Minggu, 03 Juni 2012

Cinta Yang Tak Mungkin #1


Angin berhembus lembut membelai kulitku. Di hadapanku hamparan bunga mawar tersaji dengan begitu cantiknya, merekah indah berwarna merah dan putih. Alunan gesekan dedaunan yang tertiup angin menyuarakan melodi alam nan merdu. Meski begitu, itu tak cukup membuat suasana diantara aku dan dia menjadi lebih hangat seperti biasanya.
“Aku akan menikahinya.” Suaranya memecah keheningan di antara kami. Mataku membola diikuti dengan gerakan kepala meneleng, memandangnya penuh ketidakpercayaan. Ucapannya laksana pisau tajam yang menusuk tepat di jantungku. “Kita tidak bisa lebih dari ini,” sambungnya lagi. 
Aku menunduk menahan kristal bening yang menggenang pada kelopak mataku. “Aku mencintamu. Bahkan sangat mencintaimu,” ujarku serak. Aku rasa sebentar lagi butiran kristal ini akan jatuh. Semua terasa masih hangat dalam ingatanku, kenangan pertemuanku dengannya.
“Mel, kenalin ini om kamu. Namanya Ben.” Mama memanggilku ketika melihat aku memasuki ruang tamu. Di depan mama duduk seorang pria muda tampan berkulit putih, mata agak sipit dengan bola mata abu-abu, rambutnya tertata rapi dengan model Caesar Cut. Pria muda itu berdiri menyambutku. Aku mengernyit memandangnya. Baru kali ini aku bertemu dengannya, saudara yang tak pernah kuketahui keberadaannya. “Ben, Ini Meli, anakku,” ujar mama memperkenalkan aku kepada pria bernama Ben itu.
Ben mengulurkan tangan kepadaku, mengulum senyum ramah yang khas. “Hay, Mel. Apa kabar?” sapanya ramah. Ada getar asing dari suara bassnya. Selayaknya logat orang asing, nada orang bule yang baru belajar bahasa Indonesia. Kontras sekali dengan wajah Jawanya.
Dia masih mengulas senyum manis yang menampakkan cekungan di kedua pipinya. Mataku berbinar memandang pesona aura yang memuncrat dari sikapnya. “Om?” seruku. Lebih merupakan sebuah pertanyaan tersingkat yang menyatakan keherananku pada makhluk tampan di depanku. “Mama tak pernah cerita? Bahkan aku tak pernah bertemu dengannya,” sambungku sembari memutar kepala memandangi mama yang berdiri tak jauh dariku. Aku harap dapat mendapatkan penjelasan lebih atas ini semua. Aku memang tak pernah melihat pria semenakjubkan dia dalam hidupku. Pertemuan pertama saja sudah semempesona ini, bagaimana selanjutnya?
“Ben ikut Oma Neli tinggal di Belanda. Baru kali ini dia kembali ke Indonesia,” terang mama. “Waktu kecil kamu pernah bertemu dengannya. Bahkan kalian sempat bermain bersama.” Mama berlenggok menjejakkan kakinya mendekatiku. Tangannya yang halus menepuk bahuku, kesan hangat langsung terasa. “Apa kau tidak ingat, Mel? Ben ini hanya selisih lima tahun darimu.”
Pertanyaan mama itu membuatku harus menguras isi kepalaku, mencoba memutar kembali film lama yang sudah bertahun-tahun kulupakan. Sesosok bayangan laki-laki kecil yang selalu membuatku menangis menampakkan wujudnya di dalam kepalaku. Ah, itu dia rupanya, pikirku. Laki-laki kecil nakal yang sekejap kutemui dulu, kami memang tak lama bertemu waktu itu. Tiga hari bersamanya dan aku selalu dibuatnya menangis. Kulihat Ben tersenyum. Sepertinya dia cukup mengingatku. Senyum itu entah senyum ramah atau senyum menertawakan masa-masa itu. Air mukaku yang sempat berbinar berubah, sedikit tertekuk kesal. Kebencianku atau mungkin dendam yang tak sempat tersalurkan mencuat. Langsung saja kulangkahkan kakiku menuju kamar tidurku, tak kuhiraukan suara mama yang memanggil namaku. Menyesal aku sempat terpesona dengannya tadi.
***
Menginjak tiga bulan aku mengenalnya. Kian hari, sosok Ben terus saja menghantui hidupku. Tentu saja, dia kan tinggal satu atap denganku. Dia selalu baik dan ramah terhadapku, tak tampak sedikit pun kejahilan masa lalunya dulu. Perlahan aku mulai menghapus tiap jejak kebencianku terhadap Ben. Kuterima dia selayaknya om atau kadang seperti teman bahkan kakak. Dia sosok menyenangkan dan hangat.
“Meli, kenapa kamu?” tanya pria tampan yang akhir-akhir ini ada dalam kehidupanku. Dia menginjakkan kakinya dalam ruang pribadiku. Aku berbaring telungkup di atas tempat tidur, membenamkan wajahku di atas bantal. Aku tak ingin dia melihat derai kristal yang terus mengucur dari mataku, aku menghapusnya kasar. Hari ini adalah hari terburuk sepanjang hidupku. Kekasih yang mengisi relung hatiku telah menorehkan sebaris luka di hatiku. Dia mengkhianatiku, bersama sahabat yang sangat aku percayai. Luka ini begitu menyakitkan. Aku makin terisak mengingat saat-saat aku memergoki mereka jalan berdua tadi.
Aku bisa merasakan sebuah gerakan yang tiba-tiba hadir di atas tempat tidurku. Ya, seseorang sedang duduk di pinggir tempat tidurku, tepat di sebelahku. Tangannya yang kokoh membelai rambutku lembut, menenangkanku. “Ada apa, Mel?” tanyanya, masih dengan suara yang sama, ramah dan hangat. “Jangan menangis lagi. Katakan padaku apa yang telah menyakiti hatimu? Kau bisa bercerita kepadaku,” lanjutnya. Sebuah ucapan meyakinkan yang membuatku membalikkan badan dan langsung menghambur dalam dada bidangnya. Dia lagi-lagi membelai rambutku. Aku menceritakan semua kepadanya, setiap luka yang tergores dan masih segar itu kutumpahkan kepadanya. “Sudah, tak usah bersedih. Ambil saja hikmah dari semua yang terjadi, Mel. Tuhan punya rencana lain untukmu. Dia hanya sedang menunjukkan bahwa lelaki itu memang tidak pantas untukmu. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik darinya,” ucapnya lebih terdengar seperti seorang kakak yang menenangkan adiknya yang bersedih. Dia mengurai pelukan. Jemari halus tangan kanannya mengusap pipiku, menyirnakan tetes air yang membasahinya. “Dan tentang sahabatmu, aku yakin dia hanya khilaf. Tergoda sebentar oleh pesona cinta yang diiming-imingkan kekasihmu itu. Bukankah kalian sudah bersahabat lama? Jangan terlalu membencinya, beri sedikit ruang untuknya jika dia telah sadar dan kembali kepadamu.” Kebijaksanaannya meluluhkan hatiku yang membeku, dan entah apa yang kemudian merasuki hatiku. Kurasakan sesuatu yang berwarna hinggap di dalam sini, tepat di hatiku. Rasa yang tak seharusnya hadir mewarnai mulai berkembang.
***

Bersambung....

Tidak ada komentar: