Daffin telah menyiapkan
semua dengan sempurna. Senyum di bibirnya terus terkembang. Malam ini ia akan
melalui malam yang indah bersama Jessica. “Satu hal yang dapat kulakukan untuk
membahagiakanmu… untuk yang terakhir,” ucapnya sendiri. Senyumnya memudar.
Tatapan kosong menerawang jauh pada kenyataan yang Daffin kubur sendiri.
Ting. Denting
pintu yang terbuka mengembalikan pikiran Daffin dari lamunan. Ia bergegas
menuju pintu depan. Cepat-cepat mencegah seseorang yang sudah ia nanti untuk
tidak masuk terlalu jauh. Daffin tak mau apa yang sudah dipersiapkan sejak pagi
sia-sia. “Welcome,” sambutnya
memamerkan senyum termanis untuk gadis yang berdiri di hadapannya kini.
Gadis berambut
panjang itu mengernyit. “Tumben,” gumamnya. Daffin melangkah lebih dekat. “Special for my pretty girl.” Kecupan
hangat Daffin daratkan di pipi gadisnya.
“Close your eyes, Honey!” perintah
Daffin. Jessica tak segera menurut. Kedua alisnya bertaut, penuh tanya.
Berbagai macam dugaan berseliweran dalam pikirnya.
“Please….” Mohon Daffin dengan tampang
memelas. “Memangnya kamu tega menghancurkan apa yang sudah aku kerjakan dari
pagi tadi?”
“Huh, well… aku akan tutup mata,” putus
Jessica. Perlahan kelopak matanya menutup. “Jangan ngelakuin yang aneh-aneh
ya!” ancamnya kemudian. Daffin meraih tangan kanan Jessica, menggenggamnya
erat.
“Bukan aku yang
suka beraneh-aneh, tapi lebih seringnya kamu,” sahutnya.
Jessica
mengerucutkan bibir tanda protesnya. “Aku nggak seperti itu.”
“Hmm, up to you,” pasrah Daffin tak mau
berdebat lagi dengan Jessica. “Kita sudah sampai…open your eyes now.”
Perlahan Jessica
membuka mata. Ditatapnya sekeliling, ruangan bercat putih dengan sebuah bed
ukuran besar, kamar tidurnya sendiri. Dahi gadis itu pun berkerut heran.
Kejutan apa? batinnya. Ia membalikkan badan menghadap Daffin yang sudah
menyambutnya dengan senyuman. “Kamu mempermainkanku?” ucap Jessica bertolak
pinggang.
“Aku nggak
mempermainkanmu. Lihat baik-baik!” Jessica mendengus sebal tapi ia menuruti
ucapan Daffin. Diedarkan kembali pandangannya ke sekeliling ruangan. Sebuah
kotak berwarna coklat dengan pita warna emas melilitnya tergeletak di atas
tempat tidurnya. Tangan mungil Jessica tergerak menyentuh kotak itu.
“Apa ini?”
tanyanya.
“Sesuatu untuk
kau pakai malam ini. Aku akan keluar menunggumu.” Daffin mengecup pipi Jessica
dan beranjak keluar, meninggalkan Jessica dari keterpanaan. Mata gadis itu
berbinar mendapati gaun berwarna merah marun di dalam kotak yang ia sentuh.
Gaun yang cantik dengan kombinasi pita warna hitam menghias bagian pinggang. “Cantik,”
gumam Jessica. Senyum senang tak ayal terkembang di bibirnya. Kamu memang paling tahu bagaimana cara
membuatku bahagia, batinnya.
***
Makan malam
romantis berhasil membuat Jessica luar biasa bahagia. Ia tak henti bersyukur
dalam hati atas apa yang ia peroleh saat ini. Ya, atas cinta yang ia dapat dari
Daffin, atas perhatian pria itu terhadapnya. Tampan, kaya, pintar, baik, dan romantis,
bayangkan wanita mana yang tidak bahagia dianugerahi kekasih seperti itu.
“Terima kasih,
aku senang sekali hari ini,” ucap Jessica. Kepalanya bersadar pada dada kokoh
Daffin. Kedua tangan sengaja ia lingkarkan pada leher kekasihnya itu.
Daffin
berbanding terbalik. Ia memeluk Jessica dengan tatapan kosong. Melepasmu bukan
hal yang mudah, tapi aku harus melakukannya, batinnya. Perlahan ia pun mengurai
pelukannya. Menatap wajah kekasihnya yang masih mengembangkan senyum. Senyum
termanis yang selalu ia lihat. “Aku hanya ingin kamu bahagia dan tetap
tersenyum seperti ini,” gumamnya.
“Kamu ngomong
apa?” ucap Jessica tak mengerti. Suara Daffin tak begitu jelas ia dengar tadi.
Daffin membelai
pipi gadisnya. “Nggak, bukan apa-apa. Aku hanya ingin kamu tetap tersenyum
seperti ini. Berjanjilah?”
“Aku akan tetap
tersenyum kalau kamu tetap ada di sisiku,” balas Jessica mengeratkan
pelukannya.
“Nggak.” Daffin
menggeleng. “Ada atau nggak aku di sisimu, kamu harus tetap tersenyum, tetap
bahagia.”
Jessica mengurai
pelukannya. Ada yang terlihat aneh dari ucapan Daffin. Ia merasa ada sesuatu
yang tak beres dari kekasihnya. “Kenapa kamu bicara seperti itu?”
Daffin tak
menjawab cepat. Ia hanya menggenggam kedua tangan Jessica sembari memandangnya
dalam-dalam. Menikmati tiap goresan yang melukis wajah cantik gadis itu.
Jessica terhipnotis oleh tatapan sendu Daffin. Sampai-sampai tak sadar akan
jemari Daffin yang tengah bergerak pelan meraih logam bulat pada jari manis
tangan kanannya. Logam emas yang melingkari jari manis Jessica itu Daffin
lepas. “Maaf, Jess… aku tidak bisa bersamamu lagi,” tandas Daffin.
Jessica tercengang,
merasa ada yang salah dalam pendengarannya. Rasa terkejut menyebabkannya
terdiam untuk beberapa saat. Ia harap ini Cuma gurauan atau mimpi buruk semata.
“Kamu bercanda, Daff? Nggak lucu.” Jessica tersenyum kecut. Memandang Daffin
dengan penuh arti. Ini bohongkan?
Sayangnya,
jawaban yang ia peroleh jauh dari pengharapannya. Daffin menggeleng. “Kita
putus, Jess.” Pria itu melepas genggaman tangannya. Mundur secara perlahan,
menjauhi gadisnya.
Butiran air mata
turun begitu saja dari pelupuk mata Jessica. “Bohongkan, Daff?” gumam Jessica. “Kenapa?
Kenapa kita harus putus? Kita saling cinta, kita akan menikah, Daff.” Kepedihan
menjalarinya pelan-pelan. Kenyataan terlalu path untuk dapat diterimanya.
Daffin pun berubah dingin dalam diam. “Katakan kamu tidak mencintaiku, Daff?”
buru Jessica.
Daffin tertunduk
lemah. Baginya melukai Jessica turut melukai hatinya juga. Tapi ia tak punya
pilihan lain. Hanya cara ini yang ia pikir akan mampu membuat Jessica bahagia
kelak. Ya, meski sekarang ia harus melukainya dulu.
“Daff, kamu
mencintaiku kan?” Jessica kembali menggenggam kedua tangan Daffin. Suaranya
lembut dan parau.
“Tidak, Jess.”
Daffin mengatakan dengan pilu tanpa menatap Jessica.
“BOHONG!” teriak
Jessica. “Tatap aku dan katakan itu bohong!”
Rahang Daffin
mengeras, menyentakan genggaman tangan Jessica dengan kasar. “Itu benar, Jess.
Aku tidak mencintaimu lagi,” tegasnya seraya menatap Jessica tajam. Sebuah
tatapan dingin yang tidak pernah Jessica terima. Badan gadis itu lemas
seketika.
“Lalu… ini semua
apa?” gumam Jessica.
“Kamuflase, gue
nggak pengen lo terlalu sedih. Itu saja.” Nada ucapan Daffin berubah. Bukan
aku-kamu lagi. Ia berbicara dengan nada dingin dan kasar. “Sudahlah, Jess. Lo
cantik, lo bisa dapat cowok yang lebih baik dari gue. Nggak usah sedih, oke.”
Daffin memasang topeng dinginnya. Berkata seolah ia tidak terluka. Jessica
terdiam dengan pandangan kosong. “Well, hanya itu yang pengen gue omongin. Gue
pulang dulu.” Dengan memendam getir luka di hatinya, Daffin membalikkan badan
meninggalkan Jessica yang masih terpukul.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar