Kamis, 31 Mei 2012

Ketakutan Kehilangan

"Apa yang akan kamu lakukan kalau dokter memvonis hidupmu nggak akan lama lagi?" Pertanyaan itu meluncuur begitu saja dari mulutku. Kepalaku tertunduk, tak berani menatap pancaran sinar matanya yang teduh. Melalui ekor mataku tampak segores senyum tersungging di bibirnya.

"Itu cuma vonis dari dokter, kebenarannya belum pasti. Kita masih bisa mengubah takdir. Dan sisa waktuku akan kupakai untuk mengubah kemungkinan buruk itu," jawabnya santai seraya menatap lurus ke depan. Ya, begitulah dia, penuh akan pikiran positif. "Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu padaku?" Dia menoleh padaku, menatapku lekat, menunggu jawaban.

Kutarik napas panjang, mencari ketenangan agar aku dapat mengatakan kenyataan yang menyesakkan ini kepadanya. Perlahan kuputar kepalaku balas menatapnya. Kata-kataku kembali tersendat di tenggorokan. Aku tidak sanggup mengatakan ini. "Kenapa kamu menangis?" Tangan kekarnya membelai pipiku lembut sekali, mengusap butiran air mata yang tiba-tiba jatuh dari pelupuk mataku. "Apa yang terjadi?" bisiknya di telingaku. Kini aku telah berada dalam pelukan hangatnya. Badanku bergetar hebat. Tangisku bukan mereda malah semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar takut kehilangan dia. Kupererat rangkulan tanganku yang melingkari badannya.

"Cup cup cup. Sudah jangan nangis lagi," ucapnya lagi menenangkanku seperti menenangkan seorang anak kecil yang menangis karena kehilangan mainannya. Dia pun mengurai pelukannya setelah sebelumnya mendaratkan kecupan ringan pada puncak kepalaku. Mata teduhnya menatapku penuh kehangatan. "Katakan apa yang terjadi?" tanyanya.

Aku menggeleng pelan, enggan menjawabnya. "Katakan padaku, jangan membuatku cemas seperti ini," ujarnya lembut. Tangan kanannya terangkat membelai pipiku. Ini yang kusuka darinya, penuh akan kelembutan. Sejenak aku terhipnotis oleh perlakuannya. "Rin, aku benar-benar cemas sekarang!" gumamnya sedikit kesal.

Kudongakkan kepalaku agar aku dapat menatap manik mata hitam pekatnya. Dia diam menungguku mengatakan sesuatu. Huft. Helaan napas ringan menjadi awalanku membuka suara. "Aku hamil." Dua kata singkat yang kulontarkan membuat matanya membulat. Dalam detik berikutnya ujung bibirnya tertarik ke atas.

"Itu berita menggembirakan, Rin," ujarnya bahagia. Dia kembali menarikku dalam pelukannya.

"Tapi... tapi aku takut," bisikku parau. Dia kembali mengurai pelukannya, mencepit kepalaku di antara kedua telapak tangannya. Aku kembali membuka suara. "Seorang ibu harus memperjuangkan nyawa untuk itu. Aku harus bertarung dengan maut saat melahirkan nanti. Aku... aku takut kehilanganmu," ucapku yang diiringi dengan aliran air mataku.

Dia tersenyum tipis, mengecup keningku lembut. "Tenanglah, aku akan selalu bersamamu. Kita akan berjuang sama-sama, untukmu dan untuk bayi kita. Kau dan bayi kita akan baik-baik saja nanti." Ucapannya itu menenangkanku. Aku kembali jatuh dalam pelukannya dan mengangguk ringan. Dengan adanya dia di sisiku, aku akan lebih kuat memperjuangkan bayi dalam kandunganku sekarang, calon anak kami.


Semarang/01062012

Tidak ada komentar: