Taman itu terasa sepi. Hanya
hamparan rerumputan hijau dan gemerisik dedaunan yang mengusik. Sesekali suara gesekan
sayap jangkrik besautan, beradu dengan gemercik air pengisi kolam di sudut
taman. Malam masih bergelayut, gelap pekat dengan pedar cahaya lampu taman
menyinari sebagian sisinya. Tak ada manusia selain Angga. Ya, hanya Angga di
taman itu, duduk termenung sendiri.
Pandangan Angga tertuju pada
rerumputan hijau gelap. Tak ada penyinaran yang cukup untuk memantulkan warna
cerahnya. Kosong dan terlihat sayu, tampak begitu jelas dari sorot matanya. Menyiratkan
apa yang berkecamuk dalam benaknya. Tangannya yang kokoh sedikit gemetar.
Sebuah kertas ia genggam erat bagian sampingnya. Hampir lusuh dan berkerut.
Huft. Helaan napas panjang dan
berat Angga hembuskan. Beban yang kini harus ia rasakan begitu berat untuk
hidupnya. Bahkan mungkin masa depannya. Apa
aku masih punya masa depan setelah ini? pikirannya. Sekilas kejadian
beberapa jam lalu terngiang-ngiang. Sebuah hasil yang buruk Angga terima.
Memukulnya langsung ke lembah gelap. Sampai-sampai Angga tak mampu melihat
cahaya lagi di hidupnya.
“AIDS? Tidak mungkin, Dok!” Angga tercengang. Matanya membelalak lebar.
Punggungnya langsung lemas bersandar pada sandaran kursi yang ia duduki. Di
balik meja – tepat di depannya – seorang pria berjas putih menampakkan raut
kesedihan. Seperti seorang yang turut berduka atas kepergian orang lain.
“Iya, dari hasil tes yang Anda jalani menunjukkan bahwa Anda terkena
AIDS,” ulangnya. Meyakinkan kepada Angga bahwa hasil dari kertas yang baru saja
ia sodorkan itu benar. 100% benar. Tak mungkin ada kesalahan.
Angga seakan sulit mempercayainya. Badannya condong ke depan. Kedua
siku tangannya bertumpu di atas meja depannya. Kedua tangannya tertungkup
menutupi mukanya. Butir-butir bening menggantung di pelupuk matanya. “Anda
harus tabah menerima semua ini.” Pria berjas putih itu kembali berujar.
Angga memang sudah tahu masa
lalunya yang kelam dapat membuahkan sesuatu yang buruk terhadap dirinya. Tapi,
ia tak pernah menyangka akan seperti ini. Jarum suntik, sabu-sabu, pil ekstasi,
Vodka, bir, dan beberapa barang haram
yang lain pernah ia sentuh dan kini berhasil membuat Angga terpuruk.
Angga pernah terjerumus pada sisi
gelap kehidupan. Menjadi ‘pengguna’ aktif dan sering mabuk. Orang tuanya
berpisah, keluarganya hancur. Menjadi korban broken home membuat Angga frustasi. Hingga akhirnya ia mengenal
barang-barang haram itu.
Penyesalan teramat dalam terbenam
dalam hati dan pikirannya. Seandainya waktu
dapat kembali, aku tak akan menjamah barang-barang itu. Tapi, waktu tak
dapat kembali lagi. Apa yang sudah terjadi tak mungkin diperbaiki dengan
pengulangan yang lebih baik. Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang akan kulakukan sekarang?
Drrrtt drrrrtttt drrrttt. Ponsel
Angga kembali bergetar dalam saku celananya. Entah untuk keberapa kalinya
bergetar. Sudah hampir tiga jam lebih Angga mengabaikan panggilan dari
ponselnya itu. Kali ini Angga meraihnya. Ia menyurukan tangan kanannya ke dalam
saku. Mengambil benda hitam mungil itu dan menggenggamnya. Layar berukuran 4 x
5 cm itu bercahaya kebiruan. Sebuah nama tertera. Nadia. Angga hampir menitikkan
air matanya ketika melafalkan nama itu dalam hati.
Aku tidak dapat berhadapan dengannya sekarang. Aku tidak cukup kuat
untuk mengatakannya. Maaf, Nadia. Klik. Angga menekan keypad merah di ponselnya. Seketika itu juga berbagai pemberitahuan
muncul di layar ponselnya. Angga menarikan jemarinya di atas keypad. Tiga puluh
pesan dan lima puluh panggilan tak terjawab. Semuanya berasal dari satu orang…
“Nadia.” Angga menggumamkan nama gadis cantik itu pilu. Maafkan aku, Nad.
***
Nadia As-syifa, gadis berusia dua
puluhan itu mengangkat sebelah tangannya yang terkepal. Tok tok tok. Bunyi
suara pintu sebuah apartemen yang ia ketuk terdengar. Tak ada jawaban. Amarah
dan kecemasan melanda hati gadis manis berjilbab merah itu. Nadia kembali
membenturkan kepalan tangannya ke pintu di depannya. Detik-detik berlalu. Masih
tak ada jawaban. Tok tok tok. Ketukan itu kembali terdengar.
Ceklek. Sesosok pria berusia dua
puluh lima tahun menyembul dari balik pintu yang Nadia ketuk. “Angga!” seru
Nadia, bernada marah. “Kemana saja? Kenapa telepon dan sms-ku tidak kamu balas
atau dijawab sih?” Kali ini nada suaranya terlihat cemas.
Angga hanya memasang wajah datar.
Rautnya mengeras, menutupi kesedihan di hatinya agar tak terlihat. Ia berujar
singkat. “Masuklah.” Angga kembali melangkah masuk dan mengabaikan serentetan
pertanyaan Nadia.
Mau tak mau Nadia mengekorinya
masuk. Sesampainya di ruang tamu, Nadia mencekal lengan kanan Angga. “Ada apa
sebenarnya?” Keningnya berkerut.
Angga menatap sekilas sorot
kecemasan di mata Nadia. Hanya sekilas, setelah itu ia memalingkan mukanya.
Memandang wajah dan kecemasan Nadia hanya akan membuatnya rapuh. “Duduklah. Aku
buatkan minum dulu,” ujarnya. Angga melepaskan pegangan tangan Nadia secara
halus lalu melangkah kembali menuju dapur.
Ting ting ting. Denting sendok
berbenturan dengan cangkir menggema dari arah dapur. Angga masih di sana,
mengaduk teh yang ia buat. Cukup lama hingga membuat Nadia jenuh menunggu. “Katakan
ada apa sebenarnya, Angga? Kenapa sepertinya kamu menghindariku seminggu
terakhir ini?” Gadis itu sudah berdiri di ambang pintu dapur. Angga menoleh
setelah meletakkan sendok kecil yang ia pegang. “Apa yang telah terjadi?” Nadia
melanjutkan pertanyaannya.
“Tidak ada. Aku baik-baik saja,
hanya sedikit sibuk saja. Maaf.” Begitu datar Angga mengungkap alasan dustanya.
Nadia bergerak mendekat. Dengan
cepat ia menghambur memeluk Angga. Melingkarkan lengan mungilnya pada tubuh
Angga. “Paling tidak kamu bisa sms aku kan. Aku mencemaskanmu.”
Angga hanya terdiam. Ia mengurai
pelukan Nadia, tanpa membalasnya terlebih dahulu. “Maaf. Aku… tidak bisa bertemu
denganmu untuk beberapa waktu,” ujarnya seraya memandang manik mata Nadia.
“Kenapa?” Nadia memburu. Dia
sudah tidak dapat menahan rasa ingin tahunya. Angga yang biasa terbuka dan
bicara apa adanya kini terlihat lebih pendiam. Perubahan yang tiba-tiba. Pasti ada yang sedang mengganggu pikirannya,
batin Nadia. Pandangan mereka saling beradu. Lekat Nadia menatapnya, berusaha
mencari tahu lewat sorot mata yang biasa berkata jujur.
Angga meraih kedua tangan Nadia.
Menggenggam erat. “Ada hal yang ingin aku bicarakan,” ujar Angga datar. Ia sama
sekali tak menjawab pertanyaan Nadia.
“Apa? Katakan saja.” Nadia coba
mengulas senyum manis. Teringat akan sesuatu hal yang hendak disampaikannya. “Oh,
undangan penikahan kita sudah jadi. Apa kamu mau melihatnya?” Dengan riang
Nadia membuka tas merah yang menggantung di bahunya. Memasukan sebagian
lengannya dan kemudian mengeluarkan selembar kertas merah yang terbungkus
plastik bening. “Ini, lihat,” sambungnya sambil menyodorkan kertas itu pada
Angga.
Nanar Angga memandangi kertas itu
sekilas. Itu impiannya, kebahagiaan yang ingin ia rengkuh. Namun, sekarang itu
menjadi sesuatu yang amat sulit untuk ia raih sekarang. Bahkan sangat tidak
mungkin. Tiba-tiba hatinya merasa panas dan sakit. Amarah menjalari hatinya.
Plak. Sebuah sentakan dari tangannya membuat kertas merah yang Nadia pegang
terhempas jatuh ke lantai. Nadia tersentak kaget. Tangan kanannya ia tarik
menutup mulut. Ia tidak mengira akan mendapatkan tanggapan buruk dari Angga. Ia
merasa pria yang ada dihadapannya sekarang bukan Angga yang dikenalnya. Angga berubah, satu hal yang Nadia
simpulkan. “Ke… kenapa?” ucap Nadia terbata.
Rahang Angga mengeras, muka merah
dengan sorot mata tajam. Emosinya meluap. “Aku tak butuh itu!” bentaknya.
Nadia masih tidak percaya. Ia
menggeleng beberapa kali. Kenapa?
Petanyaan itu hanya mampu ia gumamkan dalam hati. Dadanya terasa sesak, seolah
oksigen dalam ruangan yang ditempatinya telah habis, membungkam mulutnya hingga
ia tak mampu berbicara.
Angga kembali membuka mulutnya.
“Aku rasa kita tidak dapat meneruskan ini semua,” ujarnya sembari menahan getir
yang ia rasakan. “Ya, kita akhiri saja semua ini. Aku tidak bisa menikah
denganmu. Kita putus saja sebelum semua terlambat,” lanjutnya.
Serasa ada pisau yang mengoyak
hati Nadia. Kakinya terasa lemas. Badannya bergetar mengikuti rasa perih yang
mulai menjalari hatinya. “Kamu sedang bercanda kan, Angga?” Ia harap Angga
memang sedang bercanda. Sebuah candaan yang langsung menghempaskan tubuhnya ke
dalam jurang kepedihan. Ini tidak benar.
Angga menggeleng cepat. “Tidak!
Aku serius,” jawabnya.
Nadia tak punya kekuatan lagi
setelah mendengar jawaban itu. Tubuhnya merosot jatuh terduduk lemas, kedua
tangan menumpu tubuhnya agar tidak terhempas ke lantai. Butir-butir bening
menyeruak keluar dari kelopak matanya.
Angga membalikkan badan, tak
tahan melihat Nadia yang sedang terpukul. Hatinya ikut sakit, jauh lebih sakit
dari sebelumnya. “Maafkan aku, Nad,” gumamnya lirih nyaris tak terdengar.
“Kenapa… kenapa kita harus putus?
Bukankah kemarin kamu begitu bahagia mempersiapkan pernikahan kita? Kenapa
sekarang kamu….” Nadia tak mampu meneruskan kata-katanya secara penuh.
“Pergilah, Nad. Hubungan kita
sudah berakhir!” ujar Angga tanpa melihat sedikit pun wajah Nadia.
Nadia mencoba bangkit berdiri.
Isak tangisnya masih menggema mengisi ruang apartemen Angga. Ia menarik napas
dalam-dalam untuk meredakan isaknya. “Tidak! Ini tidak bisa aku terima. Aku…
aku mencintaimu, Ngga…Sangat mencintaimu. Aku tidak mau kita putus. Kita akan
menikah, ingat itu!” Tolakan keras Nadia lontarkan tanpa ampun. Ia mengangkat
tangan kanannya, bergerak untuk menyentuh bahu Angga. Pria itu memunggunginya.
Angga merasakannya. Sebuah
sentuhan lembut, menggetarkan sekujur tubuhnya. Dalam hitungan detik badannya
sudah membalik menghadap Nadia. Linangan air mata membasahi wajah cantik gadis
yang dicintainya itu. Angga tak kuasa untuk tidak menyentuh wajah itu. Ia
usapkan jemari tangan kanannya lembut, menghalau setiap butir air mata yang
jatuh. Mata Angga tak lagi nanar. Hanya ada kehangatan dan penuh cinta.
Sebersit keraguan yang sempat bercokol dalam hati Nadia berubah menjadi
keyakinan saat melihat manik mata lembut Angga. “Kamu masih mencintaiku kan?”
Nadia mengucap apa yang dipikirkannya.
“Maaf, Nad…”
“Katakan kamu tidak mencintaiku!”
Nadia memotong cepat, setengah berteriak.
Angga tertunduk lemah, tak
memandang Nadia sedikit pun. “Tetap saja kita tak akan bisa…”
“Apa? Dan kenapa?” lagi Nadia
memotong.
“Aku tidak ingin menyakitimu
terlalu jauh. Mengertilah… kamu akan lebih baik tanpa aku,” ucap Angga seraya
membelai pipi Nadia dengan lembut. Usapan terakhir yang mungkin dia lakukan.
Setelah ini semua tak akan sama lagi. “Kamu lebih bahagia tanpa diriku… aku
melepasmu agar kamu lebih bahagia. Percayalah!”
Bagaimana bisa aku tanpamu? Bagaimana mungkin aku sanggup? Linangan
air mata mengalir dengan derasnya di wajah Nadia. Sementara itu, Angga
menelusupkan tangan kanan ke saku celananya, mengambil selembar kertas yang ia
terima beberapa hari lalu – kertas hasil tes kesehatannya. “Aku sakit,” lanjut
Angga seraya menyodorkan kertas di tangannya. Nadia menerima dan membacanya.
Tangan kanannya terangkat menutup mulut seketika itu juga. “Tidak mungkin,
AIDS?” gumam Nadia tak percaya. Bagaimana
bisa ini terjadi? lanjutnya dalam hati.
“Kamu tahu dengan jelas masa
laluku, jadi itu mungkin saja… dan memang itu yang terjadi. Jadi, kamu
mengertikan sekarang, Nad?” Angga menyentuh bahu gadis cantik itu. “Aku tidak
mau menyakitimu lebih dari ini. Kita tidak akan pernah bersatu. Ikhlaslah
menerima ini semua, Nad. Aku yakin kamu akan mendapatkan kebahagiaan lain
setelah ini.”
Nadia tak mampu berkata apa-apa
lagi, kejujuran Angga telah membungkam mulutnya. Kenyataan pahit pun harus
dapat diterima olehnya dengan baik. Ini takdir yang sudah digariskan untuk
mereka, kuasa Tuhan yang tidak mampu diingkari. Dan takdir itulah yang
mengakhiri kisah cinta mereka. Keduanya saling terdiam, terpaku pada kenyataan
pahit yang menghancurkan cinta dan impian mereka bersama. Tak ada lagi yang
dapat dilakukan untuk mengubah takdir ini. “Kita berpisah… tapi aku akan tetap
menyayangimu.” Ucapan Nadia menjadi akhir pertemuan diantara mereka. Ia pun
beranjak pergi membawa luka dan kenyataan pahit. Sementara Angga hanya menunduk
pasrah, mencoba mengikhlaskan cintanya pergi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar