Sabtu, 11 Mei 2013

Love Younger *Part 2


Bukan Nela namanya kalau ditolak sekali langsung menyerah. Gadis remaja itu masih bersikeras bahkan kini ia memaksa mengikuti Dhimas kemana saja. Nela merengek terus sampai akhirnya Dhimas terpaksa menuruti permintaannya. 

"Ingat, jangan bikin keonaran!" Untuk kesekian kali Dhimas memperingatkan Nela. 

"Beres, Om!" Nela mengacungkan ibu jari kedua tangannya. Dhimas mendengus kesal. Apa boleh buat.

Selama beberapa jam yang dilakukan Nela di ruangan Dhimas hanya duduk di hadapan pria itu, memandanginya dengqn tatapan memuja dan sesekali terkekeh. Tapi lama-kelamaan Nela mulai bosan.

Dia sedikit heran dengan apa yang dilakukan Dhimas. Eksekutif muda yang benar-benar sibuk. Tidak ada sedikit waktu pun untuk mengobrol dengannya. 

"Kamu nggak bosen melihatku seperti itu?" 

Nela tersentak, lamunannya buyar. Senyumnya terkembang seketika. Akhirnya bisa mengobrol dengan pujaan hatinya. "Aku nggak akan pernah bosen buat memandangi wajah orang yang kusuka," akunya jujur. 

Dhimas menghembuskan napas keras-keras. Anak ini... 

"Kamu nggak lapar?" tanya Dhimas mengalihkan pembicaraan. 

Nela menggeleng. "Aku sudah kenyang hanya dengan melihat Om." 

"Terserahlah!" Dhimas tidak mau ambil pusing. Dia bangkit dan melenggang pergi begitu saja. 

"Lho, Om...Tungguin!" Nela kebingungan, tidak mengerti mengapa pria itu mendadak pergi. Nela ikut bangkit dan mengejar langkah Dhimas. 
**

Mereka makan di sebuah restoran siap saji dekat kantor Dhimas. Saat-saat jam makan siang adalah saat dimana sulit menemukan kursi kosong di restoran itu. Dhimas membawa baki berisi makanannya sambil memutar kepalanya ke kanan dan kiri, mencari tempat untuk mereka makan. Sementara itu, Nela bersikap santai. 

"Eh, itu kosong Om!" tunjuk Nela pada satu meja di sudut ruangan. Tanpa aba-aba gadis itu sudah mendahului Dhimas. Nela duduk di kursi yang ia tunjuk. Dhimas mengikuti dengan duduk di hadapannya. 

"Om, memangnya Om nggak bosen ya kerja rodi seperti itu? Om nggak sayang sama masa muda Om?" Nela mengajukan pertanyaan disela-sela mengunyah makanannya. Ia sangat ingin tahu kehidupan Dhimas sesungguhnya dan bagaimana cara pandang pria itu. 

Tiba-tiba Dhimas mengentikan laju burger di tangannya yang sudah sampai di ambang mulut. "Itu sudah jadi kewajiban dan tanggung jawabku. Lagi pula masa mudaku sudah lewat," jawabnya. Lalu memasukkqn burgernya ke dalam mulut. 

"Lewat bagaimana? Om kan belum tua?" sahut Nela tidak sependapat. 

"Iya, tapi sudah bukan zamanku untuk senang-senang setiap waktu." 

"Tapi kan Om harusnya kasih waktu sesekali buat bersenang-senang. Kerja terus nggak capek apa?" tutur Nela. 

"Iy..." 

"Dhimas?" 

Dhimas mengatupkan mulutnya, mengurungkan niat untuk membalas ucapan Nela. Suara seorang wanita memanggil namanya mengalihkan perhatian pria itu. Dia mendongak ke samping. Seorang wanita cantik seusianya berdiri sambil menyunggingkan senyum. "Febi!" serunya seraya bangkit. 

"Boleh aku  gabung?" tanya Febi pada Dhimas.

"Oh tentu saja." Dhimas mempersilahkan. Nela terlihat tidak suka.

"Untung ada kamu disini, kalau tidak aku nggak tahu harus duduk dimana." Febi mulai beceloteh. Suaranya manja dan riang. "Oh, ya kamu sama siapa?" tanyanya.

Dhimas tidak menjawab. Hanya melirikkan mata ke hadapannya. Febi mengikuti arah pandangan Dhimas. Barulah dia sadar ada Nela di depan Dhimas. 

Jadi, aku tidak dilihat sejak tadi? Wanita menyebalkan, gerutu Nela dalam hati. Merasa dipandangi, ia balas memandang dengan tatapan sengit. 

"Siapa? Setahuku adikmu tidak semuda ini?" tanya Febi sambil mengalihkan pandangan pada Dhimas. 

Dhimas berdeham pelan. Rasa sulit mengatakan apa untuk menjawab pertanyaan itu. "Dia keponakanku." Hanya itu jawaban yang logis dan memang benar Nela keponakannya. 

Nela tentu saja kecewa mendengarnya. Padahal dia sudah berharap lebih. Mana mungkin? Jangan bermimpi Nela! Tadi pagi saja dia menolakku, pikirnya. 

"Hah? Adikmu punya anak sebesar ini?" Febi tak percaya. Padahal beberapa tahun lalu saat ke rumah Dhimas dia melihat Kiran tidak dalam.keadaan hamil. 

Dhimas sontak terkekeh. Pemikiran Febi benar-benar lucu. "Nela keponakan jauhku, anak dari kakaknya iparnya adikku. Aduh gimana ya.. yang jelas bukan dari keluarga kandungku, tapi keluarga iparnya adikku," terang Dhimas. Cukup sulit juga menjelaskan hubungan kekerabatan jauhnya dengan Nela. 

Febi membulatkan mulutnya sambil manggut-manggut. "Oh, ya perusahaanmu makin maju saja. Aku dengar mau memperluas di bidang media ya? Wah makin serakah saja kamu." 

Dhimas tersenyum. Tidak heran kalau Febi mengiranya serakah. Perusahaan yang dia pimpin memang bergerak dalam banyak bidang. Bimantara Group sudah berkembang luas. Perhotelan, property, advertising, swalayan, bahkan sekarang Dhimas sedang merencanakan untuk membeli salah satu perusahaan majalan fashion. "Ya, namanya juga usaha," jawab Dhimas singkat. 

"Haha.. kamu tidak berubah ya? Aku senang lho bisa bertemu kamu. Sudah dua tahunan lebih kan tidak bertemu." 

Dhimas mengangguk mengiyakan. "Kamu kerja dimana, Feb?" 

Sadar atau tidak Dhimas dan Febi sibuk saling mengobrol, tidak memperdulikan Nela. Memangnya aku mengerti apa yang mereka bicarakan? Pekerjaan Om Dhimas saja aku tidak mengerti betul, runtuknya dalam hati. Gadis itu hanya menunduk memandangi ujung sepatunya. Bukan jarak umur saja yang jauh, perbedaan di antara mereka juga. Om Dhimas benar-benar jauh, terlalu sulit untuk digapai. Rasa ketidakpercayadiri menghinggapi Nela. Rasanya semua yang dilakukan dia sia-sia. Dia tidak akan pernah menggapai Dhimas. 

"Om, aku pulang dulu!" ujar Nela serak. Begitu cepat gadis itu beranjak dari tempatnya sampai-sampai Dhimas tidak sempat menanggapi. Gadis itu sudah menghilang dari hadapannya. 

Astaga, kenapa gadis itu? Dhimas tidak habis pikir dengan sikap aneh Nela. 

"Feb, aku pergi dulu ya. Maaf nggak bisa menemani kamu lebih lama," pamit Dhimas. Entah dia merasa ada yang tidak beres dengan sikap Nela. Membuatnya tidak tenang. 

Febi hanya mengangguk. Dhimas pun pergi menyusul Nela. Dia harus mengetahui keadaan gadis itu. Kalau dipikir-pikir lagi dia sudah mengacuhkan Nela terlalu lama tadi. Mungkin saja gadis itu kesal. Dhimas jadi tidak enak hati. Harusnya dia bisa bersikap lebih baik.
***
East Coast Park, sebuah taman pantai yang terletak di pantai tenggara Singapura. Orang-orang mendatanginya untuk bersantai dan menikmati liburan mereka bersama keluarga atau teman. Terdapat bermacam-macam fasilitas di East Coast Park. Yang paling menyenangkan adalah track sepanjang 15 km untuk bersepeda maupun inline skate.

Dibuka pada tahun 1970, ketika pemerintah menyelesaikan tanah reklamasi lepas pantai di Katong yang memanjang dari Changi ke Tanjong Rhu. Taman pantai terbesar di Singapura, East Coast Park memiliki luas sebesar 185 hektar. Pantai dibangun sepenuhnya pada tanah reklamasi buatan manusia, disini semua orang dapat berenang. Pantai ini dilindungi oleh pemecah gelombang, dengan tidak ada fitur alam lainnya.

Sayangnya semua keindahan yang tersaji di East Coast Park harus Nela nikmati sendiri. Dia tidak menyangka bisa berada di tempat ini. Padahal Nela berniat pergi ke Merlion Park, tempat yang paling sering para turus kunjungi. Nela duduk sendirian, memandangi lalu lalang orang. Tak ada keluarga atau teman yang menemani. Benar-benar sendiri.

Mungkin ada baiknya Nela pulang lebih awal. Ya, lagi pula selama ini dia hanya menjadi pengganggu bagi Dhimas. Nela menunduk menatap ujung flat shoes coklat yang dipakainya. Dia harus membuat sebuah keputusan, pikirnya.

Beberapa menit kemudian gadis itu mengangguk mantap. Sudah diputuskan. Semangatnya kembali bangkit. Nela pun berdiri, sedikit melompat saking semangatnya.

Dug! Bukannya berdiri tegak, tubuh Nela malah oleng, tersentak ke belakang. Dia tidak sempat menghindar saat kepalanya membentur sesuatu di depannya. Nela kira akan terjerembab ke belakang, tapi ternyata tubuhnya malah berdiri miring. Sebuah lengan menahan tubuhnya.

"O...Om... Dhimas!" ucapnya terbata ketika melihat siapa orang yang membuat dia oleng sekaligus menahan tubuhnya.

"Kamu tahu sudah membuat orang kerepotan?" ketus Dhimas.

Mengetahui nada suara Dhimas terlihat marah, Nela menjauhkan diri segera. "Ma-maaf."

"Aku kan sudah bilang tadi, jangan buat keonaran! Gara-gara mencari kamu, beberapa jadwalku terpaksa kubatalkan."

Dhimas memang benar-benar marah. Nela menunduk. Lagi-lagi dia hanya menjadi pengganggu. Cuma bisa merepotkan! "Ma-maafkan aku, Om. Aku tidak akan mengganggu Om lagi," ucapnya penuh penyesalan dengan suara nyaris serak. Matanya memanas. Nela hampir menangis. Itu tidak boleh terjadi. Ia tidak.boleh menangis. "Aku tidak akan mengganggumu lagi!" Satu kalimat tegas meluncur lagi. Dengan segenap ketegaran yang ia kumpulkan, Nela berjalan melewati Dhimas.

Tidak ada kemanjaan, senyum riang atau cengiran khas itu. Dhimas ternganga. Kenapa dia? Nela terlihat berbeda. Apa Dhimas terlalu keras memarahinya? Nela marah? Dhimas bertanya-tanya dalam hati. Terpaku di tempat.

Dhimas tidak bermaksud untuk memarahi Nela secara berlebihan. Semua itu hanya luapan kecemasannya. Selama beberapa jam tadi dia mencari Nela bagaikan orang gila. Dia takut terjadi sesuatu pada gadis mungil itu. Namun, kenapa yang Dhimas dapatkan malah ucapan dingin gadis itu?
***

Nela berubah seketika. Gadis itu seperti sedang menjauhi Dhimas. Saat pertemuan mereka ketika sarapan, Nela tidak lagi menyapa dengan riang seperti biasa. Dia hanya melayangkan senyuman kecil ketika beradu pandang dengan Dhimas. Nela lebih banyak berbicara dengan Eva ketimbang Dhimas. 

Harusnya Dhimas senang tidak lagi mendapat gangguan dari gadis itu. Tapi ia tampak tidak tenang. 

Dhimas menghela napas sejenak, mengusir pikiran dan perasaan tidak enaknya. "Ma, aku berangkat dulu," pamitnya seraya mengecup pipi Eva. Dia mengalihkan padangan pada Nela. Gadis itu malah melengos tidak mau melihatnya. Dhimas tidak mau memikirkannya. Dia pun beranjak pergi. 

Nela hari ini mengisi kegiatannya dengan berjalan-jalan menyusuri jalanan di sekitar Merlion Park. Banyak turis dari berbagai negara yang ia temui. Nela lebih banyak menggunakan kamera digitalnya untuk memotret di sana. Menyalurkan hobi fotographinya. Menyibukkan diri adalah salah satu cara terbaik untuk melupakan seseorang. 

Huft. Nela menghela napas panjang. Rasanya berat. Sedang apa ya Om Dhimas sekarang? Pasti sibuk rapat ini itu. Nela mengeleng kepalanya cepat. Mengusir pikirannya barusan. Apa sih yang aku pikirkan ini? Kau tidak boleh memikirkannya terus Nela...dengusnya dalam hati. Ia mengalihkan perhatian pada kameranya lagi seraya berjalan pelan. 

Bruk! Gadis itu menabrak seseorang akibat tidak memperhatikan jalan di depannya. Dia tidak terjatuh tapi orang yang ditabraknyalah yang terjatuh. Benda yang orang itu bawa berceceran. Buku-buku tebal dan lembaran kertas entah berisi apa tercecer di dekatnya. Sontak Nela berjongkok membantu orang yang dia tabrak memunguti barang-barangnya. "Maaf..maaf... aku tidak sengaja," ucap Nela. 

"Eh, tidak apa-apa. Aku juga yang salah." 

Nela terkejut mendengar sahutan orang itu. Dari dialeknya yang ditabraknya adalah oranf Indonesia. Nela mengangkat kepalanya memandangi orang yang ia tabrak. Seorang pria berkulit gelap tengah memeluk tiga buah buku tebal dengan lembaran keras yang tersembul di antara buku itu. 

"Eh? Orang Indonesia ya?" Nela tida dapat menahan rasa ingin tahunya. 

Pria berkulit gelap itu membelalak lalu tersenyum. "Iya." Ia memindahkan buku-bukunya ke tangan kiri. Tidak lama tangan kanannya terulur pada Nela. "Armand," ucapnya memperkenalkan diri. 

Nela tersenyum ramah dan membalas uluran tangan itu, menyalaminya. "Arnela Maharani."

Armand Priambudi adalah mahasiswa Singapure University jurusan kedokteran. Dia tinggal di negara singa sudah lebih dari dua tahun. Di Indonesia dia tinggal di Jakarta. Nela sempat mengira Armand adalah orang Ambon karena kulitnya yang hitam itu. Tebakan Nela tidak salah sih. Armand memang memiliki darah Ambon dari neneknya.

Nela merasa senang dapat bertemu Armand. Setelah berbincang-bincang dengan pria berumur dua puluh tahun itu dia merasakan kecocokan. Armand suka bercerita tentang berbagai hal. Dalam sekejap saja Nela langsung tahu sebagian kehidupan Armand.

"Sepertinya aku harus pergi." Armand melirik arloji di tangan kanannya. Sudah hampir siang, dia ada kuliah setelah jam makan siang nanti.

"Baiklah, aku juga harus pulang," sahut Nela ikut berdiri. "Senang bisa mengenalmu, Kak." Nela mengulurkan tangannya hendak menyalami Armand.

Pria itu menyambutnya. "Ya, aku juga senang. Em.. tapi aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal padamu."

"Apa?" Nela mengernyit tak mengerti.

"Kau masih di sini selama beberapa hari kan?"

Nela mengangguk. Tadi dia sudah menjelaskan keperluannya datang ke negara singa ini adalah untuk mengisi libur semesternya.

"Bagaimana kalau besok kita bertemu lagi?" usul Armand.

Nela berpikir sejenak. Tidak salahnya dia menerima ajakan itu. "Baiklah."

"Oke, besok saat jam makan siang kita bertemu di sini lagi!" Armand tampak semangat.

Nela balas mengangguk. Sisa liburannya tidak akan membosankan karena ada seseorang yang akan menemaninya jalan-jalan.

"Oke, sampai jumpa besok!" Armand melangkah menjauh sembari melambai pada Nela.

Huuuh. Rasanya Nela tidak sabar untuk besok. Pasti menyenangkan.
***

Dhimas pulang lebih cepat hari ini. Rasa bersalah karena sudah memarahi Nela kemarin membuatnya tidak tenang. Dia bertekad untuk meminta maaf.

Saat masuk ke dalam rumah, suasana tampak sepi. Dhimas langsung menaiki tangga menuju lantai dua dimana kamar Nela berada.

Tok tok tok. Dhimas mengetuk pintu kamar Nela beberapa kali. Ceklek. Gadis itu membukanya beberapa menit kemudian. Tidak ada lagi wajah dingin seperti tadi pagi. Dhimas bernapas lega.

"Om Dhimas?" Gadis itu jadi kebingungan.

"Ehem." Dhimas berdeham sebelum mulai berbicara. "Boleh aku masuk?"

Neka tidak tahu harus menjawab apa. Mau tak mau dia mempersilahkan Dhimas masuk. "Ada apa Om cari Nela? On tidak kerja? Apa aku membuat kesalahan lagi?"

Dhimas tidak langsung menjawab rentetan pertanyaan Nela. Dia menarik gadis itu duduk di atas tempat tidur. "Duduklah dulu."

Nela menurut.

"Kerjaanku sudah selesai. Aku sengaja pulang lebih awal dari biasanya," jelas Dhimas. "Em.. apa kamu marah padaku, Nela?"

Nela terdiam sebentar, mencerna pertanyaan Dhimas.

"Untuk apa aku marah sama Om?" tanya Nela. 

"Karena kemarin-kemarin aku kelewatan memarahimu," jawab Dhimas. 

Nela malah tergelak. "Nggak mungkin aku marah karena itu, Om. Itukan aku memang salah, Om memang pantas memarahiku." 

"Lalu kenapa kamu seperti menghindariku?" 

Nela mengerti sekarang. "Om sendiri kan yang bilang supaya aku nggak ganggu Om. Jadi aku memutuskan untuk menjauhi Om." 

Dhimas terdiam, tidak tahu harus menanggapi dengan cara bagaimana. Dia sendirilah yang secara tidak langsung sudah menyuruh Nela menjauh darinya. 

"Om.. Om kenapa?" Nela menyadarkan Dhimas yang terdiam. 

"Ak-aku minta maaf untuk itu. Maksudku bukan seperti itu," ujar Dhimas sedikit tergagap. 

Nela mengulas senyum kecil. Memperlihatkan sisi kedewasaannya. "Tidak apa, Om. Nela mengerti kok."

Dhimas terpana sejenak. Nela terlihat berbeda kali ini. Dhimas jadi bertanya-tanya seperti apa sebenarnya sosok seorang Arnela Maharani itu. Selama ini Dhimas bersikap cuek tidak mau mengenalnya lebih jauh. 

"Hanya itu saja kan yang mau Om bicarakan denganku?" 

Dhimas mengangguk pelan. 

"Ya, sudah. Om bisa keluar dari kamarku? Aku mau menelepon ibuku dulu," pinta Nela. Mau tak mau Dhimas menurut, menyingkir dari kamar Nela.
***


Tidak ada komentar: