Minggu, 03 Juni 2012

Cinta Yang Tak Mungkin #2


“Aku mencintaimu, Ben.” Kalimat itu terlontar begitu saja setelah sekian lama aku memendamnya. Dua bulan sudah berlalu bergitu cepat. Aku tak kuasa lagi membendungan perasaa dalam hati ini. Aku memandangnya, dia tersentak terkejut. Seperti mimpi bukan? Karena di dunia yang sebenarnya, ini tak seharusnya terjadi. “Apa yang kamu katakan, Mel? Kamu sedang bercanda?” Selama sepersekian menit tadi dia diam, akhirnya dia menyuarakan rasa terkejutnya, menganggap ini hanya candaan?
“Aku serius, Ben. Aku benar-benar mencintaimu,” sergaku cepat. Kutarik dan kugenggam kedua tangannya. Dia menggeleng-geleng, masih tak percaya pada ucapanku. “Tidak, Mel. Tidak mungkin,” ujarnya sambil menarik kedua tangannya dan menepis kedua tanganku. Lalu dia mundur beberapa langkah.
“Aku tidak mampu menahan ini. Aku juga tida bisa membohongi diriku sendiri. Aku memang mencintaimu!” pekikku. Ini memang benar apa adanya. Aku tahu ini pasti terllihat gila, cinta yang tak selayaknya ada. Bahkan lebih besar dari cinta yang kukenal sebelumnya. Tes tes tes. Ada yang menetes dari kelopak mataku, aku menangis rupanya. “Aku tak butuh jawaban. Aku hanya ingin kamu tahu.”
Ben menunduk, diam. Tak kudengar suaranya, dia  terlihat sedang berpikir. Mungkin menilik apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Cukup lama detik bergulir lambat, angin berhembus membelai wajah basahku. Awan kelabu berarak menutupi langit biru, rupanya langit akan menaburkan kristal-kristal beningnya. Entah berapa lama, aku masih menunggu Ben memberikan respon. Sampai akhirnya dia mendongakkan kepala, ada getir yang sulit kubaca dari raut wajah tampan itu. Tiba-tiba saja aku sudah ada dalam peluknya. Aku tahu, aku bisa mengartikan semua ini dan aku bisa merasakannya. Dia… Dia juga mencintaiku.
***
“Aku tahu. Tapi itu tidak mungkin. Maafkan aku, Mel,” ucapnya. Jiwaku yang merantau dalam bayang masa lalu kembali pada masa yang sedang kujalani. Suaranya terdengar merdu di telingaku meski tidak untuk hatiku. Dia bangkit dari duduknya, berdiri memandangku yang terus menunduk. “Kau menangis, Mel?” tanyanya, ada getir kecemasan dalam suaranya. Dia meraih daguku, mendongakkan kepalaku sehingga mata kami dapat saling bertemu. Mata kecoklatannya menatapku teduh. Begitu dewasanya dia menghadapiku, padahal selisih usia kami hanya lima tahun. “Jangan menangis, Mel. Maafkan aku telah melukaimu,” pintanya. Tangannya bergerak membelai pipi putihku, menghapus tiap jejak air mata yang tertoreh.
“Kalau begitu jangan tinggalkan aku. Batalkan niatmu untuk menikahinya,” sergaku cepat. Perasaan tak ingin kehilangan dia terlalu kuat menggebu dalam hatiku. Dia menggeleng, menyatakan penolakannya. Aku mencekal kedua pergelangan tangannya. “Aku mohon!” pintaku. Aku terpaksa merendahkan diriku dengan memohon kepadanya. Sungguh, aku masih belum bisa mengikhlaskannya. Aku tidak bisa melihatnya bersama wanita lain. Bayangan seorang wanita manis berambut panjang, wajah Indo-Belanda, berkulit putih dengan usia sepantaran dengannya muncul dalam benakku. Dia baru mengenalkannya tiga hari yang lalu, wanita yang menjadi tunangannya itu. “Lihat aku dan katakan kau tidak mencintaiku!” paksaku.
“Maaf, Mel… aku tidak bisa. Kita tak seharusnya seperti ini. Seandainya saja Mama Neli tidak mengangkatku sebagai anaknya, mungkin kita tidak akan sesulit ini. Kau keponakanku. Kita tak mungkin menyatu.”
“Tidak! Jangan lakukan itu! Aku tidak mau kehilanganmu, Ben. Ini terlalu menyakitkan untukku.” Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Luapan tangisku sudah menjadi-jadi, histeris mungkin. Dia memelukku erat, membisikan sesuatu di telingaku. Sebuah kata penuh penyesalan, “Maaf, Mel.” Pelukannya ini akan jadi pelukan perpisahan yang mengakhiri petualangan cintaku dengannya. Dan untuk terakhir kalinya aku membiarkan diriku terbenam dalam kehangatan cintanya, cinta yang tak mungkin bersatu. Biarlah kurasakan untuk terakhir kalinya, sebelum dia menjadi milik wanita lain. Hanya sampai di sini kisahku dengannya, berakhir dengan kepedihan.


END...

Tidak ada komentar: