Selasa, 12 Juni 2012

CINTA LIN



“Lin, aku akan menikah.” Nando mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku terkejut. Matanya mengamati ekspresi yang tercipta di wajahku. Aku berusaha agar tak terlihat terkejut. Kupasang wajah datarku. Kemudian tangannya terulur. Menyodorkan sebuah kertas tebal berwarna merah. Di covernya tertulis “Nando Ferdinan & Melika Putri”. Itu nama lengkapnya dan nama kekasih yang sudah setahun ini dia pacari. “Ini undangannya,” ujarnya. Aku menerimanya – dengan terpaksa. Tanganku bergetar.
“Selamat, ya!” seruku sembari tersenyum dipaksa. Pasti jelek sekali raut mukaku sekarang. Aku mengalihkan pandanganku untuk tidak menatapnya. Dia bisa menangkap sorot kesedihan hatiku yang dipancarkan dari mataku.
“Kapan kau akan menyusulku? Carilah seorang kekasih untuk menemanimu,” sarannya. Dia berdiri. Beranjak akan pergi. “Sudah, ya! Aku harus membagikan undangan-undangan ini pada teman yang lain.” Aku hanya mengangguk. Membiarkan dia pergi.
***
Senja mulai temaram, keheningan merayap dan menyelusup di balik selimut malam. Hujan deras yang baru saja reda menyisakan dingin yang menusuk masuk dalam pori-pori kulitku  yang putih bersih. Wajah wanita muda keturunan Cina. Aku melamun di balkon kamarku. Kubiarkan angin mengibarkan rambut panjangku. Satu bulan menjelang pernikahan Nando, dia semakin sibuk mengurusi segala persiapannya. Tak pernah ada waktu untukku. Betapa bahagianya wanita yang mendapatkan pria baik seperti Nando, pikirku.
“Mei Lin, turunlah untuk makan. Sejak siang kau belum makan, bukan?” Mama berteriak dari ruang bawah. Menyadarkan lamunanku. “Nanti saja, Ma. Mei tidak lapar,” jawabku. Aku sedang tidak berselera untuk memakan apapun.
Tak kudengar lagi suara Mama. Ceklek. Pintu kamarku terbuka. Mama berdiri di ambang pintu kamarku. Tangan kanannya masih memegangi handel pintu. “Ada apa? Mama sudah masakkan makanan enak untukmu. Ayo cepatlah makan! Nanti malam kita harus ke klenteng, bukan?” tegur mama mengingatkanku. Aku beranjak dari balkon kamarku dan berjalan menghampiri mama.
“Nanti saja, Ma. Mei belum lapar,” tolakku. Aku memasang wajah memelas, memohon agar mama tidak membujukku lagi untuk makan.
“Ah, sudahlah. Terserah kau!” ucap mama sembari menutup pintu kamarku. Aku berbalik dan menghempaskan badanku di atas pembaringan yang empuk. Mencoba memejamkan mata sejenak.
***
Suara petasan menggema, disambut dengan bunyi gong dan drum yang ditabuh serta sepasang simbal yang diadu. Mengiringi gerak sepasang barongsai merah dan hitam yang meliuk-liuk memamerkan atraksinya. Semua orang yang melihatnya memandang dengan ketakjuban. Tepuk tangan keras merupakan salah satu tanda kepuasan mereka atas hiburan yang disajikan itu. Beberapa orang lain lebih memilih mengambil dupa dan membakarnya. Mereka berjalan memasuki bangunan bercat merah yang di bagian depan atapnya bertuliskan huruf Cina. Duba ditusukkan ke dalam wadah besar berisi pasir di tengah ruangan. Doa pun mereka panjatkan sambil memejamkan mata. Berharap tahun yang baru ini mendapatkan keberuntungan yang lebih untuk hidup mereka.
Aku mengikuti mama dan papaku. Berjalan di belakang mereka. Melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang lain di sekitarku. Tak ada kekhusukkan dalam berdoa. Pikiranku entah melayang kemana. Hanya dia, seorang pria yang menjadi sahabat karibku selama belasan tahun ini.
Aku menghela napas setelah kurasa akting berdoaku cukup lama berlangsung. Setiap waktu, aku semakin sering memikirkannya. Sudah puluhan tahun perasaan ini aku bendung. Aku tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya. Terlalu sulit. Terlalu banyak perbedaan di antara kami. Aku takut sikapnya akan berubah. Toh, dia sudah mencintai wanita lain.
Tiba-tiba ada yang bergejolak dalam tubuhku. Perih menjalar. Tubuhku bergetar hebat. Pandangan mataku yang menatap patung Dewa yang entah namanya kulupakan akhir-akhir ini terlihat kabur. Samar-samar yang mampu kutangkap suara ramai orang di depan klenteng. Tubuhku tak lagi mampu bertahan. Oleng, lalu jatuh terkapar. Dan sedetik kemudian semua gelap.
***
Aku terbangun. “Ruangan apa ini?” gumamku saat menyadari bahwa aku berada di tempat yang asing. Dan ketika kulihat baju yang mebalut tubuhku, aku terkejut. Sebuah gaun putih panjang. Tempat ini semua serba putih dan kosong. Bukan baju yang kukenakan tadi. Hanya aku seorang diri. Aku berjalan. Di selilingku berdiri banyak pintu berwarna coklat yang berjajar. Aku mengedarkan pandangan berkeliling menatapi pintu-pintu itu satu per satu. Mana yang harus aku masuki? Pikirku. Akhirnya aku memilih untuk terus melangkahkan kakiku ke depan. Di ujung ruang kosong ini kutemukan sebuah pintu terbuka. Ada cahaya menyilaukan dari dalam pintu itu. Mencoba memasukinya.
Hamparan rerumputan hijau menyambutku. Kontras sekali dengan ruangan tadi. Pepohonannya aneh dengan dipenuhi buah yang mirip anggur. Tak jauh dari tempatku berdiri, terbentang puluhan liter air yang mengisi cekungan besar. Sebuah danau dengan air jernih. Bayangan pepohonan di sekelilingnya terpancar dari air danau itu. Di dekat danau itu terdapat sebuah bangku dari kayu yang kosong. Aku menghampirinya. Lalu duduk di atasnya. Kunikmati semua yang tersaji di tempat yang entah tak kuketahui dimana ini. Udara terasa sejuk. Begitu menenangkan.
***
“Akan cukup sulit untuknya bertahan hidup. Maag yang dia derita sudah cukup parah. Bahkan telah merambat ke livernya.” Seorang pria tua berjas putih memberikan penjelasan pada sepasang suami-istri yang duduk di depannya. Sang istri terisak mendengar apa yang diucapkan pria itu.
“Kami sudah tidak memiliki cukup biaya lagi untuk membiarkan dia terus dirawat, Dok,” keluh Sang Suami.
“Mungkin jika Mei Lin dalam keadaan sadar, semua tidak akan separah ini. Saya sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa,” terang dokter tua itu.
“Apa tidak ada jalan lain, Dok? Paling tidak untuk mengurangi penderitaannya itu. Kami tidak sanggup melihatnya tersiksa dengan rasa sakitnya itu,” tanya Sang Suami. Dokter itu menggeleng. Namun kemudian, tersetuslah sebuah ide yang mungkin cukup menyedihkan untuk disuarakan. “Hmm, ada satu jalan untuk itu semua,” seru si Dokter.
“Apa itu, Dok?” balas Sang Suami.
“Menyutik matinya!” Kata-kata sang dokter bagaikan pertir yang penyambar dengan kencangnya. Sang Istri langsung menangis kencang. Pria di sampingnya memeluknya erat. “Sudah, Ma. Kita harus merelakan Mei Lin. Biar dia tenang dan tidak tersakiti lagi.” Sang suami mencoba menenangkannya. Berusaha tabah untuk menguatkan istrinya. Keputusan yang berat.
***
Cinta adalah misteri, yang rumit dan tidak kita ketahui kemana akan berujung.
Aku duduk begitu lama di tepi danau. Langit tak berubah sedikit pun. Matahari tetap menampakkan sinarnya. Merasa aneh dengan tempat indah ini. Aku ada dimana? Pikirku.
“Lin, jangan tinggalkan aku! Aku tidak mau kehilanganmu.” Tiba-tiba saja sebuah suara pria menggema mengisi seluruh ruang tempat ini. “Siapa itu?” teriakku. Suasana kembali hening.
Dari tengah danau muncul bayangan seseorang menaiki sebuah perahu menuju ke arahku. Aku memicingkan mata. Memfokuskan pada bayangan itu. Rupanya seorang pria yang menaikinya. Pria itu mendayungnya perlahan. Tak lama perahunya telah mencapai pinggir danau. Aku menghampirinya, merasa mengenali pria itu. “Lin, pulanglah! Aku merindukanmu,” ujar pria berbaju putih yang tengah berdiri di atas perahu kecil di depanku. Aku mengernyit. Apa aku mengenalnya? Dia terasa begitu dekat denganku. Siapa dia? Batinku. “Apa kau tidak merindukanku, Lin?” sambungnya lagi. Aku terdiam. Dia mengulurkan tangan kanannya. “Ayo, Lin. Ikut aku pulang,” ajaknya.
Aku masih mengorek isi kepalaku. Mencari tahu siapa gerangan pria itu. Ting. Serasa ada cahaya di kepalaku. Ketemu! Seruku dalam hati. “Nando?” panggilku pada pria itu. Dia mengulaskan senyum termanisnya padaku. “Iya, aku Nando. Sahabatmu,” balasnya.
Entah apa yang kurasakan. Ada keinginan untuk segera menghambur memeluknya. Tapi, di sisi lain kakiku bergerak mundur dua langkah menjauhinya. “Tidak! Aku tidak mau pulang. Di sini lebih menyenangkan,” tolakku.
Nando maju selangkah sampai di ujung perahu yang berdekatan denganku. “Kenapa? Aku tak mau kehilanganmu, Lin. Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Kembalilah, Lin,” bujuknya lagi.
“Tidak, terlalu menyakitkan untukku jika harus pulang.” Aku masih kekeh dengan keinginanku.
“Aku tidak akan menyakitimu. Aku tidak akan membiarkanmu tersakiti. Aku mencintaimu, Lin.”
Aku seakan tak percaya mendengar apa yang dikatakannya barusan. Nando mencintaiku? “Bohong!” seruku.
“Aku bersungguh-sungguh, Lin. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Entah apa yang akan terjadi padaku nanti bila kau tak ada.” Aku melihat ada sorot kesedihan saat Nando mengucapkan itu. Apa benar itu?
“Aku mencintaimu, Lin. Bangun, Lin. Jangan tinggalkan aku!” Lagi-lagi suara itu menggema. Suara yang aku kenal. Itu suara Nando. Tapi, Nando di depanku diam saja dari tadi.
“Ayo, Lin pulang!” ajak Nando di depanku. Tangannya kembali terulur memintaku menyambutnya. Tanpa pikir panjang lagi aku melangkah maju. Menyambut uluran tangannya. Melompat naik ke perahu kecil yang dibawanya.
Tes. Kurasakan tetes air mengenai punggung tanganku. Saraf dan otot-otot di sekujur tubuh terasa kaku. Aku tak mampu bergerak. Namun, sekuat tenaga kucoba menggerakkan sedikit tanganku. Dan berhasil. Jari-jariku terangkat sedikit. “Lin…Lin…” Namaku disebut dengan cukup keras. “Kau bangun, Lin!”
Kubuka mataku perlahan. Buram. Kukerjapkan perlahan sampai pandanganku menjadi jelas. Kulihat dia – pria yang kucintai – menggenggap salah satu tanganku erat. Namaku disebutnya berulang kali. Matanya basah. Dia menangis untukku? “Syukurlah kau sudah bangun, Lin!” ujarnya senang.
“Apa aku mencintaiku, Nando? Apa yang kau katakana tadi itu benar adanya?” Anehnya kata-kata pertamaku adalah pertanyaan konyol yang selalu menghiasai hari-hariku selama ini.
“Ya, aku mencintaimu Lin. Aku sangat mencintaimu, Mei Lin.” Jawaban terindah yang pernah aku dengar. Kekuatanku bangkit seketika itu juga. Aku bersikeras bangkit untuk dapat memeluknya. Dia bisa membaca itu dan menyambar tubuhku untuk masuk ke dalam dekapannya. Ternyata selama ini cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku salah menduganya. Dia juga mencintaiku. Cinta yang berhasil membuatku bangkit dari ambang kematian.

Tidak ada komentar: