

Dihampirinya pagar tinggi yang melindungi rumah di hadapannya. Seorang pria paruh baya berkumis menghampirinya. "Pak bukain gerbangnya dong!" Nela berseru keras. pria itu sampai terkejut.

"Kamu siapa? Ada perlu apa?" pertanyaan basa-basi khas sekuriti dilontarkan.

Nela berpikir sejenak. "Saya Nela pacarnya Om...  eh, Dhimas," jawabnya percaya diri.

Kontan saja si satpam mengernyit tidak percaya. Mana mungkin majikannya punya pacar yang terlihat sangat muda? Mungkin gadis ini masih berusia belasan tahun, batin si satpam. "Kamu jangan berbohong!"

"Eh, Bapak ini nggak percaya ya? Jangan salahkan saya ya kalau nanti dimarahi sama Dhimas gara-gara Bapak nggak mau membukakan gerbang buat saya," gertak Nela.

Si satpam menjadi panas dingin. Bagaimana kalau gadis ini benar pacar majikannya? Bisa susah dia nanti. "Tunggu sebentar!" pintanya. Si satpam berbali ke posnya, menghubungi majikannya, mencari kebenaran atas apa yang gadis asing itu ucapkan. Satu menit kemudian dia kembali untuk membukakan pintu gerbang.

Nela tersenyum riang. Dengan langkah penuh semangat ia masuk, melintasi halaman rumah itu. pintu bagian depan terbuka, Nela tidak perlu susah-susah mengetuknya. Tanpa dipersilahkan dia masuk. Gadis itu berlagak tidak seperti tamu melainkan seperti pemilik rumah.

Mata Nela berbinar senang. Seorang pria dengan setelah kemeja lengan panjang warna cream tengah duduk pada salah satu sofa di ruang tamu, membaca koran paginya. "Om Dhimaaassss!" Nela menghambur memeluk lengan kanan pria itu.

"Ih, Nela apaan sih?" Dhimas melepas pelukan gadis itu, risih.

"Aku kangen banget sama, Om," ujar Nela manja.

"Kamu berlebihan!" tegas Dhimas.

Nela mengerucutkan bibirnya. "Huh, Om pelit!" dengusnya kesal.

"Eh, siapa ini?" Seorang wanita setengah baya muncul. Raut wajah Nela berubah seketika. Dhimas masih datar-datar saja, terkesan tidak peduli.

"Itu, Ma. Yang aku bilang kemarin, keponakan Mbak Fara, anaknya Mbak Anita yang mau liburan di sini," jawab Dhimas.

Nela berdiri menghampiri wanita yang dipanggil mama oleh Dhimas. "Nela Maharani, em.. Oma," tuturnya seraya memperkenalkan diri.

Eva tersenyum ramah. "Waduh, Mama sudah dipanggil oma sama gadis sebesar kamu," seru Eva sambil menyalami Nela. Tiba-tiba Eva berpindah menatap sinis pada Dhimas. "Coba kalau itu dari cucu kandung Mama sendiri, pasti mama makin senang," sindirnya.

Dhimas tahu betul kalimat itu dimaksudkan untuk apa. Secara tidak langsung mamanya sedang meminta cucu darinya. Gimana bisa mendapatkan cucu darinya, kalau dirinya saja belum menikah, gerutunya membatin. Dhimas bangkit, menyambar jas hitam di atas lengan sofa. "Sebentar lagi mama juga dapat dari Kiran."

"Tapi kan Mama juga berharap banget dari kamu, Sayang. Jangan terus sibuk kerja, cepat cari menantu buat Mama," tuntut Eva.

Dhimas menghampiri Eva, meraih kedua bahunya. "Mamaku sayang, aku masih belum mau memikirkan itu. Mama kan juga sudah dapat menantu kan?"

Nela hanya bisa memandangi keakraban ibu dan anak itu. Dia ingin menyahut tapi tidak enak hati dengan Eva. Begini-begini dia kan harus jaga image di depan mama Dhimas. Harus bisa terlihat sebagai anak baik agar dapat diterima oleh wanita itu. Memikirkan menjadi menantu Eva Bimantara membuat Nela cekikikan tidak jelas.

Ujung ekor mata Dhimas menangkap sikap aneh Nela itu. pasti gadis labil itu sedang memikirkan hal-hal aneh. Dasar anak kecil! pikirnya. 

"Mama nggak mau tahu! pokoknya kamu harus segera cari pacar, cari calon istri!" tegas Eva.

"Iya, iya deh Mamaku sayang." Dhimas pasrah, tidak mau berdebat panjang. "Ya, sudah. Aku mau berangkat ke kantor dulu," pamitnya seraya mencium kedua pipi mamanya. Dhimas beralih pada Nela yang masih senyum-senyum sendiri. "Heh!, Gadis kecil!" panggil Dhimas. Sontak mengejutkan Nela. Lamunan gadis itu buyar seketika. "Kalau kamu mau jalan-jalan minta antar Pak Samir saja. Jangan buat keonaran ya!"

"Eh, tapi Om...."

"Nggak ada tapi-tapi. Kamu mau pulang ke Indonesia lagi?" Dhimas memotong sebelum Nela sempat memprotes panjang lebar. Nela tidak bisa membantah lagi mendapat ancaman seperti itu. Dhimas tersenyum penuh kemenangan. Siapa bilang susah mengendalikan gadis bengal seperti Nela. "Ya, sudah. Ingat, jangan berbuat yang aneh-aneh!" tegas Dhimas sekali lagi. Ia pun melangkah keluar, meninggalkan Nela dengan wajah cemberutnya.


Nela kira dengan berlibur di Singapura, ia bisa bersama-sama Dhimas setiap waktu. Ternyata untuk bertemu saja dengan pria itu susah sekali. Hanya ketika sarapan pagi saja Nela bisa melihat Dhimas. pria itu terlalu sibuk. berangkat pagi dan pulang saat larut malam ketika  Nela sudah tertidur lelap. Nela perlu mencari cara agar bisa bersama pria itu. Liburannya akan habis dalam waktu 15 hari lagi.
***

Nela bangun lebih awal pagi ini, bahkan sebelum orang-orang sudah bangun. Dia akan mulai melancarkan rencananya agar bisa selalu bersama Dhimas.

Brak! Prang! "Aduh!"

Bunyi berisik membangunkan para penghuni rumah bergaya mediteran itu. Semua bergegas menuju sumber suara. Mereka terkejut.

"Astaga, Nelaaa!" Dhimas yang pertama kali berseru.

Sementara itu, Eva menghampiri gadis yang tengah meniup punggung tangan kanannya. "Ya, ampun...kamu kenapa ada di dapur?" tanya Eva sambil melihat punggung tangan Nela. Ternyata tangan gadis itu terkena panas dari panci. Eva lalu beralih pada panci di atas kompos. "Kamu mau masak?" tambahnya.

Nela mengangguk disela ringisan kesakitannya. "Katanya Om Dhimas suka sup jagung. Jadi, aku mau membua sarapan sup jagung untuk Om Dhimas," jelas Nela.

Eva tersenyum mengerti. Sedangkan Dhimas malah memelototi Nela tajam.

"Lebih baik kamu obati tanganmu dulu," saran Eva.

"Tapi, Oma. Sup aku..."

"Sudah supnya biar Oma yang melanjutkan," potong Eva.

Nela hanya bisa pasrah, menyingkir dari dapur.

Gadis itu terduduk di atas sofa ruang tamu. Menunduk, meratapi kesalahannya. Andai saja dia mau menuruti mamanya untuk belajar memasak, mungkin kejadian seperti tadi tidak akan terjadi. Membuka tutup panci saja malah kena panasnya! Huh! Nela menggerutu dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri.

"Mana tanganmu?"

Nela sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tidak menyadari kehadiran Dhimas di sebelahnya. Sontak tangan Nela terulur.

"Memang yang kena panas tangan kirimu?" seru Dhimas langsung mengembalikan kesadaran Nela penuh.

"Eh..?" Nela menarik tangan kirinya dan balik mengulurkan tangan kanannya.

Dhimas meraihnya, mengoleskan salep di bagian yang terkena panas tadi.

Nela memandangi Dhimas lekat. Pria di sampingnya ini benar-benar tampan. Padahal dia masih mengenakan piyama dengan rambut acak-acakan. Sedikit pun tidak mengurangi ketampanan Dhimas. Terkesan sexy malah. Tiba-tiba saja pikiran aneh itu muncul dalam benaj Nela. Ia merona karena pikirannya itu.

"Lain kali nggak perlu masak kalau kamu nggak bisa." Omelan Dhimas membuyarkan lamunan Nela.

"Tapi kan aku mau masak makanan kesukaan Om," balas Nela.

"Itu nggak perlu. Bikin susah saja!"

Rasanya sakit saat dimana kita mencoba berkorban untuk orang yang kita sayangi tapi orang itu malah bersikap cuek dan menyalahkan kita. Nela menunduk sedih. Matanya memerah ingin menangis. "Aku cuma mau kelihatan baik di mata Om," ujarnya lirih.

"Kenapa? Apa kamu baru saja melakukan sesuatu yang bruk dan berusaha menebusnya dengan memasak makanan favoritku?" ujar Dhimas sinis. Tidak ada getar kasihan pada Nela.

"Aku...itu.. itu karena aku suka sama Om!" teriakan Nela menggema mengisi ruang tamu yang hanya dihuni oleh dia dan Dhimas. Pada detik berikutnya gadis itu terlihat terisak.

Dia menangis, karena aku? Dhimas menjadi sedikit bersalah. Dan apa tadi yang dia bilang? Suka padaku? Rasanya ia tidak ingin percaya sudah mendengar itu. Selama ini dia mengira gadis itu haya terpesona sesaat padanya.

"Nela, dengarkan aku. Kamu tidak seharusnya suka kpadaku. Aku itu kan Om kamu. lagi pula Jarak umur kita terlampau jauh."

"Aku nggak peduli!" Nela bersikeras.

Tidak ada komentar: