Rabu, 05 Desember 2012

KEMENANGAN YANG TERNODA


Riuh ramai orang dalam sebuah gedung aula berlangsung sejak pagi tadi. Gema teriakan terdengar. Sorakan mendukung si satu sisi dan sorakan mencemooh di sisi yang lain. Dua kubu saling beradu suara. Suasana memanas tak hanya pada deretan penonton. Di tengah gedung aula, di dalam gelanggang bermatras seorang bersabuk kuning dan dua orang saling menatap sengit. Keduanya, Biru dan Merah. Saling fokus pada lawan masing-masing. Mencari celah. Memukul dan menendang tepat sasaran. Walaupun di hati berkobar ketakutan dan keraguan tapi tampilan dibuat segarang mungkin. Tak mau sedikit pun dianggap remeh atau memperlihatkan kelemahan. Mereka diadu demi memperebutkan sebuah kemenangan. 

Di pinggir gelanggang lima orang duduk rapi dari tiap sudut pandang. Memegang kertas beralas papan dan sebuah pulpen. Mencatat tiap detail nilai gerakan yang masuk mengenai target serangan. Tidak boleh ada keterpihakan di satu sisi. Di sini mereka dituntut adil. Bersikap netral dan berkonsentrasi pada arah pandangan. 

Sementara itu di masing-masing sudut biru dan merah, dua orang berdiri tegak memandang ke tengah gelanggang. Terkonsentrasi pada pihaknya. Mengamati tiap pergerakan lawan, memikirkan strategi penyerangan semaksimal mungkin.

Dung. Denting gong yang dipukul menjadi tanda akhir sebuah babak. Biru dan Merah kembali ke sudutnya. Menenangkan napas sambil berbagi arahan strategi dari sang pelatih. "Lukai daerah rawan!" bisik salah satunya. 

Dung. Sekali lagi gong dibunyikan mengawali babak baru. Biru dan Merah kembali beradu. Si Biru diliputi keraguan. "Lukai daerah rawan!" Kalimat itu terus terngiang di benaknya. Apa itu benar untuk dilakukan ataukah salah? Dia tidak tahu mana yang terbaik. Berdasarkan peraturan tertulis menciderai lawan sangat tidak diperbolehkan. Berarti sebuah kecurangan yang dapat berakibat menggugurkan posisi. 

Dilema si Biru semakin pelik saat si Merah semakin gencar menyerang. memukul dan menendang secar bertubi-tubi. Empat kali gerakan sekali serang. Gerakannya terlalu cepat. Si Biru semakin tersudut. Seolah tak ada pilihan lain. Ia mencari celah untuk melakukan perintah sang pelatih. 

Si Merah terengah sesaat. Dan di situlah si Biru mendapat celah. Melangkah maju memberikan sekali pukulan pengecoh, membiarkan Merah melayangkan pukulan cepatnya dan Bugh! Seolah ketidaksengajaan pukulan si Biru mengenai tepat di bagian tengah dada Si Merah. Bagian fital yang tak terlalu dilindungi. Merah terpukul mundul. Napasnya sesak. Saluran paru-parunya seperti terjepit. Sang wasit lapangan memandangi penuh kecemasan sambil mempertimbangkan keputusan terbaik. Kesengajaan atau ketidaksengajaan? Peneguran atau sebuah diskualisasi? Kebijaksanaan dan keadilan dalam memutuskan dipertaruhkan. 

Akhirnya tangan kanan sang wasit terangkat sebelah sambil mengacungkan jari telunjuk ke atas. Teguran pertama. Begitulah sudut pandang matanya melihat. 

Segaris bibir tersungging ke atas. Menang, batin si Biru. Matanya berbinar senang mendapati Merah bersusah payah mengambil napas. Dan benar saja seperti yang ia duga. Wasit memutuskan lawannya tak dapat melanjutkan pertandingan lagi. Si Merah terbaring lemas, lalu digotong keluar gelanggang. Ya, kemenangan pun didapat. Biru bersorak riang saat sang wasit menarik dan mengangkat sebelah tangannya. menandakan ialah pemenangnya. Sang Juara. 

Bergegas sang Biru menghambur ke sudut pihaknya. Menyambut euforia kemenanganya bersama teman-temannya. Namun, ia sama sekali tidak sadar. Seseorang tengah menatapnya kecewa. Seorang pria tua yang mengenalkannya pertama kali pada kegiatan yang ia jalani saat ini. Si Biru menghampirinya. Memberikan kemenangan yang diraih untuk orang itu. Bukan pujian yang Biru dapat. Beberapa kata terucap menamparnya telak. Bagai palu penghancur yang membuat dinding kebahagiaannya pecah berkeping-keping. Menyisakan penyesalan dan rasa bersalah teramat dalam. "Kau telah kalah oleh dirimu sendiri. Ilmuku bukan untuk kemenangan semata, tapi bagaimana meraihnya dengan jalan kejujuran!"

Tidak ada komentar: