Senin, 28 Mei 2012

Duka Dalam Penyesalan

Dia tercengang menapaki jalan setapak rumahnya. Beberapa orang berbaju hitam memandangnya nanar. Gadis berumur belasan tahun itu terus berjalan denga perasaan bingung dan penuh tanya. Bendera kuning melambai-lambai terpasang pada tiang teras depan rumahnya. Siapa yang pergi?
Gemuruh perasaan sedih, takut, dan cemas membuat gadis itu semakin memercepat langkahnya.

Suara isak tangis menyambutnya. Tubuh gadis itu kaku mendapati seonggok tubuh terbaring di tengah ruangan tertutup kain batik. Ia mengenalnya, amat dekat dengannya. Perasaannya makin kacau, sulit menerima kenyataan yang ia lihat. Meski begitu langkah kakinya tak berhenti mendekati seonggok tubuh itu.

Seorang pria berusia dua puluh limaan berwajah keras telah menutup mata dengan kulit yang memucat, tubuh terbungkus kain putih.

Tubuh gadis tadi tak mampu menahan gemetar yang menjalar tiba-tiba. Tubuhnya merosot seketika, jatuh terduduk. Butiran bening mengalir dengan lancar dari mata indah gadis itu. "Bagaimana bisa?" lirihnya.

"Kakakmu sudah tenang di sana." Hanya kalimat itu yg ia dapat dari seorang wanita paruh baya yang menepuk bahunya.

"Tidak." Gadis itu terlihat masih tak percaya. "Kemarin aku baru bertengkar dengannya!" pekikan histeris tak luput keluar dari mulut mungil itu.

"Aku benci Kakak!" Ia mulai kesetanan. Emosinya memuncak. Tangan kananya menyusup ke dalam tas ransel yang dibawanya, mengelurkan selembar kertas. "Lihat! Aku bisa lebih baik darimu. Aku lebih unggul," ucapnya pada sosok yang sudah membatu. Tak ada balasan. Orang-orang memandang ke tengah ruangan dengan tatapan iba.

"Lihat, Bu. Aku lebih baik dari Kakak." Pandangan gadis itu beralih pada wanita paruh baya di belakangnya. "Jadi mulai sekarang aku yg harusnya lebih diperhatikan," sambung gadis itu. 

"Aku bisa mengalahkanmu, Kak! Bangunlah! Katakan bahwa aku lebih hebat!" Ia mencengkeram kain penutup tubuh pria itu seraya menggoyang-goyangkan tubuh yang sudah tak bernyawa. Diam yg didapat membuat gadis itu mrasa pedih, kemenangannya seolah tak berguna lagi dan sia-sia. Apa yang sudah ia lakukan terasa tak berarti. Ia selalu berusaha untuk lebih unggul dari sosok pria itu, selalu berusaha agar lebih baik hanya demi mendapatkan perhatian lebih yang dirasanya kurang ia dapat dari kedua orang tuanya. Meski pun pada akhirnya perhatian itu tak kunjung ia dapatkan karena pria itu selalu menjadi yang paling utama bagi kedua orang tuanya, gadis itu tetap berusaha. Ya, motivasinya adalah pria itu. Tapi sekarang...

Entah ia harus senang atau sedih dalam kehilangan. Senang karena orang yang selalu merebut perhatian kedua orang tuanya telah tiada. Sedih karena dia kehilangan sosok pemacu semangat berjuangnya. Sedangkan, sesal tanpa disadari menyusup masuk dalam diam. Sesal karena tak ada kenangan keceriaan yang mereka bangun bersama. Semua hanya berupa pertengkaran dan rasa iri yang membuahkan kebencian.

Semarang, 28052012


Tidak ada komentar: