“Lin, aku akan menikah.” Nando
mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku terkejut. Matanya mengamati ekspresi
yang tercipta di wajahku. Aku berusaha agar tak terlihat terkejut. Kupasang
wajah datarku. Kemudian tangannya terulur. Menyodorkan sebuah kertas tebal
berwarna merah. Di covernya tertulis “Nando Ferdinan & Melika Putri”. Itu
nama lengkapnya dan nama kekasih yang sudah setahun ini dia pacari. “Ini
undangannya,” ujarnya. Aku menerimanya – dengan terpaksa. Tanganku bergetar.
“Selamat, ya!” seruku sembari
tersenyum dipaksa. Pasti jelek sekali raut mukaku sekarang. Aku mengalihkan
pandanganku untuk tidak menatapnya. Dia bisa menangkap sorot kesedihan hatiku
yang dipancarkan dari mataku.
“Kapan kau akan menyusulku?
Carilah seorang kekasih untuk menemanimu,” sarannya. Dia berdiri. Beranjak akan
pergi. “Sudah, ya! Aku harus membagikan undangan-undangan ini pada teman yang
lain.” Aku hanya mengangguk. Membiarkan dia pergi.
***
Senja
mulai temaram, keheningan merayap dan menyelusup di balik selimut malam. Hujan
deras yang baru saja reda menyisakan dingin yang menusuk masuk dalam pori-pori
kulitku yang putih bersih. Wajah wanita muda keturunan Cina. Aku melamun
di balkon kamarku. Kubiarkan angin mengibarkan rambut panjangku. Satu bulan menjelang pernikahan Nando, dia semakin sibuk
mengurusi segala persiapannya. Tak pernah ada waktu untukku. Betapa bahagianya
wanita yang mendapatkan pria baik seperti Nando, pikirku.
“Mei Lin, turunlah untuk makan.
Sejak siang kau belum makan, bukan?” Mama berteriak dari ruang bawah.
Menyadarkan lamunanku. “Nanti saja, Ma. Mei tidak lapar,” jawabku. Aku sedang
tidak berselera untuk memakan apapun.
Tak kudengar lagi suara Mama.
Ceklek. Pintu kamarku terbuka. Mama berdiri di ambang pintu kamarku. Tangan
kanannya masih memegangi handel pintu. “Ada apa? Mama sudah masakkan makanan
enak untukmu. Ayo cepatlah makan! Nanti malam kita harus ke klenteng, bukan?”
tegur mama mengingatkanku. Aku beranjak dari balkon kamarku dan berjalan
menghampiri mama.
“Nanti saja, Ma. Mei belum lapar,”
tolakku. Aku memasang wajah memelas, memohon agar mama tidak membujukku lagi
untuk makan.
“Ah, sudahlah. Terserah kau!”
ucap mama sembari menutup pintu kamarku. Aku berbalik dan menghempaskan badanku
di atas pembaringan yang empuk. Mencoba memejamkan mata sejenak.
***
Suara petasan menggema, disambut
dengan bunyi gong dan drum yang ditabuh serta sepasang simbal yang diadu.
Mengiringi gerak sepasang barongsai merah dan hitam yang meliuk-liuk memamerkan
atraksinya. Semua orang yang melihatnya memandang dengan ketakjuban. Tepuk
tangan keras merupakan salah satu tanda kepuasan mereka atas hiburan yang
disajikan itu. Beberapa orang lain lebih memilih mengambil dupa dan
membakarnya. Mereka berjalan memasuki bangunan bercat merah yang di bagian
depan atapnya bertuliskan huruf Cina. Duba ditusukkan ke dalam wadah besar
berisi pasir di tengah ruangan. Doa pun mereka panjatkan sambil memejamkan
mata. Berharap tahun yang baru ini mendapatkan keberuntungan yang lebih untuk
hidup mereka.
Aku mengikuti mama dan papaku.
Berjalan di belakang mereka. Melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan
orang lain di sekitarku. Tak ada kekhusukkan dalam berdoa. Pikiranku entah
melayang kemana. Hanya dia, seorang pria yang menjadi sahabat karibku selama
belasan tahun ini.
Aku menghela napas setelah kurasa
akting berdoaku cukup lama berlangsung. Setiap waktu, aku semakin sering
memikirkannya. Sudah puluhan tahun perasaan ini aku bendung. Aku tak punya
cukup keberanian untuk mengungkapkannya. Terlalu sulit. Terlalu banyak perbedaan
di antara kami. Aku takut sikapnya akan berubah. Toh, dia sudah mencintai wanita lain.
Tiba-tiba ada yang bergejolak
dalam tubuhku. Perih menjalar. Tubuhku bergetar hebat. Pandangan mataku yang
menatap patung Dewa yang entah namanya kulupakan akhir-akhir ini terlihat
kabur. Samar-samar yang mampu kutangkap suara ramai orang di depan klenteng. Tubuhku
tak lagi mampu bertahan. Oleng, lalu jatuh terkapar. Dan sedetik kemudian semua
gelap.
***
Aku
terbangun. “Ruangan apa ini?” gumamku saat menyadari bahwa aku berada di tempat
yang asing. Dan ketika kulihat baju yang mebalut tubuhku, aku terkejut. Sebuah
gaun putih panjang. Tempat ini semua serba putih dan kosong. Bukan baju yang
kukenakan tadi. Hanya aku seorang diri. Aku berjalan. Di selilingku berdiri banyak
pintu berwarna coklat yang berjajar. Aku mengedarkan pandangan berkeliling
menatapi pintu-pintu itu satu per satu. Mana yang harus aku masuki? Pikirku.
Akhirnya aku memilih untuk terus melangkahkan kakiku ke depan. Di ujung ruang
kosong ini kutemukan sebuah pintu terbuka. Ada cahaya menyilaukan dari dalam
pintu itu. Mencoba memasukinya.
Hamparan
rerumputan hijau menyambutku. Kontras sekali dengan ruangan tadi. Pepohonannya
aneh dengan dipenuhi buah yang mirip anggur. Tak jauh dari tempatku berdiri,
terbentang puluhan liter air yang mengisi cekungan besar. Sebuah danau dengan
air jernih. Bayangan pepohonan di sekelilingnya terpancar dari air danau itu.
Di dekat danau itu terdapat sebuah bangku dari kayu yang kosong. Aku menghampirinya.
Lalu duduk di atasnya. Kunikmati semua yang tersaji di tempat yang entah tak
kuketahui dimana ini. Udara terasa sejuk. Begitu menenangkan.
***
“Akan
cukup sulit untuknya bertahan hidup. Maag yang dia derita sudah cukup parah.
Bahkan telah merambat ke livernya.” Seorang pria tua berjas putih memberikan
penjelasan pada sepasang suami-istri yang duduk di depannya. Sang istri terisak
mendengar apa yang diucapkan pria itu.
“Kami
sudah tidak memiliki cukup biaya lagi untuk membiarkan dia terus dirawat, Dok,”
keluh Sang Suami.
“Mungkin
jika Mei Lin dalam keadaan sadar, semua tidak akan separah ini. Saya sudah
tidak mampu lagi berbuat apa-apa,” terang dokter tua itu.
“Apa
tidak ada jalan lain, Dok? Paling tidak untuk mengurangi penderitaannya itu.
Kami tidak sanggup melihatnya tersiksa dengan rasa sakitnya itu,” tanya Sang
Suami. Dokter itu menggeleng. Namun kemudian, tersetuslah sebuah ide yang
mungkin cukup menyedihkan untuk disuarakan. “Hmm, ada satu jalan untuk itu
semua,” seru si Dokter.
“Apa
itu, Dok?” balas Sang Suami.
“Menyutik
matinya!” Kata-kata sang dokter bagaikan pertir yang penyambar dengan
kencangnya. Sang Istri langsung menangis kencang. Pria di sampingnya memeluknya
erat. “Sudah, Ma. Kita harus merelakan Mei Lin. Biar dia tenang dan tidak
tersakiti lagi.” Sang suami mencoba menenangkannya. Berusaha tabah untuk
menguatkan istrinya. Keputusan yang berat.
***
Cinta
adalah misteri, yang rumit dan tidak kita ketahui kemana akan berujung.
Aku
duduk begitu lama di tepi danau. Langit tak berubah sedikit pun. Matahari tetap
menampakkan sinarnya. Merasa aneh dengan tempat indah ini. Aku ada dimana?
Pikirku.
“Lin,
jangan tinggalkan aku! Aku tidak mau kehilanganmu.” Tiba-tiba saja sebuah suara
pria menggema mengisi seluruh ruang tempat ini. “Siapa itu?” teriakku. Suasana
kembali hening.
Dari
tengah danau muncul bayangan seseorang menaiki sebuah perahu menuju ke arahku.
Aku memicingkan mata. Memfokuskan pada bayangan itu. Rupanya seorang pria yang
menaikinya. Pria itu mendayungnya perlahan. Tak lama perahunya telah mencapai
pinggir danau. Aku menghampirinya, merasa mengenali pria itu. “Lin, pulanglah!
Aku merindukanmu,” ujar pria berbaju putih yang tengah berdiri di atas perahu
kecil di depanku. Aku mengernyit. Apa aku mengenalnya? Dia terasa begitu dekat
denganku. Siapa dia? Batinku. “Apa kau tidak merindukanku, Lin?” sambungnya
lagi. Aku terdiam. Dia mengulurkan tangan kanannya. “Ayo, Lin. Ikut aku
pulang,” ajaknya.
Aku
masih mengorek isi kepalaku. Mencari tahu siapa gerangan pria itu. Ting. Serasa
ada cahaya di kepalaku. Ketemu! Seruku dalam hati. “Nando?” panggilku pada pria
itu. Dia mengulaskan senyum termanisnya padaku. “Iya, aku Nando. Sahabatmu,”
balasnya.
Entah
apa yang kurasakan. Ada keinginan untuk segera menghambur memeluknya. Tapi, di
sisi lain kakiku bergerak mundur dua langkah menjauhinya. “Tidak! Aku tidak mau
pulang. Di sini lebih menyenangkan,” tolakku.
Nando
maju selangkah sampai di ujung perahu yang berdekatan denganku. “Kenapa? Aku
tak mau kehilanganmu, Lin. Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Kembalilah,
Lin,” bujuknya lagi.
“Tidak,
terlalu menyakitkan untukku jika harus pulang.” Aku masih kekeh dengan
keinginanku.
“Aku
tidak akan menyakitimu. Aku tidak akan membiarkanmu tersakiti. Aku mencintaimu,
Lin.”
Aku
seakan tak percaya mendengar apa yang dikatakannya barusan. Nando mencintaiku?
“Bohong!” seruku.
“Aku
bersungguh-sungguh, Lin. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Entah apa yang akan
terjadi padaku nanti bila kau tak ada.” Aku melihat ada sorot kesedihan saat
Nando mengucapkan itu. Apa benar itu?
“Aku
mencintaimu, Lin. Bangun, Lin. Jangan tinggalkan aku!” Lagi-lagi suara itu
menggema. Suara yang aku kenal. Itu suara Nando. Tapi, Nando di depanku diam
saja dari tadi.
“Ayo,
Lin pulang!” ajak Nando di depanku. Tangannya kembali terulur memintaku
menyambutnya. Tanpa pikir panjang lagi aku melangkah maju. Menyambut uluran
tangannya. Melompat naik ke perahu kecil yang dibawanya.
Tes.
Kurasakan tetes air mengenai punggung tanganku. Saraf dan otot-otot di sekujur
tubuh terasa kaku. Aku tak mampu bergerak. Namun, sekuat tenaga kucoba
menggerakkan sedikit tanganku. Dan berhasil. Jari-jariku terangkat sedikit.
“Lin…Lin…” Namaku disebut dengan cukup keras. “Kau bangun, Lin!”
Kubuka
mataku perlahan. Buram. Kukerjapkan perlahan sampai pandanganku menjadi jelas.
Kulihat dia – pria yang kucintai – menggenggap salah satu tanganku erat. Namaku
disebutnya berulang kali. Matanya basah. Dia menangis untukku? “Syukurlah kau
sudah bangun, Lin!” ujarnya senang.
“Apa
aku mencintaiku, Nando? Apa yang kau katakana tadi itu benar adanya?” Anehnya
kata-kata pertamaku adalah pertanyaan konyol yang selalu menghiasai hari-hariku
selama ini.
“Ya,
aku mencintaimu Lin. Aku sangat mencintaimu, Mei Lin.” Jawaban terindah yang
pernah aku dengar. Kekuatanku bangkit seketika itu juga. Aku bersikeras bangkit
untuk dapat memeluknya. Dia bisa membaca itu dan menyambar tubuhku untuk masuk
ke dalam dekapannya. Ternyata selama ini cintaku tidak bertepuk sebelah tangan.
Aku salah menduganya. Dia juga mencintaiku. Cinta yang berhasil membuatku
bangkit dari ambang kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar