Sabtu, 16 Juni 2012

KINI BERBEDA


Oleh: Jayanti

”Maaf, Yan! Kita putus.” Sudah seminggu kata-kata tersebut bermain dalam pikiranku. Padahal aku sendiri sudah menerima keputusan itu, hubunganku dengannya berakhir setelah satu kalimat itu mengalir lancar dari bibir tipisnya. Dan dia berlalu begitu saja, tidak ada kejelasan yang aku dapatkan, mengapa kisah cintaku harus kandas.
”Hari ke tujuh,” gumamku seraya menengadahkan tanganku, merasakan tetesan air dari langit. ”Semua masih sama.” Aku menghela nafasku berat. Sesaat aku mencoba tersenyum, tapi gagal. Kenangan hari kemarin masih setia memaksaku untuk mendatangi taman ini – tempat dimana cintaku berawal dan berakhir dengannya. Tangiskupun kembali tumpah. Entah berapa banyak air mata yang keluar hanya untuk menangisi kegagalan hubunganku dengannya.
”Yayan, ini yang pertama dan terakhir untukku menanyakan perasaanmu kepadaku,” ucapnya gugup. Aku mengawasi segala gerak-geriknya yang mampu membuatku menyembunyikan tawaku. ”Jadi pacarku ya?” Mataku melebar atas keberaniannya saat ini. Tawaku yang sedari tadi aku tahan perlahan hilang terganti dengan kegugupanku. Jantungku berdetak lebih cepat. Ini pengalaman pertamaku ditembak seorang laki-laki. ”Yan... Yayaan!”panggilnya berkali-kali. Aku hanya mampu mengerjap-erjapkan mataku. Tidak ada pergerakan dariku. Aku masih diam. Mengartikan pertanyaannya. ”Mau ya?”
”Ehh!”
”Jadi pasanganku,” bisiknya.
”Kita…”
”Pacaran. Kamu dan aku,”ucapnya sambil menggenggam tanganku.
”Bukannya kita…”
”Sahabat kecil,” sahutnya memotong ucapanku dengan semangat. Aku hanya mengangguk membenarkan. ”Sahabat jadi cinta.”
”Sahabat jadi cinta. Huh,”gumamku yang aku akhiri dengan desahan. Air langit masih setia turun membasahi bumi, memberi kesejukan tersendiri bagiku. Aku merasakan dingin merasuk membelai kulitku yang hanya berbalut kemeja putih dengan lengan pendek, membiarkan sensasi beku membalut tubuhku. Berharap bisa mendinginkan gejolak hatiku untuknya.
”Yayan, kenapa tidak berteduh dulu? Kalau badanmu basah semua nanti kamu sakit lho,”omelnya saat mendapatiku duduk di kursi taman dengan keadaan basah karena hujan yang tidak bersahabat.
”Aku takut kamu tidak melihatku,”ucapku sambil menundukkan kepalaku. Ada sedikit genangan air di mataku.
Aku mendengarnya mendesah, ”Hah, Maaf. Aku yang salah. Mungkin kalau aku tidak telat dua puluh menit dari waktu kita janjian, kamu tidak akan kehujanan seperti itu.” Dia menyadari aku menangis. Dia memang begitu mengerti diriku. Dihapuskannya airmata yang kini benar-benar meleleh di pipi chubby-ku.
”Kok nangis? Kalau begitu kita pulang aja ya?”tawarnya. Aku menggeleng.”Sstt... Diam! Cup cup cup. Aku ga marah kok,” hiburnya.
”Tapi kok kamu bicaranya banyak? Kamu marah ya?”
”Aku ga marah. Cuma khawatir sama kesehatan kamu. Kalau kamu sakit semua orang pasti repot!” Aku memukul lengannya pelan. Dia mengaduh tertahan membuat tawaku terdengar nyaring.
”Kencan pertama gagal nih.”
”Semua terasa nyata untukku, aku masih mengingankanmu di sampingku,” doaku dalam hati, berharap angin yang berhembus menyampaikan lirihan hatiku. Rintihan akan kesendirian yang ditimbulkannya saat aku merasakan sepi tanpa hadirnya. ”Jika aku bisa memilih, aku pasti tidak melepasmu tanpa kejelasan.”
Aku memutuskan untuk meninggalkan taman ini. Payung putih yang melindungiku dari hujan kini aku katupkan, pertanda hujan telah reda. Semburat merah menghias langit, memunculkan kembali kenanganku dengannya. Masih begitu jelas memori tentangnya hilir mudik memenuhi kepalaku.
”Yayan… sendiri saja?” sapa seseorang disertai tepukan pelan di bahuku. Hal itu membuatku melonjak kaget, mengalihkan tatapanku dari langit yang selalu kami kagumi, dia dan aku. ”Sory. Bikin kamu kaget.”
Mataku menyipit saat orang yang menyapaku menggaruk kepalanya, gugup. Dia seperti kekasihku. Bukan, melainkan mantan kekasihku. ”Dika!”
Orang yang kusapa, Dika hanya tersenyum. ”Sudah sore, kamu nggak pulang?” Entah mengapa aku malas menanggapi orang asing di sampingku ini, walaupun aku tahu Dika teman baik Abi. Sudah hampir setengah tahun aku tidak melihat Dika karena ia beserta keluarganya pindah ke kota Surabaya. ”Yan,” panggilnya.
”Ya, ini juga mau pulang,” jawabku meninggalkan Dika.
”Aku antar.” Dika berjalan beriringan denganku. Aku membiarkannya berbicara. Lelaki dewasa yang dua tahun diatasku berceloteh ringan tentang masa-masa sekolahnya di Surabaya. ”Abi apa kabarnya?” Satu pertanyaannya ini membuatku menghentikan langkahku. 
Dika melihatku heran. Menangkap ekspresi lain di wajahku. ”Aku tidak tahu,” jawabku cepat seraya tersenyum kecut. ”Aku dan Abi sudah putus.”
“Putus?” Dika mengerutkan dahi, bingung. Aku pun mengiyakan pertanyaannya. ”Kami tidak pernah bertengkar. Hubungan kami tidak pernah terjadi hambatan selama setahun ini,” jelasku dengan suara serak. Kini aku menjadi cengeng di depan orang lain. 
”Maaf,” tangisku pecah saat ini juga. Dalam rengkuhan selain Abi aku meluapkan tangisku, melupakan permintaan maaf dari Dika yang dia tujukan untuk apa. Dika membimbingku untuk menaiki motornya setelah dirasa aku puas telah menangis. Perlakuan ini sama persis dengan Abi kepadaku. Penuh dengan kesabaran.
***
”Kenapa kamu diam saja, Yan? Sakit?” Kesadaranku kembali setelah motor Dika berhenti di depan rumahku. Aku tersenyum kecut sembari turun dari motornya. Senyuman yang selalu aku tampilkan setelah kesendirianku kini.
”Owh, tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit lelah,” jawabku meyakinkan. ”Mau mampir?” lanjutku basa-basi.
Dika tampak menimbang-nimbang ajakanku. ”Lain kali saja. Hmm, besok kamu ada acara?” Aku menggeleng. ”Oke. Kalau kamu setuju, besok aku jemput jam sepuluh pagi. Em, temani aku jalan-jalan keliling kota sekalian menyegarkan pikiran?”
”Aku pikir-pikir dulu.”
”Oke. Aku pamit pulang. Sudah sore.” pamitnya. ”Eh, masih kepikiran Abi?”
Aku hanya diam, pertanyaannya tadi menohokku. Keadaan hening. Dika diam menunggu jawabanku. Sedang diriku memikirkan apa yang sebenarnya membuatku tidak rela hubunganku dengan Abi pupus. ”Ya, sudah seminggu ini aku memikirkannya. Memikirkan alasan yang melandasi keputusan Abi untuk mengakhiri hubungan. Tapi aku baik-baik saja,” paksaku seraya tersenyum.
Dika tampak berpikir. ”Abi pasti punya alasan yang belum mampu dia jelaskan. Jalani hidupmu seperti biasa,” semangatnya. Aku melambaikan tanganku saat Dika berlalu setelah ucapannya yang terakhir.
”Jalani hidup seperti biasa.” Kata-kata Dika berulang kali aku rafalkan seperti doa tapi, tetap saja tiada perubahan. Aku menghela nafas sesak dan beranjak memasuki rumah setelah lama mematung di halaman depan.
***
Aku menyeret langkahku terpaksa. Mataku menyapu sekeliling. Sepi. Tidak seperti biasanya. Ibu tidak datang menyambutku. Dimana beliau? ”Ibu... Ibuu...” Aku menghentikan panggilanku setelah melihat beliau duduk di ayunan belakang rumah. Aku memberikan senyuman untuk beliau yang sudah sudi merawatku dari kecil penuh dengan kasihnya. ”Aku pulang, Bu!” sapaku seraya mencium punggung tangannya.
”Duduk sini, Nak!” Suaranya begitu halus. Dengan cepat aku mengambil tempat duduk di sampingnya. ”Apa kabarnya Nak Abi?”
Pertanyaan ini kenapa berulang ditanyakan. Aku menatap beliau. Tidak bisa aku pungkiri jika saat ini air mataku ingin kembali merebak. Tapi semua kutahan, aku tidak mau terlihat lemah. ”Yayan nggak tahu, Bu,” jawabku sekenanya. “Mata ibu kok sembab? Kangen ayah ya, Bu?” alihku berbicara.
Ibu tersenyum tulus. ”Iya nak, Ibu kangen Ayah.” Ibu bergerak seperti mencari sesuatu di sampingnya. Aku hanya memperhatikan wajah beliau yang sayu dan tampak lelah. Maaf, bu. Yayan belum bisa menjadi kebanggaan Ibu. Tapi Yayan janji, Yayan pasti bikin Ibu bahagia, batinku.
”Ada titipan dari Nak Abi.” Ucapan beliau berhasil membawaku pada kenyataan.
”Abi?” Ibu hanya mengangguk.
”Maafkan Ibu, Nak,” lirihnya seraya membelai rambutku lembut. Aku menerima sebuah kotak kecil dan selembar surat didalamnya. Buru-buru aku membuka surat itu dan mengabaikan sebuah bandul kunci berupa boneka kelinci kecil, boneka kesukaanku. ”Dear, Adik kecilku yang selalu kurindu.”
Aku mengerngit heran. Bingung dengan sapaan Abi. Adik kecil? Abi tidak pernah memanggilku seperti ini. Aku menatap ibuku sekilas, dan beliau sepertinya tahu akan kebingunganku. 
Bingung dengan sapaan Abi? Maaf sebelumnya, kamu pasti saat ini benci dengan Abi. Tapi Abi hanya bisa meminta maaf dan memberikan kejelasan lewat selembar kertas. Mungkin pula saat kamu, little bunnyku yang manja dan sering ngambek membaca surat ini, Abi telah bertolak dari Semarang menuju Jakarta untuk melanjutkan kuliah.
Abi kakak Yayan, kita sedarah karena ayah kita satu dan tidak ada alasan yang lain yang membuat Abi memilih mengakhiri hubungan yang tidak seharusnya terjadi. Tapi, Abi akan selalu berusaha menjaga adik kecilku dari sini.
Airmataku tumpah membaca kenyataan yang terlampir dari setengah surat Abi. Bagaimana ini bisa terjadi? Ibu memelukku erat. ”Abi tadi datang kemari untuk menjelaskan semuanya kepada Ibu,” lirih beliau.
”Bagaimana ini bisa terjadi, Bu?” tuntutku meminta penjelasan dari sebuah rahasia yang baru aku ketahui. Ibu mengusap air mataku. Beliau menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan diriku dan Abi. Entah aku harus senang atau bersedih. Dimana aku mempunyai seorang kakak laki-laki dan disitu pula letak permasalahan kisah cintaku.
”Abi sudah sejak kecil selalu menemani Yayan, Bu. Kenapa baru terungkap sekarang?” Bagaimanapun rasanya susah saat rasa yang terlanjur cinta dipaksakan berubah menjadi kasih sayang saudara. 
