Selasa, 18 Desember 2012

HIS EYES


Forterdam City, 11.07 pm

Gelap mendominasi seluruh penglihatan. Hanya warna itu yang menonjol, hitam pekat. Ditambah lagi bangunan-bangunan tua dengan cat kusam. Tak ada keindahan. Membuat suasana malam kian mencekam. 
Seorang gadis berumur dua puluhan melangkah tergesa. Perasaannya diselimuti ketakutan. Suara sepatu vantofel yang berbenturan dengan jalan setapak menggema di sekitar gedung-gedung tua yang ia lewati. Menambah suasana seram. Sesekali ia menengok ke belakang, seolah ada yang mengikutinya. Entah itu hanya imajinasi dari rasa takutnya atau memang benar apa yang ia rasa. Yang jelas ia harus sampai di rumah segera. Tinggal beberapa blok lagi dia akan sampai. 
Gadis itu merutuki kebodohannya dalam hati. Harusnya dia tidak memilih lembur tadi. Suasana jalan terdekat yang menuju rumahnya tergolong sepi. Terlebih jalan itu di kelilingi oleh deretan gedung tua peninggalan penjajahan. Kata beberapa orang beberapa gedung kosong itu angker. Gadis itu bergidik ngeri saat memikirkan gosip yang beredar seputar gedung-gedung tua itu. Ia bergegas mengusir pikiran itu. 
Sreet. Terdengar suara benda diseret. Gadis itu berhenti, menoleh ke belakang, mencari sumber suara itu. Kosong tak ada apapun di belakangnya. Ia melangkah lagi. Kali ini lebih cepat, setengah berlari. 
Sreet. Suara itu kembali terdengar. Apa itu? Dia bertanya dalam hati. 
Sreet sreet.. suara itu lebih intens terdengar. Cukup keras. Mungkin sumber suaranya cukup dekat. Si gadis menoleh kembali. Ia semakin diliputi ketakutan saat mendapati tak ada apa-apa. Dia panik. Berlari sekencang-kencangnya. 
Hhhh. Napasnta tersengal. Ngos-ngosan. Dia berlari cukup jauh.Untungnya sekarang dia berhasil melewati deretan gedung-gedung tua itu. Lega rasanya. Dia menghela napas lega. Rasa takutnya sedikit sirna. Tinggal satu blok lagi. Gadis itu kembali melangkah tenang. Setelah melewati jalan setapak berbentuk segi enam ini ia akan sampai pada jalanan yang lebih ramai. 
Nasib orang tak ada yang tahu kedepannya. Lepas dari rasa takutnya gadis berumur dua puluhan berambut kemerahan itu malah tenggelam dalam kecemasan. Tiga orang pria berdiri beberapa meter di depan sebuah toko yang sudah tutup. Tawa nyaring dan celotehan super keras terdengar. Sumbernya tentu saja dari ketiga pria itu. Mereka bukan orang baik, duga gadis berambut merah itu. Bagaimana pun ia tetap harus melewati mereka. Segenap keberanian dikumpulkannya. Gadis itu mencoba melangkah biasa. Semoga bisa lewat tanpa gangguan, harapnya membatin. 
Sayangnya ia harus kecewa. Salah satu pria bersuara keras memanggilnya. “Hai, Cantik!” Panggilan tidak sopan yang dilakukan oleh orang asing. Si gadis memilih tidak menanggapi. 
“Eh, mau kemana?” Seseorang malah menghadang langkahnya. Dari jarak dekat bau alkohol tercium menyengat. Mereka mabuk. 
Mimpi buruk untuk gadis berambut merah itu. Dia sedang sial hari ini. Gadis itu berusaha menjauh. Menggeser langkahnya agar tidak berdekatan dengan tiga orang pemabuk itu. Namun, apa daya. Mereka malah mengepungnya. Seorang pria berkumis tebal mengangkat tangan kanannya, berusaha menyentuh gadis itu. “Jangan takut manis, kita bersenang-senang saja,” tutur pria berkumis tebal. Sontak keduanya temannya tertawa keras. 
Bagaimana aku bisa selamat dari perlakuan buruk mereka. Ya, Tuhan... tolonglah aku. Gadis itu bergetar ketakutan. Bingung mencari jalan keluar. Pria-pria itu makin agresif berusaha menyentuhnya.
“Ayo manis, jangan menolak kami.” Pria berkepala plontos berhasil mencekal tangan mungil gaDis itu. 
“Lepaskan!” Berteriak dan meronta yang gadis itu bisa. 
Bukannya terlepas, tubuhnya malah diseret ke sebuah gang sempit dan buntu. 
“Mau apa kalian?” Pertanyaan itu malah membuat ketiga pria mabuk itu menyeringai jahat. 
Si gadis dicekam ketakutan.Tubuhnya dilempar ke sudut. Punggungnya membentur dinding buntu. Dia tidak bisa kemana-mana. 
Pria-pria itu mendekat terus. Tangan-tangan mereka bergerak liar menelusuri tubuh si gadis. 
Siapa pun tolong aku! pekiknya dalam hati. Si gadis memejamkan mata saking takutnya. 
Sreeeeet. Desah angin kencang mendadak berhembus diiringi suara aneh. Hanya beberapa detik kemudian tak ada pergerakan yang gadis itu rasakan. Dia mulai membuka mata. Dalam keremangan sesosok pria berdiri di depannya. Hanya seorang. Kemana ketiga orang mabuk itu? tanyanya dalam hati. 
Seperti membaca pertanyaan itu, pria yang tidak helas wajahnya itu menjawab. “Kau sudah aman.” Suaranya berbisik bagai suara beledu. Indah di pendengaran. Si gadis terngangah. Matanya melebar berusaha mendapatkan penglihatan lebih jelas atas wajah sosok di hadapannya. 
Sinar bulan purnama memancar benderang. Awan gelap sudah bergeser entah kemana. Sinar itu mengenai sosok di hadapan si gadis. Membuat sebagian wajah itu terlihat. Kulit putih, mata keemasan. Bukan, tapi biru. Ah tidak! Kedua matanya memiliki warna mata yang berbeda. Gadis itu terkejut. Kanan keemasan dan kiri berwarna biru. Apa ini nyata? 
Sebuah tangan terulur menyadarkan sang gadis. Dengan ragu ia meraihnya. Hawa dingin menyengat permukaan telapak tangan kanannya. Hawa dingin itu berasal dari tangan yang terulur padanya. Dingin bagai es. Meski begitu tak ada ketakutan atau rasa cemas. Alih-alih terpesona ia malah merasa aman. Sungguh aneh.




27th St. Aorter, Forterdam City, 8.46 am

Tok! Tok! Tok! 
Pintu kecoklatan itu diketuk cukup keras. “Alicia, bangun! Kau tidur seperti orang mati. Sudah jam berapa ini? Kau tidak bekerja?” Suara serak seorang wanita terdengar kemudian, mengusik sang pemilik kamar.
“Iya, iya, Mom. Aku sudah bangun,” balas penghuni kamar itu. Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya. Belum tahu kalau dia memang sudah terlambat. Kepalanya akhirnya menengadah. Sebuah jam dinding bulat berdiameter 30 senti pada dinding di depannya membuat mata hitam pekat Alicia membelalak. “Shit!” Sontak dia bergegas bangkit, menyambar handuk, masuk ke dalam kamar mandi.
Tidak perlu berlama-lama, 10 menit Alicia sudah siap dengan pakaian kerjanya. Gadis itu tidak benar-benar mandi sebagai mana mestinya. “Pagi, Mom.” Satu kecupan mendarat di pipi wanita setengah baya yang dipanggil mom. “Aku berangkat!” Sembari menyambar roti tawar milik ibunya, Alicia berpamitan. Ibunya hanya bisa memandangi kepergian anaknya dengan penuh kesabaran.
Jalanan di Forterdam city selalu padat saat pagi hari. Kebanyakan orang-orang sedang memulai aktivitasnya. Kendaraan bermotor lalu lalang di jalan beraspal. Sedangkan para pejalan kaki memadati jalan setapak di pinggir jalan.
Alicia setengah berlari, menerobos pejalan kaki. Tabrakan kecil kadang terjadi. Alicia spontan mengatakan kata maaf beberapa kali lalu kembali melangkah tergesa.
“Alice… Alice!”
Langkah gadis berambut hitam legam itu terhenti, menoleh. Seorang gadis dengan rambut ikal berwarna pirang mensejajari, berdiri di sampingnya.
“Kau terlambat juga, Grace?” tebak Alicia.
Gadis yang dipanggilnya Grace memamerkan deretan giginya. “Pesta semalam terlalu meriah, aku banyak minum,” balasnya.
Alicia kembali melangkah cepat. Grace susah payah menyamai langkah Alicia.
“Apa kau sudah mendengar berita itu?” Grace berceloteh.
Alicia tidak begitu tertarik hanya mengucap singkat. “Apa?”
“Emeli tewas semalam.”
Sontak Alicia memutar kepalanya. Terkejut mendengar berita yang diucapkan Grace. “Benarkah?” Dia masih sulit percaya. Semalam dia sempat bertemu dengan gadis yang disebut Grace. Gadis itu tampak baik-baik saja.
Grace menganguk-angguk. “Dia ditemukan tewas di Lumona Street. Dari yang kudengar tubuhnya diketemukan dalam keadaan mengenaskan. Kulitnya menjadi keriput seperti mummy. Orang-orang hampir tidak mngenalinya lagi. Untung saja ada tanda pengenal ang diketemukan di dekatnya dan itu atas nama Emeli.”
 Alicia diam, tidak berkomentar. Masih mencerna informasi yang ia peroleh.
“Kasihan Emeli,” gumam Grace prihatin.
“Semalam aku masih sempat bertemu dengannya sewaktu akan pulang. Harusnya aku tidak membiarkan dia pulang sendirian,” sesal Alicia. Ia merasa sangat bersalah. Jika saja waktu bisa berputar kembali, ia tidak akan membiarkan Emeli pulang sendirian. Kejadian itu pasti bisa dicegah.
“Sudahlah, ini bukan salahmu. Kejadian ini bukan pertama kalinya,” tutur Grace.
“Apa?” Mata Alicia melebar.
“Kau tidak tahu?”
Alicia menggeleng. Terlalu sibuk dengan pekerjaannya membuat Alicia tidak tahu-menahu perihal peristiwa menghebohkan yang sedang tren.
“Bulan lalu juga terjadi peristiwa yang sama di sekitar Wilmingham. Korbannya sama, seorang gadis dan kondisi mayatnya sama seperti Emeli,” terang Grace.
“Apa polisi tidak menemukan apapun?” tanya Alicia ingin tahu.
Grace menggeleng. “Sangat sulit. Orang-orang yang mengotopsi mayat mereka bahkan tidak bisa menduga apapun.”
Alicia terdiam, mengira-ngira dalam pikirannya penyebab semua kejadian buruk itu. Vampire? Pengisap darah itu akan meninggalkan bekas di leher dan mayatnya tidak akan sekering itu. Yang benar saja, makhluk itu hanya ada dalam novel atau film. Pikiran Alicia melompat-lompat berspekulasi tak terduga, berubah-ubah seketika. Alien? Mustahil. Pikirannya semakin kacau saat merangkak pada makhluk-makhluk mitologi Yunani.
“Sudahlah, tidak perlu dipikirkan terlalu jauh.” Grace membuyarkan spekulasi Alicia. “Kita harus bekerja.” Mereka berdua sudah sampai di sebuah hotel kecil di tengah kota Forterdam.
@_@

Rate Hotel, Forterdam City. 1.10 pm.

Alicia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tubuhnya terasa lelah selama seharian ini menyapa beberapa tamu yang datang untuk check in. Menelengkan kepala ke kanan dan kiri hingga terdengar geretakan otor-ototnya. Satu cara yang ampuh untuk mengusir lelah dan rasa pegal di kepalanya.
“Nona.”
Alicia terlonjak kaget mendengar suara memanggil. Kontan ia berdiri dan memasang senyum ramah. Ia sama sekali tidak menyadari kalau sudah ada seseorang berdiri di depan meja resepsionisnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Tu-an?” Mendadak kelu. Sepasang mata membuatnya terhipnotis. Mata biru seperti lautan menusuk jauh ke dalam diri Alicia. Terpaku dalam diam.
“Check in untuk Deron Patterson.”
Alicia tergagap. Dengan tangan gemetaran mengutak-atik layar komputernya. Mencari sebuah nama yang baru saja disebutkan. Sial, kenapa pria ini memiliki daya sihir sedasyat itu padanya? Setampan apapun tamu yang ia layani, tidak pernah seklipun Alicia terhipnotis. “Presiden suite? Kamar 501, Sir.” Alicia mendongak dan menemukan sepasang mata biru itu lagi. Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke arah lain agar tidak menatap langsung. Membalikkan badan mengambil kartu yang tergantung pada dinding di belakangnya. Secepat mungkin kembali menghadap kembali pada sang mata biru. “Ini, Sir.” Tangan kanan terulur memberikan kartu kunci masuk kamar sang mata biru.
Kulit putih pucat menyambutnya. Dalam hitungan seperkian detik singkat Alicia dapat merasakan sesuatu yang dingin mengenai kulitnya. Bukan dari sebuah benda yang dipakai tamunya. Tapi itu rasa dingin dari kulit putih pucat yang menyambutnya. Rasa aneh menyergap Alicia seketika.
“Terima kasih.” Kembali suara itu menyadarkan Alicia dari pikiran-pikiran anehnya. Alicia mengangguk dan memaksakan senyum. Mengiringi kepergian tamunya, sang mata biru.
Alicia menghela napas lega. Tangannya terangkat ke depan dada. Merasakan detak jantungnya sendiri. Sudah kembali normal.
“Ada apa?”
Alicia terlonjak kaget. Menoleh ke samping dan ia mendapati seorang pria dengan setelan jas berlambang huruf R di bagian dada kirinya. “Jason, kau hampir membuatku mati,” cibir Alicia.
Jason, rekan kerjanya mengernyit keheranan. Tidak ada hal ekstrim apapun yang dilakukannya terhdap Alicia. Tapi gadis ini malah mengatakan kalau Jason bisa membuatnya mati? Jason tidak mengerti. “Kau berlebihan, Alice!”
Alicia duduk kembali di kursinya. “Kau tahu Deron Patterson?” tanyanya.
Jason ikut duduk pada kursi di samping Alicia. Pandangannya ditujukan pada layar computer. Sementara itu tangannya sibuk mengoperasikannya. “Aku tidak begitu tahu. Tapi aku rasa dia orang kaya.”
Alicia menoleh seketika. “Apa maksudmu?”
“Bukankah dia memesan kamar presiden suite? Kamar itu hanya untuk orang-orang kaya, bukan?”
Alicia mengangguk paham.
“Oh, tunggu dulu!” cetus Jason. “Patterson bukan nama belakangnya?”
“Iya. Memang ada apa?”
“Bukankah itu nama bangsawan di kepulauan Eter?” seru Jason.
Alicia memandang bingung sambil mengangkat bahunya.
“Pantas saja. Aku dengar bangsawan Patterson cukup kaya dan disegani di sana.”
Bangsawan? Ulang Alicia dalam hati. Dilihat dari penampilan dan cara bicaranya memang pria itu terlihat beda tadi. “Pantas saja. Rupanya dia seorang bangsawan.” Tanpa sadar Alicia bergumam sendiri.
“Ada apa?” Jaso melihat keanehan rekan kerjanya itu.
“Eh, apa?”
“Sudahlah, lebih baik kita kembali bekerja,” ucap Jason kemudian. Alicia mengiyakan saran Jason itu. Keduanya pun kembali tenggelam dalam aktivitas masing-masing.

Tidak ada komentar: