Rabu, 03 Oktober 2012

Haruharu (5)


Mata pemuda itu terpejam. Senyum yang biasa ia sunggingkan tak terlihat. Tubuh tegapnya kini terbujur kaku di atas pembaringan rumah sakit. Selang infuse melekat pada salah satu pergelangan tangannya. Bunyi mesin pendeteksi detak jantung menggema mengisi keheningan ruang rawatnya. Di salah satu sudut ruang itu seorang wanita paruh baya menahan tangis. Di sisinya sang suami dengan setia menenangkan. “Tidak akan terjadi apa-apa.” Itulah yang selalu sang suami ucapkan. Nyaris tak ada getar kesedihan dalam suaranya. Namun jauh di dalam lubuk hatinya, ia ketakutan. Ia merasa tidak yakin. Benarkah anaknya akan baik-baik saja.
Vonis dari dokter yang memeriksa anaknya sudah ia dengar tadi. Ia terpukul hebat.
“Kanker pankreas stadium akhir.”
Bagaimana mungkin anaknya bisa menderita penyakit mematikan itu? Ia nyari tidak percaya terhadap pendengarannya sendiri. Mustahil! Selama ini Daffin selalu terlihat sehat dan baik-baik saja! Ia tidak mau mempercayainya. Itu tidak mungkin!
Oscar menatap nanar Daffin yang terbaring tak sadarkan diri. Istrinya – Viona – perlahan mendekati anaknya. Wanita itu masih berlinang air mata. “Kenapa ini harus terjadi padamu?” Viona menggenggam erat sebelah tangan Daffin. Viona pun sama seperti Oscar. Dia tidak bisa menerima kenyataan tentang penyakit anaknya. Daffin adalah satu-satunya anak mereka. Dulu Viona memang sempat hampir mendapatkan anak kembali. Tapi, tiga bukan setelahnya, Viona keguguran. Dan setelah diperikasa terdapat peradangan dalam rahimnya yang membuat Viona tidak dapat hamil kembali. Viona tidak mau kehilangan anak yang paling ia sayangi.
Gerakan kecil menyentak Viona yang tengah menangis. Jemari Daffin yang ia genggam bergerak. Viona sedikit lega. “Daffin…” lirihnya. Barang kali sebentar lagi anaknya akan bangun. Dan benar saja, Daffin perlahan membuka matanya. Dengan mata sayunya, ia memandangi wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Sayangnya, saat ini wanita itu menangis.
“Mama…” ucap Daffin lemah.
Buru-buru Viona bangkit berdiri. “Ada apa, Sayang? Mama di sini,” balas Viona.
Daffin tersenyum kecil. “Kenapa Mama menangis?”
Viona cepat-cepat mengusap air matanya. “Mama nggak nangis kok,” hiburnya. Senyum yang biasa ia lukis mulai terlihat kembali.
“Daffin buat Mama sedih ya? Maaf ya, Ma…” lirih Daffin.
Tangis Viona hampir saja kembali pecah saat mendengar ucapan anaknya itu. Untungya, Oscar mendadak berdiri di sampingnya. Melingkarkan lengannya erat pada pinggang Viona.
“Hey, jagoan! Molor mulu!” tegur Oscar berusaha senormal mungkin.
“Hmm… Papa mau ikutan nangis juga?” sindir Daffin.
“Enak saja! Mana mungkin Papa menangis?” balas Oscar tidak terima.
Daffin tersenyum lebar. Ia cukup terhibur melihat papanya tampak tegar. “Aku rasa Papa tadi nangis. Iya kan, Ma?” Daffin masih tidak mau kalah dan meminta dukungan dari mamanya.
Viola tersenyum pahit lalu mengangguk. “See… aku benarkan?” ujar Daffin.
“Kenapa kamu nggak pernah terus terang pada mama dan papa?” Oscar menjadi serius. Senyum di wajah Daffin lenyap seketika. Dia tahu apa yang dimaksud papanya. Pasti ini tentang penyakitnya.
“Aku Cuma nggak mau ngebebani papa dan mama aja. Aku nggak mau kalian sedih,” terang Daffin.
“Justru yang seperti inilah yang membuat kami sedih… karena kamu nggak mau jujur dari awal!” Tak ada keramahan sedikit pun di wajah Oscar saat ini. Rahangnya mengeras. Tangannya terkepal menahan emosi yang siap meledak. Viona mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Oscar. Menenangkan kegusaran suaminya.
“Maaf,” ucap Daffin penuh penyesalan.
Terdengar desahan napas panjang Oscar menyahut. “Sudahlah, lebih baik kita biarkan Daffin beristirahat. Kamu sepertinya juga perlu istirahat, Sayang,” ucapnya pada sang istri. Viona memandangi anaknya sendu. Ia tidak mau sedikit pun meninggalkannya.
Daffin dapat membaca jelas kekhawatiran mamanya. “Papa benar, Mom. Lebih baik Mama pulang dan beristirahat. Aku akan baik-baik saja.” Senyum tulus Daffin sunggingkan untuk mamanya.
Viona masih enggan pergi. Tapi, ia tidak bisa menolak gerak suaminya yang membimbingnya menjauh dari sisi Daffin. Dengan langkah gontai sepasang suami-istri itu keluar dari ruang rawat VIP yang mengurung Daffin.
Setelah ini bisa dipastikan semua orang akan tahu apa yang menimpanya. Daffin belum menyiapkan diri untuk itu semua. Untuk tatapan iba teman-temannya. Yang lebih pahit adalah jika Jessica mengetahuinya. Pasti gadis itu akan sangat terluka. Daffin tahu ia sudah berbuat salah dengan melukainya. Namun, bila mengetahui keadaannya Jessica akan lebih hancur. Gadis yang sangat dicintainya itu akan melihatnya mati perlahan. Hhhh. Daffin tersenyum pahit membayangkan itu terjadi.
Krek. Bunyi derit pintu terbuka menarik kesadaran Daffin dari lamunannya. Sesosok gadis berambut sebahu muncul. Wajah gadis itu tidak secerah biasanya. Pasti Daffin yang membuat senyum di wajah cantik gadis itu sirnah. Daffin mencoba untuk terlihat sangat sehat. Dia tersenyum untuk sahabat setianya, Hana.
“Akhirnya lo datang,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya yang bebas dari selang infuse. Hana mendekat balas menggenggam tangan Daffin.
“Gue baru tahu pagi ini,” sahut Hana. “Bagaimana keadaan lo?” Pertanyaan klise yang pasti akan ditanyakan oleh semua orang yang menjenguknya. Daffin sudah menyiapkan jawaban yang tepat.
“Gue sangat baik. Nggak usah cemas, oke?”
Hana mengangguk. “Gue tahu, lo pasti akan baik-baik saja.” Hana menyimpan rasa sedihnya dalam hati. Dia tidak mau membuat Daffin merasa sedih atau bersalah. “Semua orang nyari lo,” lanjut Hana.
Daffin memandang lekat manik mata Hana. Membaca apa yang terselip dalam pacaran mata gadis itu. Apa dia sangat sedih? Apa aku sudah melukainya juga? Sayangnya, tak ada apapun dari manik mata itu kecuali warna hitam pekat dan pantulan bayangan dirinya yang terlihat pucat. “Benarkah? Lalu apa yang lo bilang pada semuanya?”
Hana mengangkat kedua bahunya. “Nggak ada. Gue memilih untuk nggak berdekatan dengan mereka. Lo tahukan gue nggak bisa berbohong terus-terusan.”
“Hmmm… keputusan yang tepat. Tapi, gue rasa sebentar lagi mereka bakal tahu. Penyakit gue ini udah nggak bisa disembunyikan lagi. Apalagi sebentar lagi pasti pemakaman gue akan digelar. Mereka bakal sangat terkejut.” Daffin terkekeh menertawakan nasib yang akan menantinya tak lama lagi.
“Jangan berkata seperti itu. Gue nggak suka lo bicara seperti itu,” protes Hana. Ia meremas jemari Daffin. Memperlihatkan bahwa dirinya sedang cemas saat ini.
“Kenapa? Itu kenyataan kan? Aku memang akan…”
“Cukup, Daff. Jangan diteruskan,” potong Hana cepat.
“Bukankah gue sudah meminta lo untuk menyiapkan diri menerima ini semua jika yang terburuk terjadi?”
“Iya… tapi please jangan membahasnya sekarang. Gue belum siap.”
Daffin menyerah. “Oke.”
@-@

“Lo lihat Daffin nggak?” Alex akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sejak beberapa hari ini bercokol dalam benaknya. Dia merasa sedikit aneh dengan ketidakmunculan sahabatnya, Daffin. Beberapa mata kuliah dilewatkannya begitu saja tanpa kabar yang pasti.
Leon yang ditanya hanya mengangkat bahu. “Lo udah ngehubungin dia?”
“Udah, tapi HP-nya mati.”
“Ngedatengin rumahnya gimana?” cetus Leon.
“Kenapa gue nggak kepikiran dari kemarin ya?” Alex seperti baru saja mendapat pencerahan. “Udah, yuk!” Alex menarik lengan Leon untuk mengikutinya.
“Eh, kita mau kemana?” tanya Leon bingung saat sudah berada dalam Volvo hitam milik Alex.
“Ke rumahnya lah! Kan lo yang ngusulin tadi,” jawab Alex tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan di depannya. Sementara tangannya sibuk memutar kemudi.
Leon nyengir lebar. “Oh, iya…ya.” Terkadang cowok berambut spike satu ini memang kelewat lemot.
@-@

Ting Tong…
Sudah tiga kali Alex menekan bel pintu rumah bercat serba putih itu, tapi tak kunjung mendapatkan balasan. Dia mulai tidak sabar menghentakkan kakinya kesal. “Kemana sih semua orang?”
“Pada pergi kali,” sahut Leon yang berdiri di samping Alex.
Alex hendak membuka mulut menanggapi Leon. Namun, urung ia lakukan ketika pintu di depannya terbuka. Seorang wanita tua menyambutnya. Bi Mirna, pembantu Daffin yang masih setia bekerja pada tuannya.
“eh, Den Alex sama Den Leon,” seru wanita tua itu berbinar.
“Kok lama sih, Bi? Daffin ada nggak?” buru Alex yang sudah tidak sabar.
Bi Mirna memamerkan giginya yang sudah tidak lengkap karena termakan usia itu. “Hehe, maaf Den. Bibi di belakang tadi lagi nonton ftv, jadi nggak denger,” terangnya.
“Daffin dimana, Bi?” Leon mengulang pertanyaan Alex yang belum sempat dijawab Bi Mirna.
“Lho emang Aden pada belum tahu?” sahut Bi Mirna.
Alex dan Leon saling pandang tidak mengerti. “Emang kenapa, Bi?” tanya Alex dengan kening berkerut.
“Den Daffin kan di rumah sakit. Sudah hampir seminggu ini lho,” jawab Bi Mirna.
“Sakit apa? Kok kita nggak diberi tahu?” Kali ini Leon yang bertanya dengan nada memprotes.
“Aduh, Bibi kurang tahu Den. Nyonya sama tuan nggak bilang. Tapi kayaknya serius banget sakitnya, Den. Nyonya kelihatan sedih banget tiap kali habis pulang dari rumah sakit. Nangis terus. Tuan juga jadi lebih banyak murung.”
Alex dan Leon jadi bertanya-tanya bercampur cemas. Sakit apa yang diderita sahabat mereka sampai bisa membuat kedua orang tuanya bersedih?
“Bibi tahu rumah sakitnya dimana?” Alex mencari tahu lebih lanjut.
“Tahu, Den. Rumah sakit Imperial, tapi ruangannya apa Bibi nggak tahu.”
Alex mengangguk. Tidak masalah, yang penting tempatnya tahu, pikirnya. “Ya, udah. Kita cabut dulu, Bi,” pamitnya.
Bi Mirna mengangguk. “Hati-hati, Den.” Wanita tua itu kembali menutup pintu rumah majikannya setelah bayangan kedua tamunya menghilang.
@-@
Alex dan Leon setengah berlari menyusuri koridor rumah sakit. Mereka berdua sudah tidak sabar melihat dan mengetahui apa yang menimpa sahabatnya, Daffin.
Di kamar 20A mereka berhenti bersamaan. Alex memutar handel pintunya. Ia yang pertama masuk. Matanya membelalak mendapati tubuh Daffin terbaring di atas kasur putih dengan alat-alat medis menempel pada tubuhnya. Begitu pula dengan ekspresi yang ditunjukkan Leon ketika melihat Daffin.
Mereka sulit mempercayai penglihatannya. Daffin terlihat berubah. Tubuhnya kurus. Wajahnya pucat seperti mayat. Rambutnya yang biasa rapi jadi acak-acakan. Seperti bukan Daffin sang cowok polpuler di kampus.
“Kita salah ruangan?” seru Leon.
Alex menggeleng pelan. “Dia Daffin, teman kita,” ucapnya tanpa keraguan sedikit pun.
Dahi Leon makin berkerut. “Tapi… orang ini lebih mirip mayat daripada Daffin.” Keduanya lalu terdiam memandangi Daffin begitu lekat. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Mau sampai kapan sih kalian mandangin gue kayak begitu? Naksir ya?”
Alex dan Leon terkesima mendengar komentar yang mendadak muncul. Mata Daffin yang terpejam sudah membuka. Ucapannya sedikit kabur karena masker oksigen yang membantu pernapasannya. Meski begitu Alex dan Leon dapat menangkap jelas apa yang diucapkan Daffin.
“Lo pura-pura tidur?” sungut Alex.
“Lo pikir gue bisa tidur nyenyak kalau di dekat gue ada orang yang ngatain gue mayat? Jelas-jelas gue masih hidup,” balas Daffin.
Alex dan Leon terkekeh. “Dia masih sehat kayaknya, Lex,” sahut Leon.
Alex mengangguk setuju.
“Ngapain sih kalian kemari?” tanya Daffin.
“Wah, kayaknya kehadiran kita nggak diinginkan, Lex,” dengus Leon. “Padahal kita tadi hampir mati konyol gara-gara cemasin dia.”
“Tauk tuh! Makhluk nggak tahu terima kasih.” Alex menambahi tak kalah sengit.
Daffin mengulum senyum. Tidak sedikit pun merasa kesal dengan cibiran pedas teman-temannya. “So, dari mana kalian tahu gue di sini?”
“Tadi kita ke rumah lo. Si Alex tuh kangen berat sama lo…Aw!” Belum selesai perkataan Leon, Alex sudah mendaratkan jitakan kerasa ke atas kepalanya. Leon meringis kesakitan sambil mengelus bekas jitakan Alex.
“Bi Mirna yang bilang. Emang lo sakit apa?” tanya Alex.
Daffin mengalihkan pandangannya kearah lain. Salah satu cara dia agar kedua temannya tidak dapat membaca beban pikiran yang ia sembunyikan. “Cuma tipes dikit,” dustanya. Alex mengernyit. Tidak mungkin tipes sampai seperti ini, pikirnya.
“Jangan berusaha bohongin kita deh,” ujar Alex.
Daffin tersenyum kecut. “Lo-lo pada udah puas kan lihat gue? Gue mau tidur lagi!” Daffin berusaha mengalihkan perhatian.
“Well, kalau lo nggak mau cerita nggak masalah. Kita bisa cari tahu ke tempat lain.” Alex tidak terlalu memperdebatkan keinginan Daffin untuk tidak berkata jujur. Lebih baik mencari tahu ke tempat lain. Dia bisa bertanya pada orang tua Daffin atau dokter. Alex membalikkan badan dan melangkah menuju pintu. Tapi saat akan mencapai pintu, ucapan Daffin menghentikan langkahnya.
“Gue harap lo nggak ngasih tahu ini ke Jessica. Gue nggak mau dia tahu.”
Alex menoleh. Begitu juga Leon yang mengekorinya. “Kenapa?” tanya Alex.
“Dia bakal sangat terpukul kalau tahu. Please, gue mohon jangan kasih tahu dia,” pinta Daffin.
Alex mengangguk meski tidak tahu apakah Daffin dapat melihat anggukan kepalanya itu. “Gue usahain,” tuturnya. Ia dan Leon pun keluar dari kamar rawat Daffin. Meninggalkan sahabatnya yang tengah terbaring sakit.


@-@
Hana menatap makan malamnya tanpa berminat untuk menyentuhnya. Malas dan tidak berselera. Bukan karena makanan apa yang disajikan, melainkan karena perasaannya sedang kacau saat ini. Bagaimana mungkin dia bisa dengan tenangnya makan sementara orang yang sangat ia sayangi sedang terbaring di rumah sakit, menyambut maut yang sebentar lagi akan datang. Memikirkan keadaan Daffin membuat Hana sulit menarik ujung bibirnya ke atas. Candaan teman-teman kuliahnya yang dilontarkan sewaktu kuliah pun tidak ia gubris. Hana lebih sering melamun di kelas selama beberapa hari ini.
“Lo lagi sakit?” tegur Lesnar pada adiknya. Dia merasa sikap adiknya aneh akhir-akhir ini. Sering melamun, tidak bersemangat, lesu, dan mungkin Hana menangis diam-diam. Tebakan Lesnar itu tidak mungkin salah. Dia dapat melihat jelas buktinya dari kelopak bawah mata Hana yang membengkak dan tampak hitam mungkin karena tidak tidur. Itu mencirikan bahwa adiknya sedang frustasi oleh sebuah masalah. “Kita ke dokter sekarang,” tutur Lesnar karena sejak tadi pertanyaannya tidak dijawab.
Hana menggeleng cepat. “Gue baik-baik aja kok. Gue sehat!”
“Tapi gue lihat lo lagi nggak baik,” balas Lesnar.
“Lo salah lihat kali.”
“Nggak! Gue nggak salah!” Lesnar masih kekeh dengan argumennya. “Apa lo lagi ada masalah?” tambahnya.
Hana menggeleng lagi. “Nggak ada,” jawabnya singkat.
“Apa Daffin nyakitin lo kayak yang dia lakuin sama Jessi?” tebak Lesnar.
“Daffin baik sama gue,” bela Hana.
“Lo nutupin sesuatu dari gue.” Lesnar dapat membacanya dari pancaran mata Hana. Ucapannya tidak salah. Adiknya sedang dilanda masalah yang cukup berat.
Daripada harus bergulat dengan perbincangan yang terus menariknya untuk jujur, Hana memilih untuk menyingkir. Yah, segera menyingkir sejauh mungkin.  “Gue ngantuk. Selamat malam, Kak!” tandasnya seraya bangkit meninggalkan Lesnar.
Gue harus cari tahu! Batin Lesnar sambil memandangi punggung Hana yang mulai menjauh dari pandangannya.

1 komentar:

zaanannimvader mengatakan...

Caesars Palace Casino Resort to Open for Pre-Party
Harrah's Resort Southern California 평택 출장안마 is set to 김제 출장샵 open its first full casino hotel 경기도 출장안마 in the world's second 경기도 출장마사지 the Caesars Palace Las 전라남도 출장안마 Vegas in Spring of 2019.