”Ayah dan Ibu dulu terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, hingga sering kami menelantarkanmu, membiarkan kamu bermain bersama teman-temanmu. Entah siapa temanmu, Ibu tidak mengenalnya,” jelas Ibu dengan suara serak. Aku membenarkan ucapan beliau tentang kenyataanku waktu kecil. Orang tuaku terlalu sibuk dengan dunianya. ”Dan sebelum Ayah meninggal, beliau mengetahui bahwa putranya ternyata ada di sekitar kita – putra dari istri terdahulu. Hingga kenyataan mengharuskan Ibu menutup keinginan mengetahui siapa putra yang dimaksud ayahmu. Ayahmu pergi sebelum memberi penjelasan kepada Ibu karena kecelakaan itu.” Sesak, benar-benar sesak menerima kenyataan bahwa Abi juga putra Ayah.
* * *
”Abi kenapa telat jemput sih?” rajukku manja.
Orang yang selalu menanggapi rajukanku tersenyum kecut sambil mengandeng tanganku. ”Maaf, tadi keenakan beresin berkas-berkas di lemari Bapak.”
”Oh... Abi capek?” Dia menggeleng. ”Kok mukanya kusut?”
Abi tertawa hambar. ”Hmm, cuma agak sedih.”
”Kenapa?” kejarku ingin tau.
”Nanti Abi ceritain. Kita ke makam Ayahmu dulu yuk!” ajaknya. 
Aku tersenyum senang sembari memperat genggaman tanganku. Ini tujuan awalku menyuruh Abi menjemputku, mengunjungi Ayahku diwaktu ulang tahunku yang keenam belas. Ternyata sudah hampir setahun masa pacaranku dengan Abi. ”Yan..” panggilnya

”Ya....”
”Nama Ayah kita ternyata sama.”
”Hah? Masak sih?”
”Iya… sama hurufnya.”
”Kok bisa?” Abi mengendikkan bahunya. ”Bukannya nama Ayah Abi...”
”Sastro?” Aku mengangguk. ”Itu Ayah baru ternyata.”
“Ayah tiri?” pekikku. Abi ganti mengangguk.
”Tapi baik lo,” lanjut Abi cepat. Mendengar kata-kata tiri membuatku takut. Hmm, tapi aku tidak terlalu memusingkan masalah ini. Yang terpenting aku ingin menjenguk Ayah. ”Hmm.. Sudah sampai!”
Suara ketukan pintu membawaku pada kenyataan. Aku tersenyum simpul dan bergegas membukakan pintu untuk tamuku.
”Hai!” sapanya. Aku tersenyum tulus. ”Sudah siap?” Aku mengangguk dan memberikan senyumku untuknya. Senyumku sudah seperti biasanya. Mungkin juga aku sudah kembali seperti dulu. Keadaanku sudah membaik dan yang terpenting, aku sudah menerima kenyataan bahwa Abi adalah kakakku.
”Siapa, Nak?” tanya Ibu.
”Dika, teman Yayan,” kenalnya sopan seraya mencium punggung tangan Ibuku. Beliau tersenyum.
Aku sudah memutuskan untuk memulai hidupku kembali. Menata hati untuk masa depan. Walaupun semuanya berbeda. Aku sendiri, berdiri tanpanya di sampingku. Surat dari Abi sendiri sudah menyadarkan diriku bahwa hidupku sangat berharga. Bukan untukku sendiri melainkan untuk semua orang di sekelilingku, orang-orang yang begitu menyayangiku. 
Kenyataan bahwa Abi adalah kakakku kuterima dengan lapang hati. Suratan takdir yang membawa segalanya berakhir indah. Tidak pernah kusesali bahwa aku pernah mempunyai cinta kasih lebih untuknya yang saat ini mampu merubah pandanganku. Dia kakakku dan selalu menjadi kakakku. Seseorang yang telah memberi dan mengajari kasih tulus, mengajariku tersenyum di saat pedih.
Berakhirnya hubungan kasih, bukan berarti berakhirnya sebuah kehidupan. Akan tetapi sebuah awal dari pelajaran hidup yang akan dimulai nanti. Kenangan yang aku miliki akan terus tersimpan rapi di sudut hatiku. Dan membuka lembaran baru dengan orang yang nyata. Mau mengajariku untuk memulai suatu rasa disebuah masa. Menggenggam tanganku dengan tulus sama seperti dirimu dulu.
** The End **

Ini salah satu cerpen temanku Miss J alias Venue, yang diikutkan dalam lomba antologi putus, tapi sayangnya tidak lolos. hehe ^^ sama kayak punyaku

Tidak ada komentar: