Pagi-pagi
sekali, Hana sudah rapi. Penampilannya seperti biasa cantik dan menawan. Setelah
memastikan penampilannya sudah sesuai yang diinginkannya melalu cermin riasnya,
Hana menyambar tas, membuka pintu dan berjalan menuju Handa Jazz-nya.
Baru pukul 7.30,
tapi lalu lintas Jakarta sudah mulai memadat. Padahal ini hari sabtu. Beberapa
kantor pasti libur. Jakarta seperti tidak mengenal kata libur atau lengang. Pengendara
motor, mobil dan angkutan umum saling berjejalan di jalan beraspal yang sudah
tidak lagi lebar. Bunyi klakson dan umpatan yang keluar dari mulut beberapa
pengendara menggema mengiringi deru kendaraan bermotor yang lalu lalang. Kapan ya Jakarta bisa sedikit lega dan
ramah? Batin Hana dibalik kemudinya. Dia masih cukup punya kesabaran untuk
melintas menembus lalu lintas kota Jakarta pagi ini. Tujuannya hanya satu,
mengunjungi Daffin.
Hana tidak
pernah lelah menemani pria itu. Setiap saat bahkan ia ingin bisa selalu
bersamanya. Sayangnya, itu semua tidak bisa terwujud sebagaimana mestinya.
Daffin hanya menganggapnya sahabat, tidak lebih. Hana harus menelan
kepedihannya karena bertepuk sebelah tangan itu sendiri. Dia tidak bisa
menyalahkan siapa pun. Daffin dengan segala pesona yang dimilikinya tidak
bersalah atas cinta yang dimiliki Hana untuk pria itu. Cinta itu datang dengan
sendirinya tanpa bisa dicegah.
Setengah jam
perjalanan dari rumah ke rumah sakit berhasil Hana tembuh dengan baik. Setelah
memarkirkan Jazz merahnya, gadis itu segera menjejakkan kakinya di lorong rumah
sakit. Daffin masih berada di ruang yang sama. Meski Daffin terbaring dengan
alat-alat yang menyiksa, Hana patut bersyukur karena pria yang dicintainya itu
tidak harus dirawat di ruang ICU. Pilu rasanya jika melihat itu terjadi.
Membayangkannya saja Hana sudah ngeri dan sedih.
“Selamat pagi,”
sapa Hana begitu memasuki ruang rawat Daffin. Ruang itu sepi. Tidak ada
perawat, dokter maupun kedua orang tua Daffin yang menjaga. Hana melangkah
perlahan karena sapaannya tidak mendapat jawaban. Pasti Daffin masih tertidur
pulas. Dan benar. Saat Hana sudah mencapai di dekat tempat tidur Daffin, pria
itu memang masih memejamkan mata. Hana memandanginya dalam-dalam. Wajah yang
pias dan lemas. Tulang-tulang pipinya mulai tampak menonjol. Daffin semakin
kurus. Hana mengulurkan tangannya, menggenggam sebelah tangan Daffin.
“Jessica…” gumam
Daffin saat merasakan seseorang menyentuhnya.
Hana tersentak.
Dadanya terasa sesak. Bukan namanya yang dikumandangkan bibir Daffin, melainkan
Jessica. Hana tidak dapat menahan air matanya untuk keluar. Sekian tahun mereka
saling mengenal, hanya Jessica yang selalu ada di hati Daffin. Pria itu tidak
pernah sekali pun melupakan pujaan hatinya itu. Hana sudah tahu pasti itu.
Tapi, keegoisannya menolak untuk mengakuinya. Rasa egois yang menginginkan
Daffin juga membalas perasaannya berontak pada kenyataan yang sebenarnya.
Gerak jemari
Daffin menyadarkan Hana. Buru-buru dia mengusap air mata yang tadi meleleh
membasahi wajahnya. Perlahan mata Daffin membuka.
“Lo udah
bangun?” sapa Hana. Daffin menarik ujung bibirnya ke atas dengan susah payah.
“Sejak kapan lo
datang?” tanya Daffin.
“Baru lima belas
menit lalu,” jawab Hana.
Daffin tak
menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke depan, menatap kosong langit-langit
rumah sakit yang putih. “Nanti malam gue bakal dioperasi,” ujar Daffin datar.
Hana tidak
terkejut mendengarnya. Jauh-jauh hari sebelumnya, rencana itu memang sudah
pernah ia dengar. “Lo harus kuat!”
“Hmmm…
kemungkinannya 20%.”
Hana tahu resiko
apa yang akan didapat dari operasi yang akan dilakukan Daffin. Hanya 20%
operasi ini bisa berhasil, kemungkinan Daffin dapat bertahan hidup hanya 20%.
“Tapi lo tetap harus kuat,” kekeh Hana.
“Gue nggak bisa
janji.”
“Lo nggak boleh
menyerah, Fin!” Hana tidak dapat menahan emosinya, juga air matanya yang turun.
“Gue tahu.
Thanks lo udah ada di samping gue.”
“Gue bakal benci
sama lo kalau lo nyerah sama penyakit ini!” ancam Hana.
“Penyakit apa?”
Tanpa Hana sadari, sejak Hana keluar rumah ia sudah diikuti. Seorang pria
berkaca mata masuk menghampiri Hana dan Daffin. Hana terkejut melihat pria itu.
Sedangkan, Daffin mengulas senyum di bibirnya. Ia sudah siap akan hal ini.
“Hay, Les…
akhirnya lo ngunjungin gue juga,” ujar Daffin.
Hana menoleh
memandangnya tidak mengerti.
Lesnar mendekat
dan berdiri di samping kanan Daffin–berseberangan dengan Hana yang berdiri di
samping kanan Daffin. “Lo sakit apa?” tanya Lesnar.
Daffin tersenyum
lagi. Lesnar tahu Daffin tidak akan menjawabnya. Jadi, ia mengalihkan
pandangannya pada Hana. “Bisa jelasin ke gue, Han?” desaknya.
Hana memalingkan
muka, tidak mau menjawab.
“Oke, kalau
kalian nggak mau menjawab, gue akan…”
“Kanker pancreas,”
potong Daffin. “Gue kena kanker pancreas stadium akhir.”
Lesnar
membelalak mendengarnya. Dengan gemas ia meremar rambutnya dengan kedua tangan.
Frustasi dengan kenyataan yang tak terduga itu. “Jessica tahu ini?” tanyanya
kemudian. Daffin menggeleng lemah. “Kenapa?” lanjut Lesnar.
Sorot mata
Daffin berubah pilu. Lesnar mencoba mengartikannya sendiri tanpa mendengar
kata-kata dari mulut sahabatnya. “Tapi dia berhak tahu,” ujar Lesnar.
“Nggak. Dia
nggak seharusnya tahu,” balas Daffin.
“Tapi apa lo
nggak mikir gimana perasaan dia? Lo udah nyakitin dia dengan…” Lesnar tak dapat
meneruskan kata-katanya. Dia masih bingung dengan hubungan Daffin dan adiknya.
Sungguhankah atau sandiwara?
“Justru karena
gue mikirin perasaannya makanya dia nggak boleh tahu ini. Dia nggak boleh
berada di dekat gue saat gue sekarat,” ujar Daffin.
Lesnar mendesah
pasrah. Ia tidak berkata apapun, pergi adalah jalan terbaik agar emosinya tidak
bertambah buruk. Cukup sudah mengetahui kenyataan yang mengecewakannya ini. Ia
tidak mau terus berdebat dengan Daffin yang sudah sekarat itu.
Daffin menahan
lengan Hana yang ingin mengejar kakaknya. Pria itu menggeleng pelan, seolah
mengucapkan kata “biarkan dia sendiri”. Hana menurut, tetap berdiri di samping
pria itu. Mungkin memang lebih baik dia tetap berada di dekat Daffin mengingat
nanti malam pria itu sudah harus dioperasi. Mata Hana mendadak memanas bila
mengingat kemungkinan yang akan terjadi nanti. Kemungkinan keberhasilannya
hanya 20%. Apa dia sanggup menerima kemungkinan terburuknya?
“Kenapa?” tanya
Daffin yang sejak tadi memandangi Hana. Dia melihat ada mata Hana memerah.
Hana menggeleng
cepat, mengusir kesedihannya dan tersenyum ceria.
“Han, gue boleh
minta sesuatu dari lo?” ucap Daffin kemudian.
“Apa?”
“Jagain Jessica
ya, jangan tinggalin dia apapun yang terjadi. Dia selalu kesepian, dia butuh
teman, Han. Dan gue rasa Cuma lo yang selalu bisa jadi temannya, sahabat
dekatnya,” tutur Daffin.
“Tap-tapi, Fin…
Jessica benci gue. Dia pasti nggak mau terima gue lagi.” Hana tidak menolak
permintaan Daffin. Dia hanya merasa tidak yakin Jessica mau berteman dengannya
lagi. Dia sudah melukai hati sahabatnya itu dengan bersandiwara menjadi kekasih
Daffin.
Daffin menarik
ujung bibirnya ke atas dengan susah payah. Badannya mulai melemah. Bahkan untuk
tersenyum saja begitu susah. “Dia akan memaafkan lo, Han.”
Hana terdiam.
Apa itu benar? Apa Jessica akan memaafkannya?
“Itu bukan salah
lo, Han. Jess pasti maafin lo,” lanjut Daffin.
Tapi gue
menikmati saat-saat bersama lo, Fin, balas Hana dalam hati. Gue secara nggak
langsung udah ngekhianati Jessica.
“Semua akan
baik-baik saja, Han.”
Hana mencoba
meyakini ucapan Daffin meski sebenarnya ia tidak merasa yakin. Ia mengangguk
percaya.
“Gue lelah, gue
mau tidur dulu.” Tanpa meminta persetujuan Hana, mata Daffin sudah terpejam
lebih dulu.
@-@
Tidak ada
sedikit senyum di wajah mereka. Tegang, takut, cemas, dan sedih. Hanya
perasaan-perasaan seperti itu yang bercongkol di hati mereka. Sebagian memilih
diam dan menyimpan apa yang dirasanya sendiri. Sebagian yang lain
mengekspresikannya secara nyata lewat air mata yang keluar. Ya, seperti yang
dilakukan wanita paruh baya itu. Dia menangis perlahan di dalam dekapan
suaminya. Viona masih belum dapat menerima kemungkinan terburuk yang akan
terjadi selanjutnya.
Alex dan Leon
memilih bungkam, duduk di salah satu bangku di depan ruang operasi. Hana pun
melakukan hal yang sama, sesekali ia mengusap air matanya. Lesnar sedikit
menjauh dari kedua temannya. Sengaja menjaga jarak. Hatinya masih sedikit kesal
dengan keputusan Daffin yang menyembunyikan penyakitnya dari Jessica.
Sebuah ranjang
di dorong melewati ketujuh orang itu. Di atasnya Daffin terbaring lemah.
Ranjang dorongnya berhenti sebentar di ambang pintu. Viona menggenggam tangan
putranya. Seolah tak ingin melepasnya karena takut kehilangan. “Mama jaga diri
baik-baik ya!” pesan Daffin pada Viona. Wanita paruh baya itu menggeleng lemah.
Bukan, bukan itu yang ingin didengarnya.
Pandangan Daffin
beralih pada kedua sahabatnya, Alex dan Leon. “Lo harus hidup, Daff!’ tuntut Alex.
Berusaha menyemangati sahabatnya.
“Iya, lo harus
kuat di dalam sana nanti.” Leon menyahut.
Daffin hanya
mengulas senyum kecil untuk kedua sahabatnya. Giliran Hana mendekat pada
Daffin. Sebutir air mata meluncur dengan mulus di pipinya. “Lo masih ingat
janji lo kan, Han?” ujar Daffin. Hana mengangguk sekali. “Cuma itu yang gue
minta. Jangan terlalu bersedih ya!”
Hana tidak
sanggup menahan luapan kesedihannya. Dia menutup mulut dengan sebelah tangannya
lalu beranjak pergi. Ucapan Daffin mengisyaratkan kalau itu adalah pesan
terakhirnya.
Setelah itu,
suster kembali mendorong ranjang Daffin memasuki ruang operasi. Sekitar dua jam
lamanya Daffin akan terkurung dalam ruangan itu, mempertaruhkan nyawanya. Entah
hidup atau mati setelah itu.
@-@
Semua masih diam
terpaku di depan ruang operasi. Menunggu adalah hal yang paling menyebalkan.
Tapi hanya itu yang bisa mereka lakukan. Lesnar merasa jenuh. Ia menyinggir. Ia
tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Jessica harus segera tahu masalah ini.
Dikeluarkannya HP dari sakunya. Setelah menekan tomboh dial untuk nomor
Jessica, Lesnar menunggu teleponnya dijawab.Tidak perlu waktu lama. Dua detik
terdengar bunyi krek pertanda diangkat oleh sang empunya telepon. “Jess?” seru
Lesnar.
“Hai, Les.. lo
dimana?” Suara Jessica terdengar riang.
Lesnar menarik
napas dalam-dalam sebelum mulai membuka suara lagi. “Gue di rumah sakit, Jess.”
“Rumah sakit? Lo
sakit, Les?” nada suara Jessica terdengar cemas.
“Nggak, Jess.
Bukan gue. Ini tentang Daffin….” Lesnar pun memulai menceritakan semua yang ia
tahu tentang Daffin pada Jessica. Bibir gadis itu bergetar. Kakinya serasa
lemas dan tak mampu menopang tubuhnya untuk tegak berdiri.
“Jess… jess…”
Beberapa kali Lesnar memanggil gadis itu karena tak kunjung mendapat jawaban
apapun dari seberang. Lesnar jadi sedikit cemas.
Jessica mencoba
kuat. Ia harus ke sana. ia harus menemui Daffin. Tanpa mempedulikan suara
Lesnar di handphonenya, gadis itu berlari keluar apartemennya. Tujuannya adalah
rumah sakit.
@-@
Jessica
menghentikan larinya saat ia mulai mendapati orang-orang yang dikenalinya duduk
di sebuah ruangan. Langkahnya terasa berat. Dengan gontai ia mendekat ke
ruangan itu. Di dalam pasti ada Daffin, batinnya. Ia bertekad untuk menemui
pria yang dicintainya itu. Hana menahan lengan Jessica. Dengan lemah Jessica
memutar kepalanya menatap Hana. Air mata Jessica sudah menggenang di pelupuk
mata. Hana merogoh sesuatu di dalam saku jeansnya. Sebuah benda yang kemarin
Daffin titipkan padanya. Logam emas putih kecil berbentuk lingkaran dengan
sebuah butir berlian mungil. Hana meletakkan cincin itu di atas telapak Jessica
tanpa berkata-kata.
Jessica
memandangi benda itu. Air matanya jatuh seketika. Itu cincin pertunangannya
dengan Daffin. Jessica tidak dapat menahan diri lagi. ia ingin bertemu Daffin.
Jessica berlari cepat menuju pintu ruang operasi. Terkunci. Ia tidak bisa
masuk. Kedua tangannya mengepal, menggedor pintu itu, berharap bisa masuk.
“Buka! Buka! Gue mau ketemu Daffin!” teriaknya histeris sambil berlinangan air
mata. Sontak Alex dan Leon menghampiri Jessica. Menahan kedua bahu Jessica
untuk menjauhi pintu itu.
“Jess, tenang!”
Alex mencoba menenangkan.
“Daffin, Lex…
gue mau ketemu Daffin!” teriak Jessica.
“Iya. Nanti. Dia
masih dioperasi, Jess.”
“Hiks hiks
hiks.” Jessica menangis tersedu. Dia tidak lagi berontak seperti tadi.
Krek. Pandangan
semua mata teralih. Sebuah ranjang didorong keluar dari ruang operasi. Sontak
semua orang berlari menghampirinya.
“Daffin!” Ledak
tangis Viona yang pertama kali terdengar. Oscar meraih tubuh istrinya,
memeluknya. Berusaha tegar meski sebenarnya ia juga sedih. Di atas ranjang itu
sebuah selimut putih menutup tubuh kaku yang terbaring di atasnya. Kenyataannya
Daffin telah tiada.
“Maaf, kami
sudah berusaha semaksimal mungki. Tapi nyawanya tidak dapat ditolong…” Seorang
dokter pria menghampiri Oscar, mengatakan rasa sedihnya. Oscar terdiam.
Suaranya tercekat di tenggorokan.
Alex dan Leon
berdiri kaku. sahabatnya sudah tiada. Mereka cukup syok. Sedangkan, Hana
menangis dalam diam. Lesnar pun tidak jauh beda dengan Alex. Tapi dia masih
cukup sadar untuk berusaha menenangkan Jessica yang menangis sambil
menggoyang-goyangkan tubuh Daffin.
“Daff, bangun…
jangan tinggalin gue! Lo jahat, Daff!” histeris Jessica.
“Jess, Daffin
udah pergi,” ujar Lesnar. Direngkuhnya tubuh Jessica.
“Daffin, Les…
Daffin…” Gadis it uterus bergumam. Mendadak kepalanya berputar. Kenyataaan
menyakitkan itu seperti menghantam kepala dengan keras. Tubuh Jessica melemas
hingga tak sadarkan diri. Untunglah Lesnar menangkap tubuhnya untuk tidak
roboh.
@.@
Di sinilah
Jessica berdiri. Sebuah gundukan tanah yang tertutupi rumput jepang. Beberapa
helai mawar mengering di atasnya. Sudah hampir sebulan Jessica tidak
mengunjunginya. Ia berjongkok, meraup helaian kelopak mawar dari kantung plastik
hitam yang dibawanya. Lalu menaburkan di atas gundukan itu.
Kejadiannya
seperti baru kemarin terjadi. Air mata kembali menggenang di pelupuk mata
Jessica. “Mom…” Sebuah suara menyadarkan Jessica. Ia menoleh, menatap seorang
anak lelaki berumur lima tahun yang menatapnya sendu. Buru-buru Jessica
mengusap air matanya. Anak lelaki itu mendekat dan memeluknya erat. “Mom,
jangan sedih. Masih ada Jayden di sini. Kalau Mom sedih kasihan dady di sana,
pasti ikut sedih juga,” ujar anak lelaki itu.
Jessica mengangguk
perlahan. Dia tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Masih ada Jayden di
sisinya. Satu-satunya peninggalan Daffin yang paling berharga. Jessica
bersumpah akan menjaga anaknya itu dengan baik. Satu-satunya yang selalu
membuat Jessica bertahan selama ini hanyalah Jayden. Jika bukan karena
mengatahui ada Jayden dalam perutnya, mungkin dulu ia sudah mencoba bunuh diri
setelah kematian Daffin.
“Sudah selesai!”
Suara berat seorang pria menyadarkan Jessica. Ia berdiri setelah melepas
pelukan Jayden.
“Papa…” Jayden
menghambur memeluk pria itu. Jessica tersenyum melihat kelakuan anaknya itu.
Ayah kandung Jayden memang telah tiada bahkan sebelum anak itu terlahir di
dunia. Tapi Jessica tetap bersyukur karena ada Lesnar yang bersedia menjadi
sosok seorang ayah bagi Jayden. Anaknya tidak pernah kehilangan kasih sayang
sedikit pun. Dan Jessica perlahan kembali kuat karena kehadiran Jayden dan
Lesnar di sisinya.
-end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar