Rabu, 05 Desember 2012

REMEMBER YOU


Apa besok aku boleh ke sana?

Kubaca sebuah pesan yang semenit lalu masuk ke dalam nomorku. Huh, cowok ini benar-benar membuatku harus menahan diri untuk tidak meledak. 
Jemariku pun langsung bergerak lincah di atas keypad HPku. Membalasnya dengan segera agar dia tidak berbuat 'nekat'.

Tidak! Apa kau sudah gila?

Send.

Drrrtt.. drrrttt... Tidak butuh waktu lama. Balasan sms darinya muncul.

Oh, ayolah. Aku merindukanmu.

Jemariku kembali bergerak cepat. Bukan membalas pesannya, melainkan langsung meneleponnya. Tut...tutt... terdengar nada sambung di seberang sana. Krek. Diangkat langsung.

"DASAR GILA! BUKANKAH KEMARIN KAU BARU SAJA KEMARI!"

Aku bisa pastikan dia sedang menjauhkan handphone dari telinganya. Belum sempat dia menyapa, aku sudah mengomelinya dengan suara keras. 

"Astaga, Rena.. kau mau membuat gendang telingaku pecah ya?" tuturnya kemudian.

"Kau sendiri yang memulainya!" balasku tidak mau kalah.

"Memulai apa? Aku hanya ingin menemuimu. Itu saja apa tidak boleh?"

"Bukankah kemarin kita sudah bertemu? Aku mohon Dan, berhentilah main-main. Sebentar lagi kau akan ujian. jangan membuang-buang waktumu hanya untuk menemuiku. Jarak Semarang-Surakarta itu kan lumayan jauh." Demi kegantengan Seshomaru, sikapku ini bukan berarti aku tidak menyayanginya. Aku melakukan ini untuk kebaikan Dan.

"Aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya ingin melihatmu. Aku merindukanmu, Re..." ujarnya, lebih terdengar seperti rengekan.

"Kalau kau terus seperti ini... lebih baik kita... PUTUS!" Klik. Aku memutus sambungan telepon sebelum mendengarkan Dan menyahut. Biarlah, meskipun terkesan terburu-buru dan disertai emosi yang meluap, aku rasa keputusanku itu tepat. Lebih baik begini. Kalau kami putus, dia tidak akan memikirkanku lagi, merindukanku, bahkan meluangkan waktu untuk bertemu denganku. Waktu belajarnya untuk ujian kelulusan pun tidak akan terganggu.

Maafkan aku, Dan. Aku harus melakukan ini.
***

"Kenapa kau berbuat seenaknya seperti itu?" Seseorang menarik lenganku paksa saat aku keluar dari gerbang sekolah. Beberapa siswa sekolahku memandangi kami.

"Apa yang kau lakukan di sini?" protesku. Seharusnya aku sudah bisa menduga kalau dia akan 'nekat' seperti ini setelah aku memutusnya semalam.

"Harusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang kau lakukan? Kenapa tiba-tiba mengatakan putus?" ujarnya keras. Kini perhatian semua orang tertuju pada kami.

"Kau benar-benar sudah Gila, Dan!" desisku sembari menyentak tangannya, lalu berjalan menjauhinya. 

"Re, tunggu! Aku belum selesai!" Dan berlari cepat menghadangku.

"Tapi aku sudah selesai!" tolakku.

"Kau...."

"Tolong, Dan, tinggalkan aku! Aku tidak mau bertemu denganmu."

Kilasan-kilasan kejadian itu masih begitu jelas dalam benakku. Seperti baru kemarin itu terjadi. Seperti baru kemarin aku kehilangan dia. Ya, itu semua terasa seperti baru kemarin. Padahal sudah lewat lima tahun.

Di sini yang kulihat hanyalah gundukan tanah berselimut kelopak-kelopak mawar mengering. Di dalam gundukan ini tersimpan jasadnya yang sudah melebur menjadi tanah, tinggal tulang belulang tersisa. Tak banyak yang kulakukan di sini setelah selesai memanjatkan doa untuknya. Memandangi gundukan tanah itu dan sesekali menghapus butiran air mata yang hampir jatuh. 

"Kamu bisa menangis sesukamu sampai air mtamu itu habis, tapi tahukah kamu melihatmu sedih seperti itu aku juga turut merasakannya."

Mungkin kata-katanya itu yang membuatku tetap kuat dan tidak membiarkan setitik air mata pun jatuh terlalu deras. Setiap kali akan jatuh, aku menahannya karena aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi.

Awan mendung berarak bersama dengan desiran angin. Menggoreskan warna hitam pekat di atas sana. Sebentar lagi langit akan memuntahkan titik-titik airnya ke bumi. Bukannya beranjak pergi dari tempatku berdiri. Aku menengadahkan kepala ke atas. Bukan sengaja menantang. Hanya membiarkan tetes-tetes air itu menentramkan hatiku yang masih kalut. Kupejamkan mata perlahan saat tetes pertama mengenai pipiku. Dingin.

Aku meninggalkannya begitu saja. Tanpa menoleh sedikit pun. Aku tahu dia pasti sangat hancur kuteriaki seperti itu. Karena aku merasakan hal yang sama.
Hancur. Terkadang apa yang kita rencanakan tidak bisa berjalan seperti yang direncanakan. Dan seperti itulah yang terjadi pada hubungan kami. Aku memilih putus agar dia bisa lebih terkonsentrasi pada pendidikannya. Aku tidak mau menjadi penghambat kesuksesannya. 

Entah itu deringan yang keberapa kalinya. Aku mengacuhkannya. Kubiarkan Iris dari Ronan Keating terus bersenandung. 

"Re, mau sampai kapan kamu membiarkan HPmu berbunyi?" tegur Mbak Vivi yang duduk di depan meja belajar. Dia menoleh padaku karena mungkin dering HPku sudah mengganggu konsentrasi belajarnya. Terpaksa. Dengan malas kuangkat HPku tanpa melihat siapa sang penelponnya.

"Ass...."

"Alhamdulilah, akhirnya kamu mengangkatnya juga, Re..." belum sempat aku memberi salam si penelponku sudah menyela. Keningku berkerut sekilas. lalu kujauhkan HPku, menatap layarnya. Mbak Denis. begitulah nama yang tertera. Berbagai macam pertanyaan muncul dalam benakku.

"Ada apa, Mbak?" Aku mengutarakan rasa ingin tahuku.

"Dani, re... Dani..." Mbak Denis terdengar panik.

"Dani? kenapa dengan Dani, Mbak?" Perasaanku jadi tidak enak. Apa terjadi sesuatu padanya? Kecemasan akhirnya menjalari hatiku.

"Dia...hiks hiks..." Mbak Denis menangis.

"Ada apa, Mbak? Tolong katakan," pintaku.

"Dia kritis sekarang karena kecelakaan sore tadi."

Rasanya aku mau mati saat ini juga. bagai ada petir yang menyambar. Aku tergelak. Diam membeku. Dari seberang sana Mbak Denis terus saja berujar menceritakan kejaidan yang terjadi. HPku masih menempel di telingaku. Aku masih mendengarkan meski pikiranku memikirkan yang lain. Dani? bagaimana bisa? Apa ini karena aku? Aku sudah membuatnya celaka!

Hanya dalam hitungan menit tubuhku sudah basah kuyup.Sesuatu menyeruak keluar dari kelopak mataku, jatuh bersama dengan tetesan air hujan dari langit. Mengingatnya menyakitkan. tapi aku tidak bisa lupa semua kenangan tentangnya. tidak sekalipun. Dia sudah pergi untuk selamanya. Nyawanya tidak tertolong. Semua itu karena aku. Akulah satu-satunya alasany yang sudah membuatnya celaka. Walaupun sudah lama terjadi, penyesalan itu masih tertimbun di dalam relung hatiku. Rasa bersalah. Harusnya aku tidak berbuat bodoh. Harusnya aku tetap membiarkan dia untuk bebas mencintaiku. Kalau saja waktu bisa diputar kembali, aku akan memperbaiki semuaya. Tak akan kubiarkan dia pergi. Maafkan aku, Dan.


--Semarang, 26 Oktober 2012-- Remember You.
To remember the incident at the end of October.

Tidak ada komentar: