Oleh: Jayanti
”Maaf, Yan! Kita putus.”
Sudah seminggu kata-kata tersebut bermain dalam pikiranku.
Padahal aku sendiri sudah menerima keputusan itu, hubunganku dengannya berakhir
setelah satu kalimat itu mengalir lancar dari bibir tipisnya. Dan dia berlalu
begitu saja, tidak ada kejelasan yang aku dapatkan, mengapa kisah cintaku harus
kandas.
”Hari ke tujuh,” gumamku
seraya menengadahkan tanganku, merasakan tetesan air dari langit. ”Semua masih
sama.” Aku menghela nafasku berat.
Sesaat aku mencoba tersenyum, tapi gagal. Kenangan hari kemarin masih setia
memaksaku untuk mendatangi taman ini – tempat dimana cintaku berawal dan
berakhir dengannya. Tangiskupun kembali tumpah. Entah berapa banyak air mata
yang keluar hanya untuk menangisi kegagalan hubunganku dengannya.
”Yayan, ini yang pertama dan terakhir untukku menanyakan
perasaanmu kepadaku,” ucapnya gugup. Aku mengawasi segala gerak-geriknya yang
mampu membuatku menyembunyikan tawaku. ”Jadi pacarku ya?” Mataku melebar atas
keberaniannya saat ini. Tawaku yang sedari tadi aku tahan perlahan hilang
terganti dengan kegugupanku. Jantungku berdetak lebih cepat. Ini pengalaman
pertamaku ditembak seorang laki-laki. ”Yan...
Yayaan!”panggilnya berkali-kali. Aku hanya mampu mengerjap-erjapkan mataku.
Tidak ada pergerakan dariku. Aku masih diam. Mengartikan pertanyaannya. ”Mau ya?”
”Ehh!”
”Jadi pasanganku,” bisiknya.
”Kita…”
”Pacaran. Kamu dan aku,”ucapnya sambil menggenggam tanganku.
”Bukannya kita…”
”Sahabat kecil,” sahutnya memotong ucapanku dengan semangat.
Aku hanya mengangguk membenarkan. ”Sahabat jadi cinta.”
”Sahabat jadi cinta.
Huh,”gumamku yang aku akhiri dengan desahan. Air
langit masih setia turun membasahi bumi, memberi kesejukan tersendiri bagiku.
Aku merasakan dingin merasuk membelai kulitku yang hanya berbalut kemeja putih
dengan lengan pendek, membiarkan sensasi beku membalut tubuhku. Berharap bisa
mendinginkan gejolak hatiku untuknya.
”Yayan, kenapa tidak berteduh dulu? Kalau badanmu basah semua
nanti kamu sakit lho,”omelnya saat mendapatiku duduk di kursi taman dengan
keadaan basah karena hujan yang tidak bersahabat.
”Aku takut kamu tidak melihatku,”ucapku sambil menundukkan
kepalaku. Ada sedikit genangan air di mataku.
Aku mendengarnya mendesah, ”Hah, Maaf. Aku yang salah.
Mungkin kalau aku tidak telat dua puluh menit dari waktu kita janjian, kamu tidak
akan kehujanan seperti itu.” Dia menyadari aku menangis. Dia memang begitu
mengerti diriku. Dihapuskannya airmata yang kini benar-benar meleleh di pipi
chubby-ku.
”Kok nangis? Kalau begitu kita pulang aja ya?”tawarnya. Aku
menggeleng.”Sstt... Diam! Cup cup cup. Aku ga marah kok,” hiburnya.
”Tapi kok kamu bicaranya banyak? Kamu marah ya?”
”Aku ga marah. Cuma khawatir sama kesehatan kamu. Kalau kamu
sakit semua orang pasti repot!” Aku memukul lengannya pelan. Dia mengaduh
tertahan membuat tawaku terdengar nyaring.
”Kencan pertama gagal nih.”
”Semua terasa nyata
untukku, aku masih mengingankanmu di sampingku,” doaku dalam hati, berharap
angin yang berhembus menyampaikan lirihan hatiku. Rintihan akan kesendirian yang
ditimbulkannya saat aku merasakan sepi tanpa hadirnya. ”Jika aku bisa memilih, aku pasti tidak melepasmu
tanpa kejelasan.”
Aku memutuskan untuk
meninggalkan taman ini. Payung putih yang melindungiku dari hujan kini aku
katupkan, pertanda hujan telah reda. Semburat
merah menghias langit, memunculkan kembali kenanganku dengannya. Masih begitu jelas
memori tentangnya hilir mudik memenuhi kepalaku.
”Yayan… sendiri saja?”
sapa seseorang disertai tepukan pelan di bahuku. Hal itu membuatku melonjak
kaget, mengalihkan tatapanku dari langit yang selalu kami kagumi, dia dan aku.
”Sory. Bikin kamu kaget.”
Mataku menyipit saat
orang yang menyapaku menggaruk kepalanya, gugup. Dia seperti kekasihku. Bukan,
melainkan mantan kekasihku. ”Dika!”
Orang yang kusapa, Dika
hanya tersenyum. ”Sudah sore, kamu nggak pulang?” Entah mengapa aku malas
menanggapi orang asing di sampingku ini, walaupun aku tahu Dika teman baik Abi. Sudah hampir setengah tahun aku tidak melihat Dika
karena ia beserta keluarganya pindah ke kota Surabaya. ”Yan,” panggilnya.
”Ya, ini juga mau
pulang,” jawabku meninggalkan Dika.
”Aku antar.” Dika berjalan beriringan denganku. Aku membiarkannya
berbicara. Lelaki dewasa yang dua tahun diatasku berceloteh ringan tentang
masa-masa sekolahnya di Surabaya. ”Abi apa kabarnya?” Satu pertanyaannya ini membuatku menghentikan
langkahku.
Dika melihatku heran.
Menangkap ekspresi lain di wajahku. ”Aku tidak tahu,” jawabku cepat seraya tersenyum
kecut. ”Aku dan Abi sudah putus.”
“Putus?” Dika
mengerutkan dahi, bingung. Aku pun mengiyakan pertanyaannya. ”Kami tidak pernah
bertengkar. Hubungan kami tidak pernah terjadi hambatan selama setahun ini,” jelasku
dengan suara serak. Kini aku menjadi cengeng di depan orang lain.
”Maaf,” tangisku pecah
saat ini juga. Dalam rengkuhan selain Abi aku meluapkan tangisku, melupakan
permintaan maaf dari Dika yang dia tujukan untuk apa. Dika membimbingku untuk menaiki motornya setelah
dirasa aku puas telah menangis. Perlakuan ini sama persis dengan Abi kepadaku.
Penuh dengan kesabaran.
***
”Kenapa kamu diam saja,
Yan? Sakit?” Kesadaranku kembali setelah motor Dika berhenti di depan rumahku. Aku tersenyum kecut sembari turun dari motornya.
Senyuman yang selalu aku tampilkan setelah kesendirianku kini.
”Owh, tidak. Aku tidak
apa-apa. Hanya sedikit lelah,” jawabku meyakinkan. ”Mau mampir?” lanjutku
basa-basi.
Dika tampak
menimbang-nimbang ajakanku. ”Lain kali saja. Hmm, besok kamu ada acara?” Aku menggeleng. ”Oke. Kalau kamu setuju, besok aku
jemput jam sepuluh pagi. Em, temani aku jalan-jalan keliling kota sekalian
menyegarkan pikiran?”
”Aku pikir-pikir dulu.”
”Oke. Aku pamit pulang.
Sudah sore.” pamitnya. ”Eh, masih kepikiran Abi?”
Aku hanya diam,
pertanyaannya tadi menohokku. Keadaan hening. Dika diam menunggu jawabanku.
Sedang diriku memikirkan apa yang sebenarnya membuatku tidak rela hubunganku
dengan Abi pupus. ”Ya, sudah seminggu ini aku memikirkannya. Memikirkan alasan
yang melandasi keputusan Abi untuk mengakhiri hubungan. Tapi aku baik-baik
saja,” paksaku seraya tersenyum.
Dika tampak berpikir.
”Abi pasti punya alasan yang belum mampu dia jelaskan. Jalani hidupmu seperti
biasa,” semangatnya. Aku melambaikan tanganku
saat Dika berlalu setelah ucapannya yang terakhir.
”Jalani hidup seperti
biasa.” Kata-kata Dika berulang kali aku rafalkan seperti doa tapi, tetap saja
tiada perubahan. Aku menghela nafas sesak dan beranjak memasuki rumah setelah
lama mematung di halaman depan.
***
Aku menyeret langkahku
terpaksa. Mataku menyapu sekeliling. Sepi. Tidak seperti biasanya. Ibu tidak
datang menyambutku. Dimana beliau? ”Ibu...
Ibuu...” Aku menghentikan panggilanku setelah melihat beliau duduk di ayunan
belakang rumah. Aku memberikan senyuman
untuk beliau yang sudah sudi merawatku dari kecil penuh dengan kasihnya. ”Aku
pulang, Bu!” sapaku seraya mencium punggung tangannya.
”Duduk sini, Nak!” Suaranya
begitu halus. Dengan cepat aku mengambil tempat duduk di sampingnya. ”Apa
kabarnya Nak Abi?”
Pertanyaan ini kenapa
berulang ditanyakan. Aku menatap beliau. Tidak bisa aku pungkiri jika saat ini
air mataku ingin kembali merebak. Tapi semua kutahan, aku tidak mau terlihat
lemah. ”Yayan nggak tahu, Bu,” jawabku sekenanya. “Mata ibu kok sembab? Kangen
ayah ya, Bu?” alihku berbicara.
Ibu tersenyum tulus.
”Iya nak, Ibu kangen Ayah.” Ibu bergerak seperti
mencari sesuatu di sampingnya. Aku hanya memperhatikan wajah beliau yang sayu
dan tampak lelah. Maaf, bu. Yayan belum
bisa menjadi kebanggaan Ibu. Tapi Yayan janji, Yayan pasti bikin Ibu bahagia,
batinku.
”Ada titipan dari Nak
Abi.” Ucapan beliau berhasil membawaku pada kenyataan.
”Abi?” Ibu hanya
mengangguk.
”Maafkan Ibu, Nak,” lirihnya
seraya membelai rambutku lembut. Aku menerima sebuah kotak kecil dan selembar
surat didalamnya. Buru-buru aku membuka surat itu dan mengabaikan sebuah bandul
kunci berupa boneka kelinci kecil, boneka kesukaanku. ”Dear, Adik
kecilku yang selalu kurindu.”
Aku mengerngit heran.
Bingung dengan sapaan Abi. Adik kecil?
Abi tidak pernah memanggilku seperti ini. Aku menatap ibuku sekilas, dan beliau
sepertinya tahu akan kebingunganku.
Bingung dengan sapaan
Abi? Maaf sebelumnya, kamu pasti saat ini benci dengan Abi. Tapi Abi hanya bisa
meminta maaf dan memberikan kejelasan lewat selembar kertas. Mungkin pula saat kamu,
little bunnyku yang manja dan sering ngambek membaca surat ini, Abi telah
bertolak dari Semarang menuju Jakarta untuk melanjutkan kuliah.
Abi kakak Yayan, kita
sedarah karena ayah kita satu dan tidak ada alasan yang lain yang membuat Abi
memilih mengakhiri hubungan yang tidak seharusnya terjadi. Tapi, Abi akan selalu
berusaha menjaga adik kecilku dari sini.
Airmataku tumpah
membaca kenyataan yang terlampir dari setengah surat Abi. Bagaimana ini bisa terjadi? Ibu memelukku erat. ”Abi tadi datang
kemari untuk menjelaskan semuanya kepada Ibu,” lirih beliau.
”Bagaimana ini bisa
terjadi, Bu?” tuntutku meminta penjelasan dari sebuah rahasia yang baru aku
ketahui. Ibu mengusap air mataku.
Beliau menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan diriku dan Abi. Entah aku
harus senang atau bersedih. Dimana aku mempunyai seorang kakak laki-laki dan
disitu pula letak permasalahan kisah cintaku.
”Abi sudah sejak kecil
selalu menemani Yayan, Bu. Kenapa baru terungkap sekarang?” Bagaimanapun rasanya susah saat rasa yang terlanjur
cinta dipaksakan berubah menjadi kasih sayang saudara.
”Ayah dan Ibu dulu
terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, hingga sering kami menelantarkanmu, membiarkan
kamu bermain bersama teman-temanmu. Entah siapa temanmu, Ibu tidak
mengenalnya,” jelas Ibu dengan suara serak. Aku membenarkan ucapan beliau
tentang kenyataanku waktu kecil. Orang tuaku terlalu sibuk dengan dunianya.
”Dan sebelum Ayah meninggal, beliau mengetahui bahwa putranya ternyata ada di
sekitar kita – putra dari istri terdahulu. Hingga kenyataan mengharuskan Ibu
menutup keinginan mengetahui siapa putra yang dimaksud ayahmu. Ayahmu pergi
sebelum memberi penjelasan kepada Ibu karena kecelakaan itu.” Sesak, benar-benar sesak menerima kenyataan bahwa Abi juga
putra Ayah.
* * *
”Abi kenapa telat jemput sih?” rajukku manja.
Orang yang selalu menanggapi rajukanku tersenyum kecut sambil
mengandeng tanganku. ”Maaf, tadi keenakan beresin berkas-berkas di lemari
Bapak.”
”Oh... Abi capek?” Dia menggeleng. ”Kok mukanya kusut?”
Abi tertawa hambar. ”Hmm, cuma agak sedih.”
”Kenapa?” kejarku ingin tau.
”Nanti Abi ceritain. Kita ke makam Ayahmu dulu yuk!” ajaknya.
Aku tersenyum senang sembari memperat genggaman
tanganku. Ini tujuan awalku menyuruh Abi menjemputku, mengunjungi Ayahku
diwaktu ulang tahunku yang keenam belas. Ternyata sudah hampir setahun masa
pacaranku dengan Abi. ”Yan..” panggilnya
”Ya....”
”Nama Ayah kita ternyata sama.”
”Hah? Masak sih?”
”Iya… sama hurufnya.”
”Kok bisa?” Abi mengendikkan bahunya. ”Bukannya nama Ayah
Abi...”
”Sastro?” Aku mengangguk. ”Itu Ayah baru ternyata.”
“Ayah tiri?” pekikku. Abi ganti mengangguk.
”Tapi baik lo,” lanjut Abi cepat. Mendengar
kata-kata tiri membuatku takut. Hmm, tapi aku tidak terlalu memusingkan masalah
ini. Yang terpenting aku ingin menjenguk Ayah. ”Hmm.. Sudah sampai!”
Suara ketukan pintu
membawaku pada kenyataan. Aku tersenyum simpul dan bergegas membukakan pintu
untuk tamuku.
”Hai!” sapanya. Aku
tersenyum tulus. ”Sudah siap?” Aku mengangguk
dan memberikan senyumku untuknya. Senyumku sudah seperti biasanya. Mungkin juga
aku sudah kembali seperti dulu. Keadaanku sudah membaik dan yang terpenting,
aku sudah menerima kenyataan bahwa Abi adalah kakakku.
”Siapa, Nak?” tanya
Ibu.
”Dika, teman Yayan,” kenalnya
sopan seraya mencium punggung tangan Ibuku. Beliau tersenyum.
Aku sudah memutuskan
untuk memulai hidupku kembali. Menata hati untuk masa depan. Walaupun semuanya
berbeda. Aku sendiri, berdiri tanpanya di sampingku. Surat dari Abi sendiri sudah menyadarkan diriku bahwa
hidupku sangat berharga. Bukan untukku sendiri melainkan untuk semua orang di
sekelilingku, orang-orang yang begitu menyayangiku.
Kenyataan bahwa Abi
adalah kakakku kuterima dengan lapang hati. Suratan takdir yang membawa
segalanya berakhir indah. Tidak pernah kusesali bahwa aku pernah mempunyai
cinta kasih lebih untuknya yang saat ini mampu merubah pandanganku. Dia kakakku
dan selalu menjadi kakakku. Seseorang yang telah memberi dan mengajari kasih
tulus, mengajariku tersenyum di saat pedih.
Berakhirnya hubungan kasih, bukan berarti
berakhirnya sebuah kehidupan. Akan tetapi sebuah awal dari pelajaran hidup yang
akan dimulai nanti. Kenangan yang aku miliki akan terus tersimpan rapi di sudut
hatiku. Dan membuka lembaran baru dengan orang yang nyata. Mau mengajariku
untuk memulai suatu rasa disebuah masa. Menggenggam tanganku dengan tulus sama
seperti dirimu dulu.
** The End **
Ini salah satu cerpen temanku Miss J alias Venue, yang diikutkan dalam lomba antologi putus, tapi sayangnya tidak lolos. hehe ^^ sama kayak punyaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar