Minggu, 10 Juni 2012

LELAKI KEDUA


LELAKI KEDUA
“Kenapa menanyakan hal seperti itu?” tanya pria itu kepadaku. Dari raut wajahnya aku bisa melihat kebingungannya dengan sikapku yang seperti ini.
“Entahlah, aku hanya merasa tak enak hati saja. Terlebih dengan statusku ini. Kamu berhak mendapat yang lebih baik dari aku. Kenapa kamu malah memilihku? Aku ini cuma wanita gagal,” jelasku. Aku menunduk tak berani menatapnya. Aku sendiri bingung dengan yang aku rasakan. Bingung dengan pemikiranku sendiri.
Pria disampingku itu diam sejenak. “Kamu ini aneh. Harusnya kamu senang, aku bersungguh-sungguh menyayangimu. Dan bagiku kamulah yang terbaik.” Ada getar kekesalan dari nada suaranya yang kudengar.
“Maaf, aku hanya tidak ingin kamu kecewa. Maka dari itu aku jujur dengan statusku yang sebenarnya.” Aku makin menundukkan kepala. Ada getir keraguan di hatiku. Sekaligus juga ketakutan pada apa yang akan menghadang jalan kami suatu saat ke depannya. Pria lajang dan muda sepertinya memang tidak seharusnya mencintai janda sepertiku. Terlebih usia kami yang terpaut jauh. Orang-orang pasti akan banyak yang mencemooh atau menentang hubungan seperti ini.
 “Tenanglah, apapun yang terjadi pada hubungan kita nanti aku akan terus berusaha untuk memperjuangkannya,” tutur pria itu. Dia seolah dapat membaca pikiranku. Tangannya begitu erat menggenggam tanganku.
“Iya, maaf. Sekarang aku sudah mengerti apa yang kamu pikirkan.” Beginilah aku, masih sulit untuk melangkah lebih jauh lagi.
***
Aku duduk di teras depan rumahku. Sendirian memandangi butir air hujan yang jatuh ke bumi. Sangat indah. Aku selalu suka hujan. Aku suka memandangi hujan seperti sekarang ini. Dengan seperti ini aku bisa memikirkan segalanya dengan lebih dalam. Hujan selalu bisa menenangkan pikiranku.
Aku masih terus memikirkan kejadian itu, ketika aku berbicara dengannya. Meski dia sudah menganggap ini selesai. Aku masih memikirkannya. Kenapa aku bisa seperti itu? Apa yang membuatku takut sebenarnya? Apa ini karena pengalamanku sebelumnya?
“Aku itu berbeda dengan mereka. Aku tak akan melakukan itu. Jangan pernah menyamakan aku dengan mereka,” pria itu berkata dengan yakin kepadaku.
Benar. Dia tidaklah sama dengan mereka. Para pria yang meninggalkanku. Lalu apa yang membuatku takut hingga aku berpikiran seperti itu tentangnya? Aku mencoba mencermati tiap inci perasaanku. Mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam pikiranku.
Aku hanya tak mau kehilangan dia. Aku hanya takut dia bosan dengan prinsipku yang seperti ini. Prinsipku ini mungkin akan membuat keadaan dalam hubungan kami menjadi tidak menyenangkan. Aku takut dia jenuh lalu meninggalkanku. Aku pernah diperlakukan seperti itu dulu, diacuhkan karena pria yang pernah dekat denganku dulu itu bosan dengan sikapku yang seperti ini. Tak ada yang menyenangkan dariku.
Aku menyayanngimu. Aku takut kehilangan kamu. Aku takut kamu meninggalkanku karena bosan denganku. Itu saja yang aku rasa. Kini aku tahu apa alasanku mempertanyakan ini semua.
****
“Aku mencintaimu. Percayalah padaku.” Dia menggenggam tangan kananku erat. Sementara tangan kiriku asyik mengaduk-aduk kopi hitam yang kupesan. Aku seolah tidak memperdulikan ucapannya. Kuamati pusaran cairan hitam pekat yang berputar-putar di dalam cangkir putih. “Len, lihat aku! Aku bersungguh-sungguh dengan semua ini,” ucapnya. Tangannya berpindah ke daguku. Dia menarik kepalaku agar berhadapan dengannya. Mata kami saling bertemu. Aku menemukan kesungguhan di sana. Tapi tetap saja aku masih takut dan tidak yakin. Kupalingkan wajahku. Kulirik sebuah kotak kecil yang terbuka . Sebentuk permata putih menonjol di atas logam keemasan berbentuk lingkaran. Setengah bagiannya terselip di antara kain berisi gabus yang mengisi kotak kecil itu. Cantik. Satu kata yang terbesit saat memandangi benda itu. Semua wanita memang menyukainya. Begitu pula denganku. Sayangnya, aku berat menerimanya.
“Maukah kau menikah denganku, Len.” Dia mengulangi pertanyaan lagi. Sebuah pertanyaan yang belum sempat aku jawab.
“Aku belum cukup yakin, Ko,” tuturku. Membuat wajahnya kembali muram. Maafkan aku, batinku. Aku masih belum sanggup melupakan kegagalan masa laluku. Ya, aku pernah gagal membina mahligai ikatan suci yang menyatukan dua orang manusia. Aku gagal.
“Len, aku ingin menikah denganmu. Aku sangat mencintaimu.” Kali ini dia menggenggam kedua tanganku. Aku tahu dia bersungguh-sungguh. Tapi kata-kata cinta tidaklah cukup untuk membuatku yakin.
“Tidak, Ko. Aku tidaklah pantas untukmu. Kau bisa mencari wanita lain yang lebih baik lagi. Kau masih muda, Ko. Kau bisa mendapatkan wanita muda yang belum pernah gagal sepertiku.” Mungkin mataku sekarang sedang berkaca-kaca. Kubibit bibir bawahku. Menahan bulir air mata yang akan jatuh.
“Tidak…tidak…aku tidak mau. Yang kuinginkan hanyalah kamu.” Riko tetap bersikeras. Selisih usia kami yang terpaut sepuluh tahun membuatnya terlihat seperti adikku. Meski begitu dia sosok pria yang sangat dewasa. Pekerjaannya pun terbilang sudah mapan. Bahkan diusianya yang 25 tahun itu dia sudah menjabat sebagai general manager salah satu hotel di kotaku.
“Aku akan melamarmu besok bersama orang tuaku.” Pernyataan terakhirnya membuatku tercengang. Mataku hampir lepas. Sungguh suatu tindakan berani. Aku tidak bisa mencegahnya lagi.
***
Riko menepati janjinya. Esok harinya dia memboyong sepasang suami-istri paruh baya ke rumahku. Mereka orang tuanya. Senyum ramah terkembang di wajah mereka ketika aku menyambutnya. Padahal malam sebelumnya aku sudah berpikiran macam-macam tentang mereka. Aku bersyukur mereka menunjukkan penerimaannya terhadapku.
Suasana hangat dan akrab langsung terasa di ruang tamuku. Riko memangku pangeran kecilku yang masih berusia lima tahun. Dia tampak sangat kebapakan.
“Saya beserta kedua orang tua saya bermaksud melamar anak Bapak,” terangnya saat suasana sudah cukup tenang. Ayahku sudah tidak terkejut lagi. Aku memang sudah memberitahu sebelumnya. Ayah tampak diam.
Semenit. Dua menit. Lima menit. “Jika masalah itu keputusannya hanya ada pada Jasmine. Dia yang menentukan,” tutur ayahku kemudian.
Semua mata kini tertuju padaku. Telinga dipekakan lebar. Bersiap mendengarkan segala keputusanku. Aku menarik napas panjang. Lalu menggumamkan bassmalah lirih hampir tak terdengar. Mereka masih menungguku. Riko, orang tuanya dan orang tuaku. Kupandang pangeran kecilku lekat. Ini juga untuk kebaikannya. Apa yang kuputuskan harus dapat membuatnya bahagia. Pangeran kecilku yang paling penting dalam hidupku selama ini.
Mataku beralih lagi memandang Riko. Aku mengulas sedikit senyum manis. Kuanggukan kepalaku pelan. Tanda aku menyetujui lamarannya.
“Alhamdulillah,” gumam Riko dan orang tuanya bersamaan. Mengucap syukur atas apa yang sudah terjadi. Riko mengecup pipi pangeran kecilku. Senyumnya terulas lebar.
Sungguh beruntungnya aku dicintai oleh pria seperti Riko. Lelaki kedua yang akan segera memasuki hidupku. Kini aku sudah cukup yakin untuk melangkah lagi. Kumantapkan hatiku untuk menjalani kehidupan bersamanya. Segala pikiran buruk dan keraguan segera kutepis jauh-jauh dari otakku. Riko adalah yang terbaik untukku sekarang dan kuharap bisa menjadi selamanya.

-END-


Ini salah satu koleksi cerpenku, dulu sih pernah aku ikutin di audisi kumcer. Tapi ya begitu deh, gak berhasil lolos...hehe. Ya, udahlah posting blog aja.


Tidak ada komentar: