Sabtu, 16 Juni 2012

LOST MY BROTHER (1)



“Sudah, Nduk. Jangan nangis terus. Ibumu kan baru saja pulang tadi, jangan ditangisi dong!” Berkali-kali kata-kata terlontar dari mulut Bude Irma. Dengan penuh kasih tangan kanannya terus membelai rambut panjangku. Mencoba menenangkanku, menghentikan tangis yang sudah berlangsung sejak satu jam lalu.
“Udah dong, Rin. Di sini juga Cuma satu minggu. Baru ditinggal sebentar kok sudah kangen sih sama ibumu.” Bulek Ranti akhirnya ikut menyahut dengan komentar pedasnya. Meski begitu aku tahu maksudnya baik. Aku yang sedang menjadi pusat perhatian tak membalas sedikit pun. Hanya terdiam dalam tangis. Menenggelamkan wajah dalam bantal yang sedikit basah oleh air mataku. Beberapa orang di sekitarku masih berceloteh menggumamkan bagaimana cara menenangkanku. Aku tidak tertarik untuk mendengarnya lebih jauh. Sampai kudengar bunyi suara langkah kaki mungil masuk dalam kamar yang kutempati. Bude Irma bangkit berdiri.
“Kamu tenangin adikmu ya,” ujar Bude Irma pada seseorang. Aku sudah dapat menebaknya. Sedetik kemudian kurasakan seseorang duduk di atas tempat tidurku. Tangannya terulur menyentuh bahuku.
“Via, udah deh jangan nangis. Ada Mas kan di sini. Tadi katanya nggak apa-apa ditinggal ibu, kok sekarang malah udah kangen sama ibu,” ucapnya dengan suara berat. Aku masih diam. Air mataku terus saja keluar. Dan orang itu masih mengoceh untuk menenangkannya. Aku merasa lelah dan perlahan mataku memejam. Aku pun tertidur sambil masih menangis.

“Vi, kamu baik-baik saja?” Terguran Ririn membuatku tersentak. Aku mendongak menatap gadis berkaca mata itu.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabku. Tak lupa kuulas segaris senyum di bibirku.
Ririn menghela napas lega. “Syukurlah. Kamu melamun sejak tadi, aku pikir kamu sedang sakit.”
“Oh, maaf sudah membuatmu cemas.” Aku sungguh menyesal membuat Ririn khawatir. “Aku hanya….”
“Apa yang kamu pikirkan sejak tadi?” potong Ririn.
Aku menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.” Pandanganku kembali kosong saat menatap dua anak kecil di meja yang berseberangan dengan mejaku. Seorang gadis kecil berusia tujuh tahun dan laki-laki lebih tua dua tahun dari gadis itu sedang asyik bercanda. Mereka tertawa bersama. Entah mengapa tiba-tiba dadaku terasa sesak. Aku merindukannya.
“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Ririn membuyarkanku.
“Ya.” Aku tersenyum lagi. Menutupi luka yang kurasakan. Kupalingkan wajahku menatap Ririn. Dia memandangku penuh arti. “Kita pulang saja yuk!” ajakku. Ririn mengangguk menyetujuinya. Ia meraih tas abu-abu yang diletakkan di atas kursi kosong di sebelahnya. Aku pun melakukan hal yang sama meraih tas ransel hitamku danberjalan mendahuluinya menuju kasir.
***

“Apa kamu melihatnya di perempatan sana, Vi?” Pertanyaan itu memburuku begitu aku memasuki rumah. Seorang wanita paruh baya memandangku lekat, menunggu jawaban dariku. Aku menggeleng.
“Tidak ada, Bu. Aku tidak melihatnya. Di sana hanya ada sekumpulan anak mengendarai motor, aku tidak melihatnya dengan jelas sewaktu melalui tempat itu,” jawabku. Yang aku rasa bukan jawaban yang menyenangkan untuk ibuku dengar. Bibir ibuku tertarik ke bawah, muram. Aku sudah sering melihatnya. Ya, itu terjadi setiap kali aku mengatakan ucapan yang sama saat ia menanyaiku seperti itu. Aku tidak tega melihatnya seperti itu. Tapi apa yang bisa kulakukan. Dia memang tidak ada di sana. Bahkan sudah tak pernah kulihat lagi setahun lebih ini.
“Apa yang dipikirkannya? Semua sudah dia dapat, tapi kenapa dia bisa sebodoh itu? Apa tujuan hidupnya itu?” desah ibu. Punggungnya bersandar pada kursi rotan di ruang tamu. Aku menarik ujung bibirku, tersenyum sekilas.
“Entahlah, Bu.” Setelah jawaban singkatku itu aku bergegas masuk ke kamar. Kalau aku berlama-lama bersama ibu, ia akan menjejaliku dengan berbagai keluh kesahnya. Sesuatu yang tidak aku suka karena dengan begitu aku akan turut merasakan kesedihannya.
***
Viana mendongakkan kepala, menatap langit. Mendung sedang menyelimuti. Sebentar lagi hujan akan turun. Dan benar saja, tetes butiran pertama jatuh mengenai pipi kiri Viana. Dalam sedetik tetes itu berubah semakin banyak membasahi bajunya. Viana berlari cepat, menutupi kepalanya dengan sebelah tangan. Menyelamatkan diri agar tidak basah kuyup.
Viana mendapati sebuah tenda kaki lima kosong di pinggir jalan. Ia berlari ke tempat itu. Akhirnya ia bisa berteduh. Kedua tangannya terangkat menepuk-nepuk pakaiannya yang sedikit basah. Setelah cukup mengusir sisa-sisa air dari tubuhnya, mata Viana menatap ke depan. Hujan yang deras. Viana sedikit menyesali diri karena tak menuruti ucapan ibunya untuk membawa payung hari ini. Ia akan terlambat ke kantor. Ini akan lama, pikirnya. Hingga Viana memutuskan untuk mengambil ponsel dalam tas ranselnya. Ia perlu memberitahu seseorang di kantor bahwa ia terlambat. Jika tidak bosnya, Pak Anton yang terkenal sangat disiplin itu pasti akan mengomelinya selama beberapa jam.
Viana kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Pandangannya kembali tertuju ke depan. Hujan masih mengguyur bumi. Tak sederas ketika awal tadi, tapi cukup dapat membuat seluruh tubuh basah. Lalu lalang orang di jalan depan Viana tak banyak. Hanya beberapa orang saja yang nekat menerobos hujan.
Gadis berambut sebahu itu melamun terbawa dalam suasana hujan. Ingatan masa kecilnya kembali berputar. Ingatan dimana ia bersama seorang laki-laki yang dua tahun lebih tua darinya.
“Mas turun! Disuruh pulang sama ibu tuh,” rengek gadis kecil berkepang dua dengan kepala mendongak keatas memandang dua orang anak laki-laki yang tengah bersandar pada dahan pohon keresem.
“Nanti saja, kamu pulang sana. Jangan kemari!” balas salah seorang anak laki-laki pada dahan paling rendah.
“Cepat pulang, Mas!” Gadis kecil itu masih bersikukuh.
“Nanti, ah,” tolak laki-laki yang dipanggil ‘mas’.
Dengan wajah cemberut gadis kecil berkepang dua itu hanya mampu berdiam diri memegang sepedanya di bawah pohon keresem yang dipanjat oleh kakaknya. Gadis itu setia menunggu kakaknya. Ia tidak peduli kakaknya enggan bersama dengannya.
Beberapa menit kemudian, seorang pria paruh baya menghampiri gadis itu. Penampilan pria itu jauh dari kesan rapi. Rambutnya acak-acakan dengan pakaian kumal. Pria itu terus saja memandangi gadis kecil berkepang dua tadi. Merasa menjadi pusat perhatian seseorang, gadis kecil itu menjadi risih. Ia mencoba mengalihkan rasa tidak enaknya dengan melihat kakaknya. Tapi sang kakak tak menghiraukannya. Rasa takut mulai menghinggapi gadis kecil ketika pria paruh baya tadi semakin dekat dengannya.
“Ini sepeda siapa?” tanya pria paruh baya itu. Matanya tajam menatap gadis kecil di depannya. Sementara itu kedua tangan kekarnya telah memegang kedua stang sepeda. Seolah hendak merampas benda kesayangan gadis itu.
“Pu…punyaku,” jawab gadis itu takut.
“Aku pinjam ya!” Pria itu berusaha menarik sepeda si gadis kecil. Namun dengan erat gadis itu memegangi sepedanya.
“Jangan!” pekik si gadis kecil.
“Sudah buat aku saja!” Pria paruh baya itu semakin memaksa.
“Jangan…..” Mata si gadis kecil mulai berkaca-kaca. Ketakutan merayapinya. Ia benar-benar tak berdaya.
“Hey, mau apa kamu?” Sebuah suara berat muncul di samping gadis kecil itu. Rupanya sang kakak turun dari pohon dan langsung menegur si pria paruh baya. Dengan tatapan tajam dan rahang mengeras sang kakak memegangi sepeda adiknya. “Ini sepeda adikku. Jangan diambil, pergi sana!” bentaknya.
“Tidak kok, Cuma mau pinjam,” ujar pria setengah gila itu.
“Tidak bisa. Kalau mau cari yang lain saja!” tegas si kakak. Tak lupa memelototkan mata untuk menakuti si orang gila. Dan benar saja pria gila itu tak berujar lagi. pria itu langsung pergi meninggalkan bocah kakak-beradik.
“Sudah, jangan menangis lagi. Orang gila itu sudah pergi!” Si kakak mencoba menenangkan adiknya. Rasa aman kembali muncul di hati si adik.
Viana mendesah panjang. Ia benar-benar rindu sosok itu. Sosok yang selalu memberinya rasa aman dan menjaganya. Saat pandangan Viana kembali terfokus pada jalan raya di depannya, secara tak sengaja siluet seorang pria yang dikenalnya melintas cepat. Viana begitu mengenal pemilik siluet itu. Ya, itu sosok yang dirindukannya. Sosok yang selama satu tahun lebih tak dijumpainya. “Mas Devo!” teriak Viana refleks. Sayangnya, suara Viana tertelan oleh suara hujan yang mengguyur makin deras. Sosok itu tak mendengarnya sama sekali.
###

 -Bersambung-

Tidak ada komentar: