LELAKI KEDUA
“Kenapa menanyakan hal seperti itu?” tanya pria itu
kepadaku. Dari raut wajahnya aku bisa melihat kebingungannya dengan sikapku
yang seperti ini.
“Entahlah, aku hanya merasa tak enak hati saja. Terlebih
dengan statusku ini. Kamu berhak mendapat yang lebih baik dari aku. Kenapa kamu
malah memilihku? Aku ini cuma wanita gagal,” jelasku. Aku menunduk tak berani
menatapnya. Aku sendiri bingung dengan yang aku rasakan. Bingung dengan
pemikiranku sendiri.
Pria disampingku itu diam sejenak. “Kamu ini aneh. Harusnya
kamu senang, aku bersungguh-sungguh menyayangimu. Dan bagiku kamulah yang
terbaik.” Ada getar kekesalan dari nada suaranya yang kudengar.
“Maaf, aku hanya tidak ingin kamu kecewa. Maka dari itu aku
jujur dengan statusku yang sebenarnya.” Aku makin menundukkan kepala. Ada getir
keraguan di hatiku. Sekaligus juga ketakutan pada apa yang akan menghadang
jalan kami suatu saat ke depannya. Pria lajang dan muda sepertinya memang tidak
seharusnya mencintai janda sepertiku. Terlebih usia kami yang terpaut jauh.
Orang-orang pasti akan banyak yang mencemooh atau menentang hubungan seperti
ini.
“Tenanglah, apapun
yang terjadi pada hubungan kita nanti aku akan terus berusaha untuk
memperjuangkannya,” tutur pria itu. Dia seolah dapat membaca pikiranku.
Tangannya begitu erat menggenggam tanganku.
“Iya, maaf. Sekarang aku sudah mengerti apa yang kamu
pikirkan.” Beginilah aku, masih sulit
untuk melangkah lebih jauh lagi.
***
Aku duduk di teras depan rumahku. Sendirian memandangi
butir air hujan yang jatuh ke bumi. Sangat indah. Aku selalu suka hujan. Aku
suka memandangi hujan seperti sekarang ini. Dengan seperti ini aku bisa
memikirkan segalanya dengan lebih dalam. Hujan selalu bisa menenangkan
pikiranku.
Aku masih terus memikirkan kejadian itu, ketika aku
berbicara dengannya. Meski dia sudah menganggap ini selesai. Aku masih
memikirkannya. Kenapa aku bisa seperti
itu? Apa yang membuatku takut sebenarnya? Apa ini karena pengalamanku
sebelumnya?
“Aku itu berbeda dengan mereka. Aku tak akan melakukan itu.
Jangan pernah menyamakan aku dengan mereka,” pria itu berkata dengan yakin
kepadaku.
Benar. Dia tidaklah
sama dengan mereka. Para pria yang meninggalkanku. Lalu apa yang membuatku
takut hingga aku berpikiran seperti itu tentangnya? Aku mencoba mencermati
tiap inci perasaanku. Mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
dalam pikiranku.
Aku hanya tak mau
kehilangan dia. Aku hanya takut dia bosan dengan prinsipku yang seperti ini.
Prinsipku ini mungkin akan membuat keadaan dalam hubungan kami menjadi tidak
menyenangkan. Aku takut dia jenuh lalu meninggalkanku. Aku pernah diperlakukan
seperti itu dulu, diacuhkan karena pria yang pernah dekat denganku dulu itu bosan
dengan sikapku yang seperti ini. Tak ada yang menyenangkan dariku.
Aku menyayanngimu.
Aku takut kehilangan kamu. Aku takut kamu meninggalkanku karena bosan denganku.
Itu saja yang aku rasa. Kini aku tahu apa alasanku mempertanyakan ini semua.
****
“Aku mencintaimu. Percayalah padaku.” Dia menggenggam
tangan kananku erat. Sementara tangan kiriku asyik mengaduk-aduk kopi hitam
yang kupesan. Aku seolah tidak memperdulikan ucapannya. Kuamati pusaran cairan
hitam pekat yang berputar-putar di dalam cangkir putih. “Len, lihat aku! Aku
bersungguh-sungguh dengan semua ini,” ucapnya. Tangannya berpindah ke daguku.
Dia menarik kepalaku agar berhadapan dengannya. Mata kami saling bertemu. Aku
menemukan kesungguhan di sana. Tapi tetap saja aku masih takut dan tidak yakin.
Kupalingkan wajahku. Kulirik sebuah kotak kecil yang terbuka . Sebentuk permata
putih menonjol di atas logam keemasan berbentuk lingkaran. Setengah bagiannya
terselip di antara kain berisi gabus yang mengisi kotak kecil itu. Cantik. Satu
kata yang terbesit saat memandangi benda itu. Semua wanita memang menyukainya.
Begitu pula denganku. Sayangnya, aku berat menerimanya.
“Maukah kau menikah denganku, Len.” Dia mengulangi
pertanyaan lagi. Sebuah pertanyaan yang belum sempat aku jawab.
“Aku belum cukup yakin, Ko,” tuturku. Membuat wajahnya
kembali muram. Maafkan aku, batinku.
Aku masih belum sanggup melupakan kegagalan masa laluku. Ya, aku pernah gagal
membina mahligai ikatan suci yang menyatukan dua orang manusia. Aku gagal.
“Len, aku ingin menikah denganmu. Aku sangat mencintaimu.”
Kali ini dia menggenggam kedua tanganku. Aku tahu dia bersungguh-sungguh. Tapi
kata-kata cinta tidaklah cukup untuk membuatku yakin.
“Tidak, Ko. Aku tidaklah pantas untukmu. Kau bisa mencari
wanita lain yang lebih baik lagi. Kau masih muda, Ko. Kau bisa mendapatkan
wanita muda yang belum pernah gagal sepertiku.” Mungkin mataku sekarang sedang
berkaca-kaca. Kubibit bibir bawahku. Menahan bulir air mata yang akan jatuh.
“Tidak…tidak…aku tidak mau. Yang kuinginkan hanyalah kamu.”
Riko tetap bersikeras. Selisih usia kami yang terpaut sepuluh tahun membuatnya
terlihat seperti adikku. Meski begitu dia sosok pria yang sangat dewasa.
Pekerjaannya pun terbilang sudah mapan. Bahkan diusianya yang 25 tahun itu dia
sudah menjabat sebagai general manager salah satu hotel di kotaku.
“Aku akan melamarmu besok bersama orang tuaku.” Pernyataan
terakhirnya membuatku tercengang. Mataku hampir lepas. Sungguh suatu tindakan
berani. Aku tidak bisa mencegahnya lagi.
***
Riko menepati janjinya. Esok harinya dia memboyong sepasang
suami-istri paruh baya ke rumahku. Mereka orang tuanya. Senyum ramah terkembang
di wajah mereka ketika aku menyambutnya. Padahal malam sebelumnya aku sudah
berpikiran macam-macam tentang mereka. Aku bersyukur mereka menunjukkan
penerimaannya terhadapku.
Suasana hangat dan akrab langsung terasa di ruang tamuku.
Riko memangku pangeran kecilku yang masih berusia lima tahun. Dia tampak sangat
kebapakan.
“Saya beserta kedua orang tua saya bermaksud melamar anak
Bapak,” terangnya saat suasana sudah cukup tenang. Ayahku sudah tidak terkejut
lagi. Aku memang sudah memberitahu sebelumnya. Ayah tampak diam.
Semenit. Dua menit. Lima menit. “Jika masalah itu
keputusannya hanya ada pada Jasmine. Dia yang menentukan,” tutur ayahku
kemudian.
Semua mata kini tertuju padaku. Telinga dipekakan lebar.
Bersiap mendengarkan segala keputusanku. Aku menarik napas panjang. Lalu
menggumamkan bassmalah lirih hampir tak terdengar. Mereka masih menungguku.
Riko, orang tuanya dan orang tuaku. Kupandang pangeran kecilku lekat. Ini juga
untuk kebaikannya. Apa yang kuputuskan harus dapat membuatnya bahagia. Pangeran
kecilku yang paling penting dalam hidupku selama ini.
Mataku beralih lagi memandang Riko. Aku mengulas sedikit
senyum manis. Kuanggukan kepalaku pelan. Tanda aku menyetujui lamarannya.
“Alhamdulillah,” gumam Riko dan orang tuanya bersamaan.
Mengucap syukur atas apa yang sudah terjadi. Riko mengecup pipi pangeran
kecilku. Senyumnya terulas lebar.
Sungguh beruntungnya aku dicintai oleh pria seperti Riko.
Lelaki kedua yang akan segera memasuki hidupku. Kini aku sudah cukup yakin
untuk melangkah lagi. Kumantapkan hatiku untuk menjalani kehidupan bersamanya.
Segala pikiran buruk dan keraguan segera kutepis jauh-jauh dari otakku. Riko
adalah yang terbaik untukku sekarang dan kuharap bisa menjadi selamanya.
-END-
Ini salah satu koleksi cerpenku, dulu sih pernah aku ikutin di audisi kumcer. Tapi ya begitu deh, gak berhasil lolos...hehe. Ya, udahlah posting blog aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar