Sabtu, 09 Juni 2012

Haruharu (2)


Daffin telah menyiapkan semua dengan sempurna. Senyum di bibirnya terus terkembang. Malam ini ia akan melalui malam yang indah bersama Jessica. “Satu hal yang dapat kulakukan untuk membahagiakanmu… untuk yang terakhir,” ucapnya sendiri. Senyumnya memudar. Tatapan kosong menerawang jauh pada kenyataan yang Daffin kubur sendiri.
Ting. Denting pintu yang terbuka mengembalikan pikiran Daffin dari lamunan. Ia bergegas menuju pintu depan. Cepat-cepat mencegah seseorang yang sudah ia nanti untuk tidak masuk terlalu jauh. Daffin tak mau apa yang sudah dipersiapkan sejak pagi sia-sia. “Welcome,” sambutnya memamerkan senyum termanis untuk gadis yang berdiri di hadapannya kini.
Gadis berambut panjang itu mengernyit. “Tumben,” gumamnya. Daffin melangkah lebih dekat. “Special for my pretty girl.” Kecupan hangat Daffin daratkan di pipi gadisnya.
Close your eyes, Honey!” perintah Daffin. Jessica tak segera menurut. Kedua alisnya bertaut, penuh tanya. Berbagai macam dugaan berseliweran dalam pikirnya.
Please….” Mohon Daffin dengan tampang memelas. “Memangnya kamu tega menghancurkan apa yang sudah aku kerjakan dari pagi tadi?”
“Huh, well… aku akan tutup mata,” putus Jessica. Perlahan kelopak matanya menutup. “Jangan ngelakuin yang aneh-aneh ya!” ancamnya kemudian. Daffin meraih tangan kanan Jessica, menggenggamnya erat.
“Bukan aku yang suka beraneh-aneh, tapi lebih seringnya kamu,” sahutnya.
Jessica mengerucutkan bibir tanda protesnya. “Aku nggak seperti itu.”
“Hmm, up to you,” pasrah Daffin tak mau berdebat lagi dengan Jessica. “Kita sudah sampai…open your eyes now.”
Perlahan Jessica membuka mata. Ditatapnya sekeliling, ruangan bercat putih dengan sebuah bed ukuran besar, kamar tidurnya sendiri. Dahi gadis itu pun berkerut heran. Kejutan apa? batinnya. Ia membalikkan badan menghadap Daffin yang sudah menyambutnya dengan senyuman. “Kamu mempermainkanku?” ucap Jessica bertolak pinggang.
“Aku nggak mempermainkanmu. Lihat baik-baik!” Jessica mendengus sebal tapi ia menuruti ucapan Daffin. Diedarkan kembali pandangannya ke sekeliling ruangan. Sebuah kotak berwarna coklat dengan pita warna emas melilitnya tergeletak di atas tempat tidurnya. Tangan mungil Jessica tergerak menyentuh kotak itu.
“Apa ini?” tanyanya.
“Sesuatu untuk kau pakai malam ini. Aku akan keluar menunggumu.” Daffin mengecup pipi Jessica dan beranjak keluar, meninggalkan Jessica dari keterpanaan. Mata gadis itu berbinar mendapati gaun berwarna merah marun di dalam kotak yang ia sentuh. Gaun yang cantik dengan kombinasi pita warna hitam menghias bagian pinggang. “Cantik,” gumam Jessica. Senyum senang tak ayal terkembang di bibirnya. Kamu memang paling tahu bagaimana cara membuatku bahagia, batinnya.
***
Makan malam romantis berhasil membuat Jessica luar biasa bahagia. Ia tak henti bersyukur dalam hati atas apa yang ia peroleh saat ini. Ya, atas cinta yang ia dapat dari Daffin, atas perhatian pria itu terhadapnya. Tampan, kaya, pintar, baik, dan romantis, bayangkan wanita mana yang tidak bahagia dianugerahi kekasih seperti itu.
“Terima kasih, aku senang sekali hari ini,” ucap Jessica. Kepalanya bersadar pada dada kokoh Daffin. Kedua tangan sengaja ia lingkarkan pada leher kekasihnya itu.
Daffin berbanding terbalik. Ia memeluk Jessica dengan tatapan kosong. Melepasmu bukan hal yang mudah, tapi aku harus melakukannya, batinnya. Perlahan ia pun mengurai pelukannya. Menatap wajah kekasihnya yang masih mengembangkan senyum. Senyum termanis yang selalu ia lihat. “Aku hanya ingin kamu bahagia dan tetap tersenyum seperti ini,” gumamnya.
“Kamu ngomong apa?” ucap Jessica tak mengerti. Suara Daffin tak begitu jelas ia dengar tadi.
Daffin membelai pipi gadisnya. “Nggak, bukan apa-apa. Aku hanya ingin kamu tetap tersenyum seperti ini. Berjanjilah?”
“Aku akan tetap tersenyum kalau kamu tetap ada di sisiku,” balas Jessica mengeratkan pelukannya.
“Nggak.” Daffin menggeleng. “Ada atau nggak aku di sisimu, kamu harus tetap tersenyum, tetap bahagia.”
Jessica mengurai pelukannya. Ada yang terlihat aneh dari ucapan Daffin. Ia merasa ada sesuatu yang tak beres dari kekasihnya. “Kenapa kamu bicara seperti itu?”
Daffin tak menjawab cepat. Ia hanya menggenggam kedua tangan Jessica sembari memandangnya dalam-dalam. Menikmati tiap goresan yang melukis wajah cantik gadis itu. Jessica terhipnotis oleh tatapan sendu Daffin. Sampai-sampai tak sadar akan jemari Daffin yang tengah bergerak pelan meraih logam bulat pada jari manis tangan kanannya. Logam emas yang melingkari jari manis Jessica itu Daffin lepas. “Maaf, Jess… aku tidak bisa bersamamu lagi,” tandas Daffin.
Jessica tercengang, merasa ada yang salah dalam pendengarannya. Rasa terkejut menyebabkannya terdiam untuk beberapa saat. Ia harap ini Cuma gurauan atau mimpi buruk semata. “Kamu bercanda, Daff? Nggak lucu.” Jessica tersenyum kecut. Memandang Daffin dengan penuh arti. Ini bohongkan?
Sayangnya, jawaban yang ia peroleh jauh dari pengharapannya. Daffin menggeleng. “Kita putus, Jess.” Pria itu melepas genggaman tangannya. Mundur secara perlahan, menjauhi gadisnya.
Butiran air mata turun begitu saja dari pelupuk mata Jessica. “Bohongkan, Daff?” gumam Jessica. “Kenapa? Kenapa kita harus putus? Kita saling cinta, kita akan menikah, Daff.” Kepedihan menjalarinya pelan-pelan. Kenyataan terlalu path untuk dapat diterimanya. Daffin pun berubah dingin dalam diam. “Katakan kamu tidak mencintaiku, Daff?” buru Jessica.
Daffin tertunduk lemah. Baginya melukai Jessica turut melukai hatinya juga. Tapi ia tak punya pilihan lain. Hanya cara ini yang ia pikir akan mampu membuat Jessica bahagia kelak. Ya, meski sekarang ia harus melukainya dulu.
“Daff, kamu mencintaiku kan?” Jessica kembali menggenggam kedua tangan Daffin. Suaranya lembut dan parau.
“Tidak, Jess.” Daffin mengatakan dengan pilu tanpa menatap Jessica.
“BOHONG!” teriak Jessica. “Tatap aku dan katakan itu bohong!”
Rahang Daffin mengeras, menyentakan genggaman tangan Jessica dengan kasar. “Itu benar, Jess. Aku tidak mencintaimu lagi,” tegasnya seraya menatap Jessica tajam. Sebuah tatapan dingin yang tidak pernah Jessica terima. Badan gadis itu lemas seketika.
“Lalu… ini semua apa?” gumam Jessica.
“Kamuflase, gue nggak pengen lo terlalu sedih. Itu saja.” Nada ucapan Daffin berubah. Bukan aku-kamu lagi. Ia berbicara dengan nada dingin dan kasar. “Sudahlah, Jess. Lo cantik, lo bisa dapat cowok yang lebih baik dari gue. Nggak usah sedih, oke.” Daffin memasang topeng dinginnya. Berkata seolah ia tidak terluka. Jessica terdiam dengan pandangan kosong. “Well, hanya itu yang pengen gue omongin. Gue pulang dulu.” Dengan memendam getir luka di hatinya, Daffin membalikkan badan meninggalkan Jessica yang masih terpukul.
***

Tidak ada komentar: