Langit menampakkan warna percampuran. Kombinasi orange,
merah dan biru. Awan putih yang berarak terbias warna kemerahan. Sang surya
beranjak turun ke peraduannya. Bersiap menyambut malam beberapa jam lagi. Lalu
lalang kendaraan semakin ramai. Angkutan umum sesak. Orang-orang saling
berjejalan menaikinya. Tidak ada yang mengalah. Semua ingin cepat sampai di
rumah. Para pekerja, pelajar maupun ibu rumah tangga saling mendahului berebut
tempat. Sedangkan, aku masih santai saja berdiri di halte bus dekat kampusku.
Tidak mau ikut terlibat pada perebutan konyol itu. Toh, masih ada angkutan umum
lain yang bisa kunaiki nanti. Aku lebih suka begitu. Naik paling akhir ketika
keadaan telah lengang.
Tiga puluh menit sudah waktu berjalan. Aku melihat jam
tangan hitamku. Jarum panjangnya menunjuk angka enam dan jarum pendek pada
angka lima. Empat tiga puluh. Sudah sangat sore rupanya. Keadaan sudah lumayan
lengang. Di halte tempatku menunggu ada empat orang duduk sama sepertiku dan
tiga orang berdiri. Lima wanita dan dua pria.
Wanita berambut sebahu duduk paling ujung. Dari raut
wajahnya usianya sekitar tiga puluhan. Blush biru dan rok selutut yang
dipakainya mencirikan dia sebagai pekerja kantoran. Ya, mungkin saja karena tak
jauh dari sini terdapat beberapa gedung perkantoran bank dan departemen hukum. Sepatu
high heels hitam yang dipakainya sengaja dilepas. Memakai sepatu setinggi 5 cm
itu memang melelahkan. Tidak heran jika wanita itu melepasnya. Di sebelah kiri
wanita itu duduk seorang wanita muda. Pakaiannya model casual. Kaos berleher V
dan celana jeans selutut. Aku sering
melihatnya menunggu bus di halte ini. Di sisinya dua orang wanita dan pria
seusia denganku sedang asyik bercengkrama. Pakaiannya sopan dan rapi.
Menampakkan statusnya sebagai mahasiswa. Terkadang aku berpapasan dengan mereka
secara tidak sengaja di kampus.
Yang berdiri adalah dua orang wanita. Wanita paruh baya dan
seorang gadis berseragam SMA. Sang wanita paruh baya berpenampilan mewah. Tas
bermerk terkenal. Baju gamis model Syahrini. Gelang emas tebal melingkar di
tangan kanannya. Ditambah kalung emas panjang menggantung sampai dada bermata
berlian. Entah berapa karat. Yang jelas perhiasan yang dipakainya sangat mewah
dan mencolok. Wanita itu mengetuk-ketukkan sepatu hitamnya ke trotoar. Angkutan
yang ia tunggu belum juga terlihat.
Srek. “COPET…COPEEETTT!” Sebuah teriakan membuat
orang-orang mengalihkan padangan ke sumber suara. Wanita berpenampilan mewah
rupanya. Tas yang sejak tadi digenggamnya telah raib. Seorang pemuda berjaket
hitam berlari cukup kencang melewati kami. Sedetik kemudian orang-orang baru
menyadarinya. Satu persatu para pria mengejarnya dan meneriakinya. “Copeet…
copet!” Orang-orang yang baru saja dilewati oleh sang copet yang kontan
mendengar itu ikut mengejarnya. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Satu lawan
puluhan orang. Aku mengikuti aksi itu. Tidak mau ketinggalan kejadian yang
langka itu.
Bruk. Sang copet yang berlari cepat terjengkal ke depan.
Dia terjatuh. Rupanya akibat kakinya tersandung batu. Sungguh sial nasibnya.
Orang-orang yang mengejarnya mempercepat
larinya. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Dua orang pria berada di
deretan paling depan. Sang copet terlambat bangkit untuk menghindar.
Bugh..bugh..bugh. Dua pria yang berada di depan lebih dulu menghampiri sang
copet. Mereka langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi. Semenit kemudian yang
lainnya menyusul. Puluhan orang mengkerumuninya. Melayangkan bogem mentah dan
tendangan. Meluapkan emosi mereka. Makian dan cacian menggema bersautan.
“Brengsek!”
“Kecil-kecil nyopet!”
“Nih rasain!”
“Hajar aja!”
“Mampus lo!”
Sang copet hanya
mampu melindungi kepalanya menggunakan kedua lengannya. Beberapa bagian
wajahnya membiru. Mata kirinya tak mamapu membuka penuh akibat lebam. Darah mengucur
dari sudut bibir dan hidungnya. Babak belur sang copet dihajar massa.
“Sudah…sudah!” Tiba-tiba seorang pria paruh baya maju ke
tengah kerumunan. Kedua tangannya direntangkan mencegah orang-orang di
belakangnya bertindak lebih jauh. “Cukup…cukup… Jangan dihajar lagi! Kita tidak
boleh main hakim sendiri,” ujarnya menengahi. Massa akhirnya diam.
“Tapi orang kayak begini tuh perlu dikasih pelajaran!”
Bugh. Seorang bapak memakai kaos oblong biru refleks memukul kepala Si copet.
Emosinya meledak seolah dia yang dirugikan.
“Sabar, Pak. Sabar… Negara kita kan negara hukum. Kita
serahkan saja pada yang berwajib.” Pria yang menengahi tadi kembali bersaran.
“Benar, kita tidak boleh main hakim sendiri. Buat apa ada
penegak hukum kalau ujung-ujungnya kita main hakim sendiri,” tambah seorang
pria kantoran membenarkan ucapan pria paruh baya tadi.
“Alah, penegak hukum zaman sekarang tidak bisa dipercaya.
Sekali suap saja tahanan sudah bisa lepas,” timpal pria lain. Dari
penampilannya dia terlihat seperti mahasiswa. Kata-katanya begitu kristis
mengomentari fenomena tersembunyi yang terjadi di kalangan opnum pemerintah
maupun penegak hukum.
“Benar itu. Udah,
kita habisi saja dia biar kapok!” Si bapak berkaos biru menambah.
“Iya, habisi saja dia! Copet kayak begini nggak usah diampuni!”
timpal yang lainnya.
“Sabar bapak-bapak. Kalau kita menghabisinya, menghakiminya
sendiri, apa bedanya kita dengan pencopet ini? Bahkan kita bisa lebih terlihat
buruk jika melakukannya. Kalau dia mati bukankah itu juga akan berdampak pada
diri kita? Apa Anda-anda sekalian ini mau menjadi pembunuh?” Ucapan sang pria
paruh baya agaknya cukup mengena. Semua tertunduk memikirkan kata-kata pria
itu. Terdiam.
“Lalu kita apakan dia?” tanya salah seorang pria.
“Kita serahkan pada polisi saja. Biar mereka yang mengurus
selanjutnya,” jawab si bapak bijaksana tadi.
“Oh, iya di dekat sini ada kantor polisi. Sebaiknya kita
bawa dia ke sana,” pria lain bersaran.
“Baik kalau begitu, ada yang bawa motor?” tanya si bapak
bijak.
“Ada, Pak,” sahut seorang pria dengan helm di kepalanya.
“Bawa dia pakai motor, kantor polisinya kan agak jauh,”
ujar si pria bijak pada sang pemilik motor. Pandangannya mengedar. Mecari
seseorang. “Ibu ikut saja dengan mereka ke kantor polisi bersama saya. Buat
jadi saksi,” tuturnya pada ibu yang tasnya dicopet. Ibu itu mengangguk. Tas
mewah miliknya dipegangnya erat. Seakan tak mau tas itu terlepas lagi.
Kemudian si pencopet itu dinaikan ke atas motor dan
langsung digiring ke kantor polisi bersama si pria bijak dan ibu yang tasnya
dicopet. Perlahan kerumunan massa memudar. Orang-orang kembali pada
rutinitasnya semula. Meski beberapa dari mereka masih menggerutukan kejadian
tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar