Rabu, 13 Juni 2012

HUKUM UNTUK SANG COPET



Langit menampakkan warna percampuran. Kombinasi orange, merah dan biru. Awan putih yang berarak terbias warna kemerahan. Sang surya beranjak turun ke peraduannya. Bersiap menyambut malam beberapa jam lagi. Lalu lalang kendaraan semakin ramai. Angkutan umum sesak. Orang-orang saling berjejalan menaikinya. Tidak ada yang mengalah. Semua ingin cepat sampai di rumah. Para pekerja, pelajar maupun ibu rumah tangga saling mendahului berebut tempat. Sedangkan, aku masih santai saja berdiri di halte bus dekat kampusku. Tidak mau ikut terlibat pada perebutan konyol itu. Toh, masih ada angkutan umum lain yang bisa kunaiki nanti. Aku lebih suka begitu. Naik paling akhir ketika keadaan telah lengang.
Tiga puluh menit sudah waktu berjalan. Aku melihat jam tangan hitamku. Jarum panjangnya menunjuk angka enam dan jarum pendek pada angka lima. Empat tiga puluh. Sudah sangat sore rupanya. Keadaan sudah lumayan lengang. Di halte tempatku menunggu ada empat orang duduk sama sepertiku dan tiga orang berdiri. Lima wanita dan dua pria.
Wanita berambut sebahu duduk paling ujung. Dari raut wajahnya usianya sekitar tiga puluhan. Blush biru dan rok selutut yang dipakainya mencirikan dia sebagai pekerja kantoran. Ya, mungkin saja karena tak jauh dari sini terdapat beberapa gedung perkantoran bank dan departemen hukum. Sepatu high heels hitam yang dipakainya sengaja dilepas. Memakai sepatu setinggi 5 cm itu memang melelahkan. Tidak heran jika wanita itu melepasnya. Di sebelah kiri wanita itu duduk seorang wanita muda. Pakaiannya model casual. Kaos berleher V dan celana jeans selutut.  Aku sering melihatnya menunggu bus di halte ini. Di sisinya dua orang wanita dan pria seusia denganku sedang asyik bercengkrama. Pakaiannya sopan dan rapi. Menampakkan statusnya sebagai mahasiswa. Terkadang aku berpapasan dengan mereka secara tidak sengaja di kampus.
Yang berdiri adalah dua orang wanita. Wanita paruh baya dan seorang gadis berseragam SMA. Sang wanita paruh baya berpenampilan mewah. Tas bermerk terkenal. Baju gamis model Syahrini. Gelang emas tebal melingkar di tangan kanannya. Ditambah kalung emas panjang menggantung sampai dada bermata berlian. Entah berapa karat. Yang jelas perhiasan yang dipakainya sangat mewah dan mencolok. Wanita itu mengetuk-ketukkan sepatu hitamnya ke trotoar. Angkutan yang ia tunggu belum juga terlihat.
Srek. “COPET…COPEEETTT!” Sebuah teriakan membuat orang-orang mengalihkan padangan ke sumber suara. Wanita berpenampilan mewah rupanya. Tas yang sejak tadi digenggamnya telah raib. Seorang pemuda berjaket hitam berlari cukup kencang melewati kami. Sedetik kemudian orang-orang baru menyadarinya. Satu persatu para pria mengejarnya dan meneriakinya. “Copeet… copet!” Orang-orang yang baru saja dilewati oleh sang copet yang kontan mendengar itu ikut mengejarnya. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Satu lawan puluhan orang. Aku mengikuti aksi itu. Tidak mau ketinggalan kejadian yang langka itu.
Bruk. Sang copet yang berlari cepat terjengkal ke depan. Dia terjatuh. Rupanya akibat kakinya tersandung batu. Sungguh sial nasibnya. Orang-orang yang mengejarnya  mempercepat larinya. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Dua orang pria berada di deretan paling depan. Sang copet terlambat bangkit untuk menghindar. Bugh..bugh..bugh. Dua pria yang berada di depan lebih dulu menghampiri sang copet. Mereka langsung melayangkan pukulan bertubi-tubi. Semenit kemudian yang lainnya menyusul. Puluhan orang mengkerumuninya. Melayangkan bogem mentah dan tendangan. Meluapkan emosi mereka. Makian dan cacian menggema bersautan.
“Brengsek!”
“Kecil-kecil nyopet!”
“Nih rasain!”
“Hajar aja!”
“Mampus lo!”
 Sang copet hanya mampu melindungi kepalanya menggunakan kedua lengannya. Beberapa bagian wajahnya membiru. Mata kirinya tak mamapu membuka penuh akibat lebam. Darah mengucur dari sudut bibir dan hidungnya. Babak belur sang copet dihajar massa.
“Sudah…sudah!” Tiba-tiba seorang pria paruh baya maju ke tengah kerumunan. Kedua tangannya direntangkan mencegah orang-orang di belakangnya bertindak lebih jauh. “Cukup…cukup… Jangan dihajar lagi! Kita tidak boleh main hakim sendiri,” ujarnya menengahi. Massa akhirnya diam.
“Tapi orang kayak begini tuh perlu dikasih pelajaran!” Bugh. Seorang bapak memakai kaos oblong biru refleks memukul kepala Si copet. Emosinya meledak seolah dia yang dirugikan.
“Sabar, Pak. Sabar… Negara kita kan negara hukum. Kita serahkan saja pada yang berwajib.” Pria yang menengahi tadi kembali bersaran.
“Benar, kita tidak boleh main hakim sendiri. Buat apa ada penegak hukum kalau ujung-ujungnya kita main hakim sendiri,” tambah seorang pria kantoran membenarkan ucapan pria paruh baya tadi.
“Alah, penegak hukum zaman sekarang tidak bisa dipercaya. Sekali suap saja tahanan sudah bisa lepas,” timpal pria lain. Dari penampilannya dia terlihat seperti mahasiswa. Kata-katanya begitu kristis mengomentari fenomena tersembunyi yang terjadi di kalangan opnum pemerintah maupun penegak hukum.
“Benar  itu. Udah, kita habisi saja dia biar kapok!” Si bapak berkaos biru menambah.
“Iya, habisi saja dia! Copet kayak begini nggak usah diampuni!” timpal yang lainnya.
“Sabar bapak-bapak. Kalau kita menghabisinya, menghakiminya sendiri, apa bedanya kita dengan pencopet ini? Bahkan kita bisa lebih terlihat buruk jika melakukannya. Kalau dia mati bukankah itu juga akan berdampak pada diri kita? Apa Anda-anda sekalian ini mau menjadi pembunuh?” Ucapan sang pria paruh baya agaknya cukup mengena. Semua tertunduk memikirkan kata-kata pria itu. Terdiam.
“Lalu kita apakan dia?” tanya salah seorang pria.
“Kita serahkan pada polisi saja. Biar mereka yang mengurus selanjutnya,” jawab si bapak bijaksana tadi.
“Oh, iya di dekat sini ada kantor polisi. Sebaiknya kita bawa dia ke sana,” pria lain bersaran.
“Baik kalau begitu, ada yang bawa motor?” tanya si bapak bijak.
“Ada, Pak,” sahut seorang pria dengan helm di kepalanya.
“Bawa dia pakai motor, kantor polisinya kan agak jauh,” ujar si pria bijak pada sang pemilik motor. Pandangannya mengedar. Mecari seseorang. “Ibu ikut saja dengan mereka ke kantor polisi bersama saya. Buat jadi saksi,” tuturnya pada ibu yang tasnya dicopet. Ibu itu mengangguk. Tas mewah miliknya dipegangnya erat. Seakan tak mau tas itu terlepas lagi.
Kemudian si pencopet itu dinaikan ke atas motor dan langsung digiring ke kantor polisi bersama si pria bijak dan ibu yang tasnya dicopet. Perlahan kerumunan massa memudar. Orang-orang kembali pada rutinitasnya semula. Meski beberapa dari mereka masih menggerutukan kejadian tadi.

Tidak ada komentar: