“Aku
mencintaimu, Ben.” Kalimat itu terlontar begitu saja setelah sekian lama aku
memendamnya. Dua bulan sudah berlalu bergitu cepat. Aku tak kuasa lagi membendungan
perasaa dalam hati ini. Aku memandangnya, dia tersentak terkejut. Seperti mimpi
bukan? Karena di dunia yang sebenarnya, ini tak seharusnya terjadi. “Apa yang
kamu katakan, Mel? Kamu sedang bercanda?” Selama sepersekian menit tadi dia
diam, akhirnya dia menyuarakan rasa terkejutnya, menganggap ini hanya candaan?
“Aku serius,
Ben. Aku benar-benar mencintaimu,” sergaku cepat. Kutarik dan kugenggam kedua tangannya.
Dia menggeleng-geleng, masih tak percaya pada ucapanku. “Tidak, Mel. Tidak
mungkin,” ujarnya sambil menarik kedua tangannya dan menepis kedua tanganku. Lalu
dia mundur beberapa langkah.
“Aku tidak
mampu menahan ini. Aku juga tida bisa membohongi diriku sendiri. Aku memang
mencintaimu!” pekikku. Ini memang benar apa adanya. Aku tahu ini pasti
terllihat gila, cinta yang tak selayaknya ada. Bahkan lebih besar dari cinta
yang kukenal sebelumnya. Tes tes tes. Ada yang menetes dari kelopak mataku, aku
menangis rupanya. “Aku tak butuh jawaban. Aku hanya ingin kamu tahu.”
Ben menunduk, diam.
Tak kudengar suaranya, dia terlihat sedang
berpikir. Mungkin menilik apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Cukup lama
detik bergulir lambat, angin berhembus membelai wajah basahku. Awan kelabu
berarak menutupi langit biru, rupanya langit akan menaburkan kristal-kristal
beningnya. Entah berapa lama, aku masih menunggu Ben memberikan respon. Sampai akhirnya
dia mendongakkan kepala, ada getir yang sulit kubaca dari raut wajah tampan itu.
Tiba-tiba saja aku sudah ada dalam peluknya. Aku tahu, aku bisa mengartikan
semua ini dan aku bisa merasakannya. Dia… Dia juga mencintaiku.
***
“Aku tahu. Tapi
itu tidak mungkin. Maafkan aku, Mel,” ucapnya. Jiwaku yang merantau dalam
bayang masa lalu kembali pada masa yang sedang kujalani. Suaranya terdengar
merdu di telingaku meski tidak untuk hatiku. Dia bangkit dari duduknya, berdiri
memandangku yang terus menunduk. “Kau menangis, Mel?” tanyanya, ada getir
kecemasan dalam suaranya. Dia meraih daguku, mendongakkan kepalaku sehingga
mata kami dapat saling bertemu. Mata kecoklatannya menatapku teduh. Begitu
dewasanya dia menghadapiku, padahal selisih usia kami hanya lima tahun. “Jangan
menangis, Mel. Maafkan aku telah melukaimu,” pintanya. Tangannya bergerak
membelai pipi putihku, menghapus tiap jejak air mata yang tertoreh.
“Kalau begitu
jangan tinggalkan aku. Batalkan niatmu untuk menikahinya,” sergaku cepat.
Perasaan tak ingin kehilangan dia terlalu kuat menggebu dalam hatiku. Dia
menggeleng, menyatakan penolakannya. Aku mencekal kedua pergelangan tangannya.
“Aku mohon!” pintaku. Aku terpaksa merendahkan diriku dengan memohon kepadanya.
Sungguh, aku masih belum bisa mengikhlaskannya. Aku tidak bisa melihatnya
bersama wanita lain. Bayangan seorang wanita manis berambut panjang, wajah
Indo-Belanda, berkulit putih dengan usia sepantaran dengannya muncul dalam
benakku. Dia baru mengenalkannya tiga hari yang lalu, wanita yang menjadi
tunangannya itu. “Lihat aku dan katakan kau tidak mencintaiku!” paksaku.
“Maaf, Mel… aku
tidak bisa. Kita tak seharusnya seperti ini. Seandainya saja Mama Neli tidak
mengangkatku sebagai anaknya, mungkin kita tidak akan sesulit ini. Kau
keponakanku. Kita tak mungkin menyatu.”
“Tidak! Jangan
lakukan itu! Aku tidak mau kehilanganmu, Ben. Ini terlalu menyakitkan untukku.”
Aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Luapan tangisku sudah
menjadi-jadi, histeris mungkin. Dia memelukku erat, membisikan sesuatu di
telingaku. Sebuah kata penuh penyesalan, “Maaf, Mel.” Pelukannya ini akan jadi
pelukan perpisahan yang mengakhiri petualangan cintaku dengannya. Dan untuk
terakhir kalinya aku membiarkan diriku terbenam dalam kehangatan cintanya, cinta
yang tak mungkin bersatu. Biarlah kurasakan untuk terakhir kalinya, sebelum dia
menjadi milik wanita lain. Hanya sampai di sini kisahku dengannya, berakhir
dengan kepedihan.
END...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar