Rabu, 05 Desember 2012

HARUHARU (6 *END)


Pagi-pagi sekali, Hana sudah rapi. Penampilannya seperti biasa cantik dan menawan. Setelah memastikan penampilannya sudah sesuai yang diinginkannya melalu cermin riasnya, Hana menyambar tas, membuka pintu dan berjalan menuju Handa Jazz-nya.
Baru pukul 7.30, tapi lalu lintas Jakarta sudah mulai memadat. Padahal ini hari sabtu. Beberapa kantor pasti libur. Jakarta seperti tidak mengenal kata libur atau lengang. Pengendara motor, mobil dan angkutan umum saling berjejalan di jalan beraspal yang sudah tidak lagi lebar. Bunyi klakson dan umpatan yang keluar dari mulut beberapa pengendara menggema mengiringi deru kendaraan bermotor yang lalu lalang. Kapan ya Jakarta bisa sedikit lega dan ramah? Batin Hana dibalik kemudinya. Dia masih cukup punya kesabaran untuk melintas menembus lalu lintas kota Jakarta pagi ini. Tujuannya hanya satu, mengunjungi Daffin.
Hana tidak pernah lelah menemani pria itu. Setiap saat bahkan ia ingin bisa selalu bersamanya. Sayangnya, itu semua tidak bisa terwujud sebagaimana mestinya. Daffin hanya menganggapnya sahabat, tidak lebih. Hana harus menelan kepedihannya karena bertepuk sebelah tangan itu sendiri. Dia tidak bisa menyalahkan siapa pun. Daffin dengan segala pesona yang dimilikinya tidak bersalah atas cinta yang dimiliki Hana untuk pria itu. Cinta itu datang dengan sendirinya tanpa bisa dicegah.
Setengah jam perjalanan dari rumah ke rumah sakit berhasil Hana tembuh dengan baik. Setelah memarkirkan Jazz merahnya, gadis itu segera menjejakkan kakinya di lorong rumah sakit. Daffin masih berada di ruang yang sama. Meski Daffin terbaring dengan alat-alat yang menyiksa, Hana patut bersyukur karena pria yang dicintainya itu tidak harus dirawat di ruang ICU. Pilu rasanya jika melihat itu terjadi. Membayangkannya saja Hana sudah ngeri dan sedih.
“Selamat pagi,” sapa Hana begitu memasuki ruang rawat Daffin. Ruang itu sepi. Tidak ada perawat, dokter maupun kedua orang tua Daffin yang menjaga. Hana melangkah perlahan karena sapaannya tidak mendapat jawaban. Pasti Daffin masih tertidur pulas. Dan benar. Saat Hana sudah mencapai di dekat tempat tidur Daffin, pria itu memang masih memejamkan mata. Hana memandanginya dalam-dalam. Wajah yang pias dan lemas. Tulang-tulang pipinya mulai tampak menonjol. Daffin semakin kurus. Hana mengulurkan tangannya, menggenggam sebelah tangan Daffin.
“Jessica…” gumam Daffin saat merasakan seseorang menyentuhnya.
Hana tersentak. Dadanya terasa sesak. Bukan namanya yang dikumandangkan bibir Daffin, melainkan Jessica. Hana tidak dapat menahan air matanya untuk keluar. Sekian tahun mereka saling mengenal, hanya Jessica yang selalu ada di hati Daffin. Pria itu tidak pernah sekali pun melupakan pujaan hatinya itu. Hana sudah tahu pasti itu. Tapi, keegoisannya menolak untuk mengakuinya. Rasa egois yang menginginkan Daffin juga membalas perasaannya berontak pada kenyataan yang sebenarnya.
Gerak jemari Daffin menyadarkan Hana. Buru-buru dia mengusap air mata yang tadi meleleh membasahi wajahnya. Perlahan mata Daffin membuka.
“Lo udah bangun?” sapa Hana. Daffin menarik ujung bibirnya ke atas dengan susah payah.
“Sejak kapan lo datang?” tanya Daffin.
“Baru lima belas menit lalu,” jawab Hana.
Daffin tak menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke depan, menatap kosong langit-langit rumah sakit yang putih. “Nanti malam gue bakal dioperasi,” ujar Daffin datar.
Hana tidak terkejut mendengarnya. Jauh-jauh hari sebelumnya, rencana itu memang sudah pernah ia dengar. “Lo harus kuat!”
“Hmmm… kemungkinannya 20%.”
Hana tahu resiko apa yang akan didapat dari operasi yang akan dilakukan Daffin. Hanya 20% operasi ini bisa berhasil, kemungkinan Daffin dapat bertahan hidup hanya 20%. “Tapi lo tetap harus kuat,” kekeh Hana.
“Gue nggak bisa janji.”
“Lo nggak boleh menyerah, Fin!” Hana tidak dapat menahan emosinya, juga air matanya yang turun.
“Gue tahu. Thanks lo udah ada di samping gue.”
“Gue bakal benci sama lo kalau lo nyerah sama penyakit ini!” ancam Hana.
“Penyakit apa?” Tanpa Hana sadari, sejak Hana keluar rumah ia sudah diikuti. Seorang pria berkaca mata masuk menghampiri Hana dan Daffin. Hana terkejut melihat pria itu. Sedangkan, Daffin mengulas senyum di bibirnya. Ia sudah siap akan hal ini.
“Hay, Les… akhirnya lo ngunjungin gue juga,” ujar Daffin.
Hana menoleh memandangnya tidak mengerti.
Lesnar mendekat dan berdiri di samping kanan Daffin–berseberangan dengan Hana yang berdiri di samping kanan Daffin. “Lo sakit apa?” tanya Lesnar.
Daffin tersenyum lagi. Lesnar tahu Daffin tidak akan menjawabnya. Jadi, ia mengalihkan pandangannya pada Hana. “Bisa jelasin ke gue, Han?” desaknya.
Hana memalingkan muka, tidak mau menjawab.
“Oke, kalau kalian nggak mau menjawab, gue akan…”
“Kanker pancreas,” potong Daffin. “Gue kena kanker pancreas stadium akhir.”
Lesnar membelalak mendengarnya. Dengan gemas ia meremar rambutnya dengan kedua tangan. Frustasi dengan kenyataan yang tak terduga itu. “Jessica tahu ini?” tanyanya kemudian. Daffin menggeleng lemah. “Kenapa?” lanjut Lesnar.
Sorot mata Daffin berubah pilu. Lesnar mencoba mengartikannya sendiri tanpa mendengar kata-kata dari mulut sahabatnya. “Tapi dia berhak tahu,” ujar Lesnar.
“Nggak. Dia nggak seharusnya tahu,” balas Daffin.
“Tapi apa lo nggak mikir gimana perasaan dia? Lo udah nyakitin dia dengan…” Lesnar tak dapat meneruskan kata-katanya. Dia masih bingung dengan hubungan Daffin dan adiknya. Sungguhankah atau sandiwara?
“Justru karena gue mikirin perasaannya makanya dia nggak boleh tahu ini. Dia nggak boleh berada di dekat gue saat gue sekarat,” ujar Daffin.
Lesnar mendesah pasrah. Ia tidak berkata apapun, pergi adalah jalan terbaik agar emosinya tidak bertambah buruk. Cukup sudah mengetahui kenyataan yang mengecewakannya ini. Ia tidak mau terus berdebat dengan Daffin yang sudah sekarat itu.
Daffin menahan lengan Hana yang ingin mengejar kakaknya. Pria itu menggeleng pelan, seolah mengucapkan kata “biarkan dia sendiri”. Hana menurut, tetap berdiri di samping pria itu. Mungkin memang lebih baik dia tetap berada di dekat Daffin mengingat nanti malam pria itu sudah harus dioperasi. Mata Hana mendadak memanas bila mengingat kemungkinan yang akan terjadi nanti. Kemungkinan keberhasilannya hanya 20%. Apa dia sanggup menerima kemungkinan terburuknya?
“Kenapa?” tanya Daffin yang sejak tadi memandangi Hana. Dia melihat ada mata Hana memerah.
Hana menggeleng cepat, mengusir kesedihannya dan tersenyum ceria.
“Han, gue boleh minta sesuatu dari lo?” ucap Daffin kemudian.
“Apa?”
“Jagain Jessica ya, jangan tinggalin dia apapun yang terjadi. Dia selalu kesepian, dia butuh teman, Han. Dan gue rasa Cuma lo yang selalu bisa jadi temannya, sahabat dekatnya,” tutur Daffin.
“Tap-tapi, Fin… Jessica benci gue. Dia pasti nggak mau terima gue lagi.” Hana tidak menolak permintaan Daffin. Dia hanya merasa tidak yakin Jessica mau berteman dengannya lagi. Dia sudah melukai hati sahabatnya itu dengan bersandiwara menjadi kekasih Daffin.
Daffin menarik ujung bibirnya ke atas dengan susah payah. Badannya mulai melemah. Bahkan untuk tersenyum saja begitu susah. “Dia akan memaafkan lo, Han.”
Hana terdiam. Apa itu benar? Apa Jessica akan memaafkannya?
“Itu bukan salah lo, Han. Jess pasti maafin lo,” lanjut Daffin.
Tapi gue menikmati saat-saat bersama lo, Fin, balas Hana dalam hati. Gue secara nggak langsung udah ngekhianati Jessica.
“Semua akan baik-baik saja, Han.”
Hana mencoba meyakini ucapan Daffin meski sebenarnya ia tidak merasa yakin. Ia mengangguk percaya.
“Gue lelah, gue mau tidur dulu.” Tanpa meminta persetujuan Hana, mata Daffin sudah terpejam lebih dulu.
@-@

Tidak ada sedikit senyum di wajah mereka. Tegang, takut, cemas, dan sedih. Hanya perasaan-perasaan seperti itu yang bercongkol di hati mereka. Sebagian memilih diam dan menyimpan apa yang dirasanya sendiri. Sebagian yang lain mengekspresikannya secara nyata lewat air mata yang keluar. Ya, seperti yang dilakukan wanita paruh baya itu. Dia menangis perlahan di dalam dekapan suaminya. Viona masih belum dapat menerima kemungkinan terburuk yang akan terjadi selanjutnya.
Alex dan Leon memilih bungkam, duduk di salah satu bangku di depan ruang operasi. Hana pun melakukan hal yang sama, sesekali ia mengusap air matanya. Lesnar sedikit menjauh dari kedua temannya. Sengaja menjaga jarak. Hatinya masih sedikit kesal dengan keputusan Daffin yang menyembunyikan penyakitnya dari Jessica.
Sebuah ranjang di dorong melewati ketujuh orang itu. Di atasnya Daffin terbaring lemah. Ranjang dorongnya berhenti sebentar di ambang pintu. Viona menggenggam tangan putranya. Seolah tak ingin melepasnya karena takut kehilangan. “Mama jaga diri baik-baik ya!” pesan Daffin pada Viona. Wanita paruh baya itu menggeleng lemah. Bukan, bukan itu yang ingin didengarnya.
Pandangan Daffin beralih pada kedua sahabatnya, Alex dan Leon. “Lo harus hidup, Daff!’ tuntut Alex. Berusaha menyemangati sahabatnya.
“Iya, lo harus kuat di dalam sana nanti.” Leon menyahut.
Daffin hanya mengulas senyum kecil untuk kedua sahabatnya. Giliran Hana mendekat pada Daffin. Sebutir air mata meluncur dengan mulus di pipinya. “Lo masih ingat janji lo kan, Han?” ujar Daffin. Hana mengangguk sekali. “Cuma itu yang gue minta. Jangan terlalu bersedih ya!”
Hana tidak sanggup menahan luapan kesedihannya. Dia menutup mulut dengan sebelah tangannya lalu beranjak pergi. Ucapan Daffin mengisyaratkan kalau itu adalah pesan terakhirnya.
Setelah itu, suster kembali mendorong ranjang Daffin memasuki ruang operasi. Sekitar dua jam lamanya Daffin akan terkurung dalam ruangan itu, mempertaruhkan nyawanya. Entah hidup atau mati setelah itu.
@-@

Semua masih diam terpaku di depan ruang operasi. Menunggu adalah hal yang paling menyebalkan. Tapi hanya itu yang bisa mereka lakukan. Lesnar merasa jenuh. Ia menyinggir. Ia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Jessica harus segera tahu masalah ini. Dikeluarkannya HP dari sakunya. Setelah menekan tomboh dial untuk nomor Jessica, Lesnar menunggu teleponnya dijawab.Tidak perlu waktu lama. Dua detik terdengar bunyi krek pertanda diangkat oleh sang empunya telepon. “Jess?” seru Lesnar.
“Hai, Les.. lo dimana?” Suara Jessica terdengar riang.
Lesnar menarik napas dalam-dalam sebelum mulai membuka suara lagi. “Gue di rumah sakit, Jess.”
“Rumah sakit? Lo sakit, Les?” nada suara Jessica terdengar cemas.
“Nggak, Jess. Bukan gue. Ini tentang Daffin….” Lesnar pun memulai menceritakan semua yang ia tahu tentang Daffin pada Jessica. Bibir gadis itu bergetar. Kakinya serasa lemas dan tak mampu menopang tubuhnya untuk tegak berdiri.
“Jess… jess…” Beberapa kali Lesnar memanggil gadis itu karena tak kunjung mendapat jawaban apapun dari seberang. Lesnar jadi sedikit cemas.
Jessica mencoba kuat. Ia harus ke sana. ia harus menemui Daffin. Tanpa mempedulikan suara Lesnar di handphonenya, gadis itu berlari keluar apartemennya. Tujuannya adalah rumah sakit.
@-@

Jessica menghentikan larinya saat ia mulai mendapati orang-orang yang dikenalinya duduk di sebuah ruangan. Langkahnya terasa berat. Dengan gontai ia mendekat ke ruangan itu. Di dalam pasti ada Daffin, batinnya. Ia bertekad untuk menemui pria yang dicintainya itu. Hana menahan lengan Jessica. Dengan lemah Jessica memutar kepalanya menatap Hana. Air mata Jessica sudah menggenang di pelupuk mata. Hana merogoh sesuatu di dalam saku jeansnya. Sebuah benda yang kemarin Daffin titipkan padanya. Logam emas putih kecil berbentuk lingkaran dengan sebuah butir berlian mungil. Hana meletakkan cincin itu di atas telapak Jessica tanpa berkata-kata.
Jessica memandangi benda itu. Air matanya jatuh seketika. Itu cincin pertunangannya dengan Daffin. Jessica tidak dapat menahan diri lagi. ia ingin bertemu Daffin. Jessica berlari cepat menuju pintu ruang operasi. Terkunci. Ia tidak bisa masuk. Kedua tangannya mengepal, menggedor pintu itu, berharap bisa masuk. “Buka! Buka! Gue mau ketemu Daffin!” teriaknya histeris sambil berlinangan air mata. Sontak Alex dan Leon menghampiri Jessica. Menahan kedua bahu Jessica untuk menjauhi pintu itu.
“Jess, tenang!” Alex mencoba menenangkan.
“Daffin, Lex… gue mau ketemu Daffin!” teriak Jessica.
“Iya. Nanti. Dia masih dioperasi, Jess.”
“Hiks hiks hiks.” Jessica menangis tersedu. Dia tidak lagi berontak seperti tadi.
Krek. Pandangan semua mata teralih. Sebuah ranjang didorong keluar dari ruang operasi. Sontak semua orang berlari menghampirinya.
“Daffin!” Ledak tangis Viona yang pertama kali terdengar. Oscar meraih tubuh istrinya, memeluknya. Berusaha tegar meski sebenarnya ia juga sedih. Di atas ranjang itu sebuah selimut putih menutup tubuh kaku yang terbaring di atasnya. Kenyataannya Daffin telah tiada.
“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungki. Tapi nyawanya tidak dapat ditolong…” Seorang dokter pria menghampiri Oscar, mengatakan rasa sedihnya. Oscar terdiam. Suaranya tercekat di tenggorokan.
Alex dan Leon berdiri kaku. sahabatnya sudah tiada. Mereka cukup syok. Sedangkan, Hana menangis dalam diam. Lesnar pun tidak jauh beda dengan Alex. Tapi dia masih cukup sadar untuk berusaha menenangkan Jessica yang menangis sambil menggoyang-goyangkan tubuh Daffin.
“Daff, bangun… jangan tinggalin gue! Lo jahat, Daff!” histeris Jessica.
“Jess, Daffin udah pergi,” ujar Lesnar. Direngkuhnya tubuh Jessica.
“Daffin, Les… Daffin…” Gadis it uterus bergumam. Mendadak kepalanya berputar. Kenyataaan menyakitkan itu seperti menghantam kepala dengan keras. Tubuh Jessica melemas hingga tak sadarkan diri. Untunglah Lesnar menangkap tubuhnya untuk tidak roboh.


@.@

Di sinilah Jessica berdiri. Sebuah gundukan tanah yang tertutupi rumput jepang. Beberapa helai mawar mengering di atasnya. Sudah hampir sebulan Jessica tidak mengunjunginya. Ia berjongkok, meraup helaian kelopak mawar dari kantung plastik hitam yang dibawanya. Lalu menaburkan di atas gundukan itu.
Kejadiannya seperti baru kemarin terjadi. Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Jessica. “Mom…” Sebuah suara menyadarkan Jessica. Ia menoleh, menatap seorang anak lelaki berumur lima tahun yang menatapnya sendu. Buru-buru Jessica mengusap air matanya. Anak lelaki itu mendekat dan memeluknya erat. “Mom, jangan sedih. Masih ada Jayden di sini. Kalau Mom sedih kasihan dady di sana, pasti ikut sedih juga,” ujar anak lelaki itu.
Jessica mengangguk perlahan. Dia tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Masih ada Jayden di sisinya. Satu-satunya peninggalan Daffin yang paling berharga. Jessica bersumpah akan menjaga anaknya itu dengan baik. Satu-satunya yang selalu membuat Jessica bertahan selama ini hanyalah Jayden. Jika bukan karena mengatahui ada Jayden dalam perutnya, mungkin dulu ia sudah mencoba bunuh diri setelah kematian Daffin.
“Sudah selesai!” Suara berat seorang pria menyadarkan Jessica. Ia berdiri setelah melepas pelukan Jayden.
“Papa…” Jayden menghambur memeluk pria itu. Jessica tersenyum melihat kelakuan anaknya itu. Ayah kandung Jayden memang telah tiada bahkan sebelum anak itu terlahir di dunia. Tapi Jessica tetap bersyukur karena ada Lesnar yang bersedia menjadi sosok seorang ayah bagi Jayden. Anaknya tidak pernah kehilangan kasih sayang sedikit pun. Dan Jessica perlahan kembali kuat karena kehadiran Jayden dan Lesnar di sisinya.

-end-

Tidak ada komentar: