Angin berhembus
lembut membelai kulitku. Di hadapanku hamparan bunga mawar tersaji dengan
begitu cantiknya, merekah indah berwarna merah dan putih. Alunan gesekan
dedaunan yang tertiup angin menyuarakan melodi alam nan merdu. Meski begitu,
itu tak cukup membuat suasana diantara aku dan dia menjadi lebih hangat seperti
biasanya.
“Aku akan
menikahinya.” Suaranya memecah keheningan di antara kami. Mataku membola
diikuti dengan gerakan kepala meneleng, memandangnya penuh ketidakpercayaan.
Ucapannya laksana pisau tajam yang menusuk tepat di jantungku. “Kita tidak bisa
lebih dari ini,” sambungnya lagi.
Aku menunduk
menahan kristal bening yang menggenang pada kelopak mataku. “Aku mencintamu.
Bahkan sangat mencintaimu,” ujarku serak. Aku rasa sebentar lagi butiran
kristal ini akan jatuh. Semua terasa masih hangat dalam ingatanku, kenangan
pertemuanku dengannya.
“Mel, kenalin ini om kamu. Namanya Ben.”
Mama memanggilku ketika melihat aku memasuki ruang tamu. Di depan mama duduk
seorang pria muda tampan berkulit putih, mata agak sipit dengan bola mata
abu-abu, rambutnya tertata rapi dengan model Caesar Cut. Pria muda itu berdiri
menyambutku. Aku mengernyit memandangnya. Baru kali ini aku bertemu dengannya,
saudara yang tak pernah kuketahui keberadaannya. “Ben, Ini Meli, anakku,” ujar
mama memperkenalkan aku kepada pria bernama Ben itu.
Ben mengulurkan tangan kepadaku, mengulum
senyum ramah yang khas. “Hay, Mel. Apa kabar?” sapanya ramah. Ada getar asing
dari suara bassnya. Selayaknya logat orang asing, nada orang bule yang baru
belajar bahasa Indonesia. Kontras sekali dengan wajah Jawanya.
Dia masih mengulas senyum manis yang
menampakkan cekungan di kedua pipinya. Mataku berbinar memandang pesona aura
yang memuncrat dari sikapnya. “Om?” seruku. Lebih merupakan sebuah pertanyaan
tersingkat yang menyatakan keherananku pada makhluk tampan di depanku. “Mama
tak pernah cerita? Bahkan aku tak pernah bertemu dengannya,” sambungku sembari
memutar kepala memandangi mama yang berdiri tak jauh dariku. Aku harap dapat mendapatkan
penjelasan lebih atas ini semua. Aku memang tak pernah melihat pria
semenakjubkan dia dalam hidupku. Pertemuan pertama saja sudah semempesona ini,
bagaimana selanjutnya?
“Ben ikut Oma Neli tinggal di Belanda. Baru
kali ini dia kembali ke Indonesia,” terang mama. “Waktu kecil kamu pernah
bertemu dengannya. Bahkan kalian sempat bermain bersama.” Mama berlenggok
menjejakkan kakinya mendekatiku. Tangannya yang halus menepuk bahuku, kesan
hangat langsung terasa. “Apa kau tidak ingat, Mel? Ben ini hanya selisih lima
tahun darimu.”
Pertanyaan mama itu membuatku harus menguras
isi kepalaku, mencoba memutar kembali film lama yang sudah bertahun-tahun
kulupakan. Sesosok bayangan laki-laki kecil yang selalu membuatku menangis
menampakkan wujudnya di dalam kepalaku. Ah, itu dia rupanya, pikirku. Laki-laki
kecil nakal yang sekejap kutemui dulu, kami memang tak lama bertemu waktu itu.
Tiga hari bersamanya dan aku selalu dibuatnya menangis. Kulihat Ben tersenyum.
Sepertinya dia cukup mengingatku. Senyum itu entah senyum ramah atau senyum
menertawakan masa-masa itu. Air mukaku yang sempat berbinar berubah, sedikit
tertekuk kesal. Kebencianku atau mungkin dendam yang tak sempat tersalurkan
mencuat. Langsung saja kulangkahkan kakiku menuju kamar tidurku, tak kuhiraukan
suara mama yang memanggil namaku. Menyesal aku sempat terpesona dengannya tadi.
***
Menginjak tiga
bulan aku mengenalnya. Kian hari, sosok Ben terus saja menghantui hidupku.
Tentu saja, dia kan tinggal satu atap denganku. Dia selalu baik dan ramah
terhadapku, tak tampak sedikit pun kejahilan masa lalunya dulu. Perlahan aku
mulai menghapus tiap jejak kebencianku terhadap Ben. Kuterima dia selayaknya om
atau kadang seperti teman bahkan kakak. Dia sosok menyenangkan dan hangat.
“Meli, kenapa kamu?”
tanya pria tampan yang akhir-akhir ini ada dalam kehidupanku. Dia menginjakkan
kakinya dalam ruang pribadiku. Aku berbaring telungkup di atas tempat tidur, membenamkan
wajahku di atas bantal. Aku tak ingin dia melihat derai kristal yang terus
mengucur dari mataku, aku menghapusnya kasar. Hari ini adalah hari terburuk
sepanjang hidupku. Kekasih yang mengisi relung hatiku telah menorehkan sebaris
luka di hatiku. Dia mengkhianatiku, bersama sahabat yang sangat aku percayai.
Luka ini begitu menyakitkan. Aku makin terisak mengingat saat-saat aku
memergoki mereka jalan berdua tadi.
Aku bisa
merasakan sebuah gerakan yang tiba-tiba hadir di atas tempat tidurku. Ya,
seseorang sedang duduk di pinggir tempat tidurku, tepat di sebelahku. Tangannya
yang kokoh membelai rambutku lembut, menenangkanku. “Ada apa, Mel?” tanyanya, masih
dengan suara yang sama, ramah dan hangat. “Jangan menangis lagi. Katakan padaku
apa yang telah menyakiti hatimu? Kau bisa bercerita kepadaku,” lanjutnya.
Sebuah ucapan meyakinkan yang membuatku membalikkan badan dan langsung
menghambur dalam dada bidangnya. Dia lagi-lagi membelai rambutku. Aku
menceritakan semua kepadanya, setiap luka yang tergores dan masih segar itu
kutumpahkan kepadanya. “Sudah, tak usah bersedih. Ambil saja hikmah dari semua
yang terjadi, Mel. Tuhan punya rencana lain untukmu. Dia hanya sedang
menunjukkan bahwa lelaki itu memang tidak pantas untukmu. Kau bisa mendapatkan
yang lebih baik darinya,” ucapnya lebih terdengar seperti seorang kakak yang
menenangkan adiknya yang bersedih. Dia mengurai pelukan. Jemari halus tangan
kanannya mengusap pipiku, menyirnakan tetes air yang membasahinya. “Dan tentang
sahabatmu, aku yakin dia hanya khilaf. Tergoda sebentar oleh pesona cinta yang
diiming-imingkan kekasihmu itu. Bukankah kalian sudah bersahabat lama? Jangan
terlalu membencinya, beri sedikit ruang untuknya jika dia telah sadar dan
kembali kepadamu.” Kebijaksanaannya meluluhkan hatiku yang membeku, dan entah
apa yang kemudian merasuki hatiku. Kurasakan sesuatu yang berwarna hinggap di
dalam sini, tepat di hatiku. Rasa yang tak seharusnya hadir mewarnai mulai
berkembang.
***
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